RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sudah hampir empat bulan masyarakat dihadapkan pada kondisi yang sama, yaitu pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir. Banyak dampak yang diakibatkan, baik itu dari segi kesehatan, ekonomi, bahkan juga dalam segi pendidikan. Tak hanya oleh masyarakat, tetapi hal itu pun dirasakan oleh mahasiswa.
Tagar#MendikbudDicariMahasiswa, sempat viral di media sosial pada awal Juni lalu, menyusul sikap tekanan dari mahasiswa yang pasti Mendikbud dihadapkan pada gelombang aksi protes mahasiswa menyangkut Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan para mahasiswa sempat meminta bertemu dengan Mendikbud, Nadiem Makarim, untuk mendiskusikan soal pemangkasan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Tuntutan ini bukan cuma soal kondisi ekonomi, tapi juga soal hak mahasiswa yang terpangkas saat belajar secara daring atau online. Hal itu disampaikan melalui surat terbuka pada (2/6) yang berisi agar Mendikbud menginstruksikan seluruh PT melakukan pembebasan atau relaksasi biaya kuliah (UKT) di semester selanjutnya sebagai dampak dari covid-19.
Tak hanya itu, pada Senin (22/6/2020), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten melakukan aksi demo terkait hal yang sama di depan Gedung Rektorat UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Melalui orasinya Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Banten.
Ade Riad Nurudin mengatakan, bahwa aksinya dilakukan karena keluhan dan keresahan yang dialami oleh para mahasiswa karena belum juga ditemukannya titik terang dari pimpinan kampus perihal kebijakan penggratisan dan pemotongan UKT untuk semester depan. Pasalnya mereka beranggapan saat pembelajaran daring berlangsung, mahasiswa tidak pernah menggunakan fasilitas kampus sama sekali.
“Kami merasa pembayaran UKT memberatkan mahasiswa di tengah pandemi Covid-19. Terlebih, pembelajaran kuliah melalui Dalam Jaringan (Daring) atau online yang tidak menggunakan fasilitas kampus,” ucap Presiden Mahasiswa UIN SMH Banten Ade Riad di sela-sela aksinya.
Tentunya mahasiswa memang merasa sangat geram. Sebab dalam situasi pandemik saat ini, mereka masih harus dibebani dengan pembayaran uang kuliah. Bahkan mahasiswa baru pun masih harus membayar UKT yang bahkan besarannya semakin dinaikkan.
Padahal, sebagaimana masyarakat pada umumnya saat ini, kalangan mahasiswa pun termasuk kelompok yang terdampak wabah. Kuliah daring, alih-alih meringankan beban finansial, justru malah membuat beban pendidikan dan beban hidup lainnya bertambah berat.
Hal tersebut jelas sangat terasa terutama oleh mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Dalam situasi pandemi ini tak sedikit orang tuanya yang harus kehilangan pekerjaannya atau bahkan merasakan semakin sulit mencari untuk keseharian. Jangankan untuk membayar uang kuliah, untuk makan sehari-hari saja, mereka harus menghemat sedemikian rupa bahkan mungkin ada yang sangat kesulitan.
Sementara disaat yang bersamaan, mereka harus berusaha agar kuliah bisa tetap jalan, meski harus merogoh kantong lebih dalam untuk sekadar membeli kuota yang besarannya cukup mahal.
Akan tetapi, kisruh perihal UKT ini memang tidak hanya terjadi di saat wabah ini saja. Sejak pemerintah menetapkan kebijakan UKT melalui Permendikbud No. 55 tahun 2013, telah muncul keberatan-keberatan di tengah masyarakat.
Maklum, aturan yang katanya ditujukan untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan ini faktanya tak semanis teorinya. Bagi kalangan tertentu UKT tetap saja dirasa mahal. Apalagi jurusan-jurusan tertentu. Biaya UKT-nya jauh lebih mahal.
Karena desakan mahasiswa dari berbagai PT akhirnya Kemendikbud memberikan lima tawaran terkait UKT ini (19/6), yaitu: pertama, mahasiswa dapat mengajukan cicilan UKT bebas bunga. Kedua, penundaan UKT. Ketiga, penurunan nilai UKT.
Keempat, mengajukan diri untuk beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) atau skema beasiswa lain yang ditawarkan Perguruan Tinggi. Kelima, bantuan infrastruktur yaitu mengajukan bantuan dana untuk jaringan internet dan pulsa.
Sebetulnya jika dianalisa kembali, pilihan kebijakan yang ditawarkan oleh Kemendikbud bukanlah solusi. Sebab hasil akhirnya akan tetap sama, yaitu siswa tetap diminta untuk membayar UKT.
Mengapa demikian? Tentunya negara tak ingin ambil rugi maka pemasukan UKT harus tetap ada tak peduli bagaimana kondisinya. Wajar saja pada akhirnya mahasiswa dari berbagai PT melakukan aksi protes, karena pihak kampus hanya sekedar memberlakukan penundaan membayar UKT, padahal mahasiswa meminta adanya pemotongan UKT hingga 50%. Namun, dalam aksinya pihak rektorat masih mempertimbangkan kebijakan dari Nadiem.
Hal tersebut sangat wajar dilakukan, apalagi jika mahasiswa terus mendesak agar tuntutannya dipenuhi. Sebab selama pandemi ini mereka merasa tidak menerima fasilitas kampus, tetapi masih harus tetap membayar. Belum lagi selama kuliah dari masih harus dibebani biaya kurang lebih 25K, apalagi ditengah kondisi seperti ini.
Sejak terjadinya subsidi silang yang dibalut dengan Uang Kuliah Tunggal memang menuai polemik. UKT yang digembar-gemborkan amat ramah dengan kantong orang tua, nyatanya hanya omongan belaka. UKT yang digolongkandari 0 – 5, 0 ditujukan untuk penerima bidik misi, 1 – 5 disesuaikan dengan penghasilan orang tua. Hal tersebut pada akhirnya mengatrol mahasiswa dengan UKT 1 – 2 dan golongan 3 – 5 harus membayar jauh lebih mahal. Apalagi jika kulia di Universitas ternama, pastinya akan lebih mahal.
Solusi Islam
Islam memiliki pandangan yang amat mulia soal ilmu dan pendidikan. Pendidikan adalah hak dasar bagi semua orang dan karena itulah negara Islam menggratiskan pendidikan bagi warga negaranya, tanpa terkecuali. Untuk bisa menyelenggarakan pendidikan yang gratis dan berkualitas, negara tentunya harus memiliki dana yang tak sedikit. Negara Islam memiliki sistem keuangan yang tidak mengandalkan pada pemasukan pajak dan utang. Keduanya sudah terbukti malah membuat rugi dan sengsara negara.
Pajak malah berdampa menurunkan income produktifitas ekonomi masyarakat, sementara utang ribawi selain haram juga terbukti sebagai alat negara lain atau lembaga internasional mencekik negara.
Khilafah memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat diantaranya pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Ketiga hal tersebut menjadi kebutuhan yang diperoleh secara cuma-Cuma sebagai hak rakyat dari negara. Begitupun di dalamnya, khilafah bertanggung jawab atas seluruh pembiayaan pendidikan dari mulai gaji para pendidik, inftrastruktur serta sarana dan prasarananya.
Terkait sumber pendanaannya, Negara Islam tentunya memiliki 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu:
Pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak);
Pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika kedua sumber pendapatan itu dikhawatirkan tidak mencukupi dan akan timbul efek negatif jika terjadi penundaan pembayaran. Maka, negara wajib mencukupi segera dengan cara berhutang. Utang tersebut kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari pajak yang dipungut dari kaum muslimin.
Biaya pendidikan dari Baitul mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan.
Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya (An-Nabhani, 1990).
Sejarah Islam mencatat Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan melengkapinya dengan sarana dan prasarananya seperti perpustakaan, “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan. Di antara perguruan tinggi itu adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. (Khalid, 1994).
Satu hal yang perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf, rakyat akan memperoleh pendidikan nonformal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.
Dengan mekanisme demikian maka negara khilafah selama 13 abad lebih bisa menyediakan pemenuhan kebutuhan pendidikan yang berkualitas bagi semua rakyatnya secara gratis, bebas biaya di semua level jenjang pendidikannya. Sehingga ilmu berkembang pesat, mencetak intelektual secara massal dan membawa manfaat bagi semua umat manusia.
Tidakkah kita merindukan sistem Khilafah Islamiyah? Wallahu a’lam bishshawab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment