Aspirasi dan Represif, Demokrasi Kok Dibatasi?

Opini40 Views

 

 

Penulis: Isnaini, S.I.Kom | Aktivis Muslimah

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Aksi demontrasi tolak RUU Pilkada yang digelar di Gedung DPR RI diwarnai kekerasan oleh aparat kepolisian. Polisi menembakkan gas air mata setelah massa mencoba masuk ke halaman dalam kantor DPR melalui gerbang yang sudah dijebol.

Sebelum ricuh, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat tersebut mendatangi kantor DPR RI untuk menyampaikan aspirasi mereka atas ditolaknya putusan MK oleh DPR tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.

Selain penembakan gas air mata, aksi demontrasi yang diwarnai kericuhan antara aparat kepolisian dan mahasiswa juga terjadi di depan Gedung DPRD Jawa Barat. Seorang Mahasiswa harus terancam kehilangan bola matanya setelah terkena lemparan batu yang diduga dari arah polisi.

Andri Andriana, mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) sebagaimana ditulis kompas.id terpaksa dirawat di rumah sakit setelah terkena lemparan batu pada saat aksi demontrasi tolak RUU Pilkada. Ia pun terancam buta karena lemparan batu tersebut mengenai matanya.

Sebelumnya, gelombang aksi unjuk rasa dari berbagai kalangan mahasiswa dan masyarakat berawal dari poster “Peringatan Darurat” yang viral di media sosial. Poster tersebut kemudian dibagikan oleh jutaan orang dan berbagai platform media online.

Poster Peringatan Darurat merupakan kampanye peringatan darurat yang mengingatkan kepada seluruh masyarakat terhadap pembakangan konstitusi oleh DPR yang menganulir putusan MK tentang batas usia calon kepala daerah. Hal ini lantas menjadi kabar buruk bagi Kaesang Pangarep yang tidak bisa maju ke kontestasi pilkada 2024 karena terganjal syarat batas usia.

Putusan MK yang dianggap mengikat dan final serta berlaku untuk semua nyatanya tidak dipatuhi oleh presiden dan DPR. Demokrasi seolah dikebiri karena tindakan pembangkangan konstitusi tersebut.

Aparat Represif dalam Demokrasi

Tindakan represif dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tidak hanya dalam aksi demontrasi tolak RUU Pilkada ini saja. Hampir dalam setiap aksi demontrasi massa aksi menerima tindakan kekerasan. Pada tahun 2019 dalam Aksi menolak revisi RKUHP Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 86 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian saat aksi demonstrasi, di antaranya penangkapan sewenang-wenang 3.539 korban, penahanan sewenang-wenang 326 korban dan penyiksaan sebanyak 474 korban.

Tahun 2020, pada saat aksi demonstrasi tolak Omnibus Law, seperti ditulis cnnindonesia tercatat 187 orang dibawa ke Polda Metro Jaya. Korban mengalami kekerasan dari anggota kepolisian pada saat ditangkap. Angka ini jelas menambah daftar catatan panjang represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Dalam demokrasi, tindakan represif dari aparat kepolisian membuktikan bahwa demokrasi tidak memberikan ruang kritik dan koreksi dari rakyat.

Kebebasan menyampaikan aspirasi dan kritik kepada penguasa terbatas tembok kekerasan aparat kepolisian, yang seharusnya memberi ruang dialog kepada rakyat dengan mengutus perwakilan justru aparat membalas dengan kekerasan. Tuntutan pun tidak dapat disampaikan dengan baik karena negara antikritik.

Indonesia sebagai negara pengemban sistem demokrasi selama ini, telah memberikan kenyataan pahit bahwa realitas kebebasan berpendapat hanya menjadi omong kosong.

Pentingnya Mengoreksi Penguasa

Aktivitas mengoreksi atau mengkritik penguasa adalah hak rakyat yang harus dijamin oleh negara. Karena koreksi kepada penguasa sangat penting dilakukan agar pemerintahan tetap berada pada jalur yang benar. Tanpa kritik dan koreksi roda pemerintahan bisa saja jatuh ke lubang kediktatoran dan tirani.

Dulu, pada masa Orde Baru pemerintah bersikap tirani dengan membungkam siapa saja yang menyampaikan aspirasi dan kritik. Banyak aktivis yang ditangkap, disiksa, dan pulang hanya tinggal nama. Bahkan kalangan buruh juga mengalami hal serupa.

Kini setelah reformasi berjalan selama 26 tahun, nyatanya pemerintah tetap saja bersikap represif.

Demokrasi sebagai sistem yang diemban negara sejatinya menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis dan menjamin kebebasan berpendapat.

Namun realitanya, sampai hari ini kritik terhadap pemerintah selalu mendapat tindakan refresif bahkan tak segan melakukan tindakan penghilang nyawa. Semua ini adalah paradoks dalam sistem demokrasi yang mengaku berbasiskan suara rakyat nyatanya menolak kritikan rakyat.

Mengoreksi Penguasa dalam Islam

Hal ini jelas sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam aktivitas muhasabah lilhukam atau mengoreksi penguasa adalah hak rakyat yang dijamin oleh negara. Muhasabah atau kritik dibutuhkan agar penguasa tetap berada pada jalan yang benar dan tidak sewenang-wenang melaksanakan pemerintahan. Meskipun sistem sudah Islam tetap saja penguasanya adalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan dosa.

Hal ini sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW:

“Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika dia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan dia berbuat adil, dengan itu dia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika dia menyuruh selain itu, dia menanggung dosanya.” (HR Muslim).

Hadist di atas menunjukkan penguasa dalam Islam memberi ruang kepada rakyat untuk mengkritik. Karena pemimpin bisa berbuat salah yaitu menyuruh selain takwa kepada Allah. Ketika pemimpin melakukan kemunkaran, rakyat wajib memberikan nasihat.

Selain itu, rakyat juga bisa mengadukan kezaliman penguasa pada Mahkamah Mazalim, yaitu pengadilan yang khusus memutus perkara kezaliman penguasa, pejabat, dan aparat negara pada rakyat. Hal ini dilakukan karena semua pihak paham akan pentingnya muhasabah sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban semua pihak, baik individu, kelompok, maupun masyarakat. Semua pihak tersebut tidak akan diam terhadap kezaliman, sebaliknya akan berlomba melakukan muhasabah. Karena itulah penguasa dalam Islam tidak akan melakukan tindakan represif kepada rakyat yang melakukan muhasabah.

Dengan demikian, hanya dalam Islam ruang aspirasi diberi dengan aman, yang dapat mewujudkan keadilan dan keamanan yang baik serta terjaganya kekuasaan dalam taqwa kepada Allah. Wallahu a’lam bisshawab.[]

Comment