Banjir Sumatera: Negara Gagal Jaga Amanah, Islam Tawarkan Jalan Pemulihan

Opini43 Views

 

Penulis: Amrullah Andi Faisal | Kolumnis Publik

 

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada Desember 2025 menyapu rumah-rumah, jembatan, sekolah dan desa-desa. ia menyapu kepastian hidup ribuan keluarga.

Hampir seribu jiwa meninggal, ratusan hilang dan ratusan ribu warga masih mengungsi dalam ketidakpastian. Mereka kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga dan tumpuan hidup. Namun yang lebih pedih, mereka kehilangan negara pada saat paling membutuhkan.¹

Karena itu, tragedi ini tidak boleh dilabeli sekadar bencana alam. Ia adalah cermin besar yang memantulkan wajah kegagalan sistemik. Tata kelola lingkungan yang rapuh, ekonomi ekstraktif yang rakus, serta birokrasi yang bergerak lamban ketika nyawa manusia dipertaruhkan.

Betapa memilukannya melihat ibu-ibu menggenggam pakaian anaknya yang tersisa dari lumpur, atau lelaki tua memandangi hamparan puing bekas rumah yang telah dihuni tiga generasi.

Pada mereka, kita melihat akibat paling jelas dari hukum pembangunan yang cacat. Ketika tanah digunduli, air mengambil kembali apa yang dirampas darinya. Kemudian bangsa ini membayar dengan nyawa.

Reuters mencatat deforestasi, pembukaan lahan dan lemahnya pengawasan memperbesar daya rusak banjir dan longsor.²

Di saat bersamaan, krisis kesehatan pascabencana juga memburuk. Wabah diare, demam, keterbatasan tenaga medis, dan minimnya air bersih memperlihatkan sistem penanganan darurat tidak terintegrasi sebagaimana seharusnya.³

Ribuan keluarga meringkuk di tenda darurat, menunggu bantuan yang tiba setengah terputus-putus. Seolah nyawa rakyat dapat menunggu, sementara koordinasi birokrasi sedang mencari ritmenya.

Tragedi ini menunjukkan kerusakan alam, juga kerusakan moral kebijakan publik. Di sinilah Islam memberi arah yang lebih tegas dan melebar. Pengelolaan alam merupakan urusan teknis, sekaligus amanah ilahi yang harus dipikul dengan keadilan dan ketakwaan.

Islam dari Etika Menjadi Sistem

Krisis ekologis seperti ini tidak dapat diselesaikan dengan regulasi tambal-sulam. Ia menuntut perubahan cara pandang. Dari pembangunan yang serakah menuju pembangunan yang beradab.

Dalam Islam, manusia adalah khalifah, bukan penguasa semena-mena. Allah menegaskan dalam Surah Al A’raf ayat 56, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”

Kerusakan ekologis merupakan masalah teknis, juga kemaksiatan struktural. Maka, respons Islam harus bersifat struktural pula.

1. Penegakan Hukum Lingkungan sebagai Kewajiban Syariah

Pemerintah wajib menindak tegas perusahaan yang merusak hutan, DAS (daerah aliran sungai), dan bukaan lahan ilegal. Bukan lagi dengan sanksi administratif yang mudah dinegosiasikan, tetapi hukuman yang benar-benar mencerminkan nilai syariah. Keadilan, restitusi dan pencegahan kerusakan lebih lanjut.⁴
Tidak ada alasan membiarkan para pelaku bisnis rakus berlindung di balik izin kabur atau kedekatan politik.

2. Tata Ruang Berbasis Risiko dan Keadilan Sosial

Penataan ruang harus kembali pada prinsip keberlanjutan. Melindungi masyarakat dari bahaya dan melarang pembangunan di zona rawan longsor. Relokasi harus manusiawi, disepakati warga, dan diberi kompensasi layak. Ini selaras dengan prinsip adl (keadilan distribusi), di mana kebijakan tidak boleh memaksa yang lemah menanggung beban kegagalan negara.

3. Skema Keuangan Islam untuk Restorasi

Potensi zakat dan wakaf di Indonesia amat besar. Namun belum dioptimalkan untuk mitigasi bencana. Waqaf produktif dapat diarahkan untuk restorasi hutan terdegradasi, pembangunan embung dan penahan erosi, pendanaan infrastruktur hijau, serta subsidi pemulihan rumah warga miskin terdampak.⁵

Ini bukan utopia. Waqaf lingkungan telah berhasil pada sejumlah negara Muslim dan dapat direplikasi dengan cepat.

4. Masjid dan Pesantren Pusat Ketahanan Komunitas

Masjid dan pesantren memiliki modal besar. Kedekatan dengan masyarakat, kepercayaan publik, dan mobilitas relawan yang tinggi. Mereka dapat menjadi pusat pendidikan mitigasi bencana berbasis syariah, pusat logistik komunitas, simpul evakuasi cepat, serta penyedia dukungan psikososial bagi korban. Ini menghidupkan kembali fungsi masjid sebagai pusat peradaban dan pelindung umat.

5. Transparansi Data dan Partisipasi Rakyat

Dashboard kebencanaan seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) harus dibuka seluas-luasnya. Peta risiko, progres penyaluran bantuan, kondisi pengungsi. Tanpa transparansi, kepercayaan publik runtuh. Islam mengajarkan amanah. Amanah berarti keberanian untuk membuka data yang menyangkut keselamatan masyarakat.⁶

6. Restorasi Ekologis, Program Jangka Panjang

Reforestasi, konservasi lahan basah, rehabilitasi sungai dan pembuatan embung harus dilakukan konsisten, bukan sebagai proyek seremonial. Ekosistem yang sehat adalah benteng terbaik terhadap bencana. Di sinilah konsep himā dalam sejarah Islam relevan. Wilayah lindung yang tidak boleh dieksploitasi, demi menjaga keseimbangan alam.

7. Dari Reaktif ke Syariah Governance

Kementerian terkait harus memiliki mekanisme koordinasi tetap, bukan improvisasi tiap bencana. Islam memerintahkan pemerintahan yang responsif, akuntabel, memprioritaskan keselamatan rakyat dan bebas dari konflik kepentingan. Tanpa reformasi institusi, semua program hanya menjadi dokumen rapi yang tidak menyentuh akar masalah.

Penutup
Saatnya berhenti menganggap bencana sebagai takdir, padahal ia hasil ulah tangan kita. Bencana di Sumatera harus menjadi titik balik. Kita telah menyaksikan bagaimana alam yang dieksploitasi dengan rakus membalas secara brutal.

Kita telah menyaksikan bagaimana birokrasi yang lamban mengorbankan nyawa. Kita telah menyaksikan bagaimana pembangunan yang tidak bermoral menagih bayaran yang tak terukur.

Islam bukan sekadar menawarkan seruan moral. Ia menawarkan sistem lengkap yang memadukan etika, tata kelola, distribusi keuangan, perlindungan ekologis dan kesejahteraan sosial.

Jika kita ingin memastikan bahwa banjir seperti ini tidak lagi menelan ratusan nyawa, kita membutuhkan keberanian untuk melepaskan paradigma lama. Kembali pada paradigma amanah Ilahi dalam mengelola bumi. Inilah saatnya menjadikan Islam bukan hanya identitas, tetapi solusi sistemik.[]

Rujukan
1. BNPB – Pembaruan data korban dan kondisi penanganan bencana, Desember 2025.
2. Reuters – Laporan dampak deforestasi dan bukaan lahan terhadap banjir di Sumatra, 2025.
3. Reuters – Laporan krisis kesehatan pascabencana di Aceh dan Sumatera, 2025.
4. Reuters – Investigasi penghentian aktivitas perusahaan terkait kerusakan lingkungan.
5. ANTARA – Potensi dan pengelolaan dana keagamaan untuk mitigasi bencana, 2025.
6. Databoks – Data pengungsi dan kerusakan rumah akibat banjir Sumatera, 8 Desember 2025.

Comment