Oleh: Ika Rini Puspita, S.Si | Penulis Buku ‘Negeri 1/2’
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Baru-baru ini kita dibuat heboh lagi atas kenaikan harga BBM. PT Pertamina (Persero) kembali melakukan penyesuaian harga BBM jenis Pertamax, selang 3 bulan tidak dilakukan perubahan harga. Penyesuaian ini berlaku per 1 September 2023.
Mengutip pengumuman resmi Pertamina, Jumat (1/9/2023), harga Pertamax naik Rp900 menjadi Rp13.300 per liter. Sebelumnya, BBM dengan nilai oktan 92 (RON 92) ini dibanderol seharga Rp12.400 per liter per Juni 2023.
Penyesuaian harga tersebut dilakukan dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (Bisnis.com, 01/9/2023).
Kebijakan menaikkan BBM secara tiba-tiba sepertinya sudah menjadi tabiat penguasa hari ini. Sampai kapan rakyat bisa bernafas lega? Sampai kapan kesulitan ini akan berakhir? Kapan kepentingan rakyat menjadi prioritas sebagaimana yang dijelaskan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?
Dengan naiknya harga BBM rakyat pun makin sulit, di antaranya:
Pertama, meski penyesuaian harga BBM adalah jenis nonsubsidi, tetap saja kenaikan tersebut akan berimbas pada perekonomian rakyat. Semua lini akan ikut merasakan dampaknya. Masyarakat pun sudah tidak mau ambil pusing.
Statemen liar di tengah masyarakat seperti “Sudahlah walaupun kita aksi/demo berjilid-jilid pun tidak akan di dengar oleh penguasa”. “Penguasa sekarang tuli, tuli mendengar aspirasi rakyat!” “Anti kritik” “Kita taat sajalah, walaupun kita tidak tahu besok mau makan apa, imbas kenaikan BBM.”
Miris juga sebenarnya mendengar aspirasi rakyat yang sudah masa bodoh. Rakyat justru mempertanyakan sosok mereka yang dulu menangis saat BBM naik, sekarang saat berkuasa tidak memihak rakyat!
Kedua, dampak kenaikan BBM nonsubsidi memang tidak secara langsung kepada rakyat kecil. Karena, pengguna jenis Pertamax juga rakyat yang punya hak untuk dijamin kebutuhannya. Seperti halnya ‘keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Namun, kita patut menduga, apakah kebijakan ini dalam rangka uji coba pengondisian penghapusan Pertalite yang sedang dikaji Pertamina dan pemerintah? Dalam usulan tersebut, Pertalite direncanakan diganti dengan BBM jenis Pertamax Green 92. Ini artinya, harga Pertamax dan Pertalite kemungkinan tidak sama.
Dengan pengondisian awal penyesuaian harga Pertamax, bisa jadi karena pemerintah berkeinginan agar rakyat tidak kaget dengan perubahan harga dan jika dinaikkan akan legowo/lapang dada menerima keadaan! Sebab di pemerintahan Jokowi dalam dua periode ini sudah tujuh kali menaikkan harga BBM baik bersubsidi maupun nonsubsidi. Luarbiasa meresahkan.
Beginilah jika kita hidup dalam sistem kapitalisme demokrasi, aturan dibuat sesuai kehendak dan kepentingan kuasa. Sejatinya, berapa pun harga minyak mentah dunia, harga BBM di Indonesia pasti akan naik.
Kondisi saat ini merupakan momentum saja untuk menaikkan harga BBM bersubsidi secara logis dan legal. Jika harga minyak mentah dunia tidak naik, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Sejak disahkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), swastanisasi dan liberalisasi migas di Indonesia berjalan makin masif dari hulu hingga hilir. UU ini membuka pintu lebar-lebar bagi swasta lokal dan asing untuk masuk dalam pengelolaan migas, termasuk penjualan BBM kepada rakyat. Muncullah SPBU-SPBU asing yang bukan milik Pertamina.
Jika harga BBM di Indonesia masih disubsidi, SPBU-SPBU asing tersebut tidak akan bisa mendapatkan banyak keuntungan. Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, para investor migas di sektor hilir akan hengkang. Oleh karena itu, liberalisasi migas harus berjalan secara total.
Jika tidak ada subsidi, harga BBM akan sama dengan harga pasar, inilah kondisi yang diinginkan para investor asing. SPBU mereka akan bersaing secara bebas dengan SPBU Pertamina sehingga bisa meraup cuan secara maksimal. Innalillahi. Liberalisasi migas ini makin sempurna dengan disahkannya UU Cipta Kerja.
Perizinan bagi swasta untuk usaha hilir migas makin dipermudah karena cukup izin dari presiden saja. Sanksinya pun dari pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah daerah tidak terlibat dalam perizinan, pengawasan, dan pemberian sanksi. Artinya selama negeri ini masih bersandar terhadap kapitalisme, BBM murah akan menjadi mimpi belaka.
Satu-satunya cara untuk mewujudkan BBM murah adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dengan konsep kepemilikan yang menempatkan tambang migas dengan deposit besar sebagai milik umum yang dikelola negara untuk rakyat, terwujudlah kesejahteraan rakyat. Tidak ada celah bagi liberalisasi migas di sektor hulu maupun hilir.
Harga BBM yang dijual ke rakyat hanya sebesar biaya produksinya, bukan mengacu pada harga pasar dunia. Ketika kebutuhan BBM rakyat tercukupi dengan harga yang terjangkau, kegiatan ekonomi rakyat dan dunia usaha berjalan baik, kesejahteraan pun terwujud. Wallahu a’lam.[]
Comment