Djoko Edhi Abdurrahman:KPK Cuma Punya Narasi Korupsi EKTP

Berita498 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA
– Mulai brebet. Sejak kapan Bareskrim menggunakan dalil Lex Specialis
seperti dikemukakan Mantan Wakil Ketua KPK Pandu Praja. Kalau
menggunakan dalil itu, pimpinan KPK dulu tak bisa disel oleh Jenderal
Buwas. 
Tabrak saja Pak Tito, sebab next
menyusul korps kepolisian. Bahaya itu. Saya baca surat Anas Urbaningrum,
juga menolak anggapan BAP KPK bahwa ia menerima duit korupsi EKTP itu. 
Teguh
Juarno juga. Setnov malah duluan menolak. Ahok menolak. Seharusnya
semua Anggota Komisi II melapor ke Bareskrim, Komnas HAM, Ombudsman, dan
PMH (onrechtmatige daad). Seperti kata Pandu, Marzuki Alie menerima
duit yang dituduhkan BAP. Tapi berani tidak, Pandu jadi saksi dan
menyodorkan bukti, bukan narasi?
Bukti itu yang
tak ada kini. Karena tak punya bukti, KPK menempuh kiat memperbanyak
saksi, untuk kemudian mengubah kesaksian menjadi bukti materil. Kiat
standar. Akibatnya, jumlah BAP mencapai 24.000 halaman, 280 saksi. Kalau
punya bukti untuk apa saksi sebanyak itu, padahal sidang tak boleh
lebih enam bulan.
Konstruksinya Rekening Gendut
Sama kasusnya dengan rekening gendutnya Jenderal Budi Gunawan yang ditangani KPK. Cuma narasi, tak ada materilnya. 
Materilnya
tahun 2004, saya masih di Komisi III DPR dan membahas kasus ini dengan
PPATK. Akun dan duitnya sudah tak ada ketika terbit sprindiknya Abraham
Samad. 
Plus dokumen kadaluarsa terhadap bukti.
Berdalil bisa, tapi bukti tak ada. Melawan Budi Gunawan dan keperkasaan
Pasal 170 KUHAP diterabas oleh Hakim Sarpin. Pasal itu kini tak bisa
lagi menjadi tempat sembunyi Penyidik dan JPU. Tak punya bukti kuat,
kalah di Praperadilan. Makanya dapat dipastikan KPK takkan berani
menaikkan status saksi menjadi tersangka. 
Satu
hal yang terlupakan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan tanpa
korban, sama seperti narkoba, pelaku saling kenal dan sepakat melakukan
kejahatan. Karenanya kalau cuma narasi, sulit dibuktikan. 
Sebentar
lagi pasti ada narasi Presiden SBY menerima aliran dana, tapi cuma
narasi seperti berita sosmed yang covernya dilay-out BAP. Itulah bahaya
yuridis ketika penegak hukum menjadi alat kekuasaan atau alat
nonjustice, menjadi extra judicial. 
Saya baca
di BAP penerima duit, saksi-saksi utama tak di BAP sebagai terdakwa
karena KPK tak punya bukti. Hanya dua terdakwa yang berkisah seperti
novel fiksi. Yaitu, KPK tak punya bukti, cuma narasi. 
BAP Dramaturgi
Saya
berkesimpulan BAP itu dramaturgi. Ujung-ujungnya cuma dua tedakwa dari
Dukcapil itu yang masuk. Tapi KPK beroleh credit point memperbaiki
wibawanya yang digerus Ahok tanpa menanggung resiko dikerjai kekuasaan
karena kasus itu legacy rezim Abraham Samad.
Kalau
narasi yang mau digunakan, Ketua KPK Agus Rahardjo dituduh Gamawan
Fauzi terlibat karena ia yang pimpin lelangnya. Sementara hak paten dari
perusahaan Perancis itu sudah diakuisisi oleh perusahaan milik Setnov. 
EKTP
bukan baru. Tahun 2000, sudah saya bahas dengan Noorca Massardi yang
waktu itu Redpel Majalah Forum. Puluhan ribu orang mendemo Presiden
Perancis Franqois Mitterand meminta proyek EKTP dibatalkan. Dan
Mitterand membatalkannya.
Alasan para demonstran, pertama content EKTP adalah data pribadi yang lalu dibaca oleh satelit dan dipublikasikan. 
Kedua, data EKTP berada di wilayah hukum privat, tak boleh masuk ke wilayah hukum publik. 
Ketiga, data privat itu tak jelas siapa yang menguasai. 
Keempat, melanggar HAM. 
Belakangan
prototipe ini dibeli Setnov dan terbit di Indonesia. Untuk tiap
penerbitan kartu itu, Setnov akan kebagian Rp 2.000 dari Rp 5.000 harga
jualnya, sedang dari proyek itu akan menerima 11%. Setnov tak menerima
cashnya, tapi kata BAP ada Rp 500 miliar yang mengalir ke DPP Golkar. 
Itu
yang dimaksud Yusril Ihza Mahendra pemerintah hendaknya mengajukan
pembubaran Golkar ke MK. Yaitu, penerimanya adalah lembaga orpol. Bisa
itu. Tapi Presiden Jokowi bisa jadi nomaden karena PDIP juga akan ikut
bubar. Jadi gelandangan deh.
Sementara
itu, kualitas kartu EKTP yang telah terbit KW3 (kualitas tiga)
dibanding kartu ATM. Begitu pula chips di dalamnya. Tapi sudah dibantah
oleh Setnov di TV News. Duit yang banyak sekali itu dan terus mengalir
hingga akhir zaman sepanjang Indonesia memakai EKTP. Canggih Setnov.[]

Comment