Forum Anak Antara Cita Cita Dan Kenyataan

Opini661 Views

 

Oleh: Ummi Cahaya, S.Pd, Mompreneur dan Ibu Peduli Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejak terbitnya Perpres Nomor 25 Tahun 2021 tentang kebijakan KLA (Kabupaten/Kota Layak Anak), setiap provinsi diharuskan memperhatikan sistem pembangunan yang menjamin hak dan kewajiban anak khususnya lembaga pemerintahan terkait seperti Kementrian PPPA.

Muncullah istilah Kota Ramah Anak dengan mengadakan penilaian tahunan dan penghargaan bagi kota atau kabupaten tersebut bila telah memenuhi kriteria.

Merujuk Pemerintahan Kabupaten Karawang Jawa Barat di situs karawangkab.go.id, ada enam kriteria atau penilian evaluasi kota layak anak.

Pertama, adanya penguatan kelembagaan yang memuat peraturan atau kebijakan daerah tentang KLA.

Kedua, adanya hak sipil dan kebebasan terkait data registrasi dan fasilitas yang berkaitan dengan KLA

Ketiga, adanya hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif yang terstandarisasi serta infrastruktur publik yang ramah anak.

Keempat, adanya hak kesehatan dasar dan kesejahteraan yang berkaitan dengan fasilitas pelayanan kesehatan, prevalensi status gizi balita, persentase cakupan pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) usia di bawah 2 tahun, persentase fasilitas pelayanan kesehatan dengan pelayanan ramah anak, persentase rumah tangga dengan akses air minum dan sanitasi yang layak, dan ketersediaan kawasan tanpa rokok.

Kelima, hak pendidikan dan seni budaya. Hal ini berkaitan dengan peraturan wajib belajar 12 tahun dengan sekolah ramah anak dan adanya fasilitas untuk kegiatan yang berkaitan dengan kreatifitas dan kegiatan budaya.

Keenam, hak perlindungan khusus dengan beberapa indikator diantaranya; Anak korban kekerasan dan penelantaran yang terlayani, persentase anak yang dibebaskan dari Pekerja Anak (PA) dan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA), anak korban pornografi, NAPZA dan terinfeksi HIV/AIDS yang terlayani, anak korban bencana dan konflik yang terlayani, anak penyandang disabilitas, kelompok minoritas dan terisolasi yang terlayani, kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) (khusus pelaku) yang terselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif dan diversi, anak korban jaringan terorisme yang terlayani, dan anak korban stigmatisasi akibat pelabelan terkait kondisi orang tuanya yang terlayani.

Kota Medan Jadi Sorotan, Invalid Pendataan?

Laksana teori ‘angin lalu’, masyarakat lebih menilai fakta lapangan yang setiap hari ia saksikan. Dari keenam indikator di atas, ternyata kota tempat penulis tinggal, Medan, Sumatera Utara, menyabet penghargaan kota layak anak peringkat Madya.

Didukung pula data Badan Pusat Statistik Sumut yang mempublikasi jumlah anak penyandang masalah sosial. Di sana tertera bahwa Kota Medan dinihilkan dari kategori anak jalanan, korban kekerasan, korban narkotika, tuna susila, pengemis, pemulung dan fakir miskin pada tahun 2020 (lihat: sumutbps.go.id)

Namun realitanya masih ditemukan keenami kategori tersebut dihampir setiap persimpangan lampu merah jalan raya Kota Medan. Perlu akurasi data dan kenyataan.

Tambahan Lembaga Tak Akhiri Derita

Sudah tak terhitung jumlah yayasan peduli sosial di negeri ini termasuk Provinsi Sumatera Utara yang sama-sama bercita ingin menghentaskan segala masalah sosial khususnya pada anak, termasuk kesejahteraan, pendidikan dan seluruh hak anak agar terpenuhi seluruhnya. Kian hari makin bertambah namun tak menampakkan efek signifikan.

Dari lembaga asuhan Kementrian PPPA sendiri salah satunya ada FAN (Forum Anak Nasional) yang juga baru-baru ini melakukan agenda berupa Penguatan Forum Anak Sumut di Hotel JW Marriot, Kamis (14 /7/2022).

Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Nawal Lubis menuturkan bahwa pemerintah pusat telah menargetkan Indonesia secara nasional akan menjadi Negara Layak Anak pada 2030 mendatang.

Tentu saja masyarakat mengharapkan seluruh paparan itu adalah kenyataan. Namun lagi-lagi diingatkan dengan data yang ada, bahwa Kota Medan memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 183.000 jiwa dan Sumut sendiri memiliki 456.000 jiwa. Tentu ini jumlah yang mampu didata. Tidak menutup kemungkinan fakta lapangan justru berbeda.

Dari angka tersebut, masyarakat dituntut untuk memenuhi gizi anak, pendidikan anak, fasilitas kesehatan yang layak, demi mengejar predikat KLA dengan ragam indikatornya.

Padahal manakala hari mulai senja hingga malam tiba, anak di bawah umur ramai di lampu merah menjadi pedagang tisu, koran, air mineral, bahkan menjadi manusia silver, badut mampang atau pengamen dan pengemis dengan beragam rupa.

Belum lagi jika membahas fakta kekerasan dan pelecehan seksual pada anak, kasus narkoba, rokok, lem, dan kenakalan remaja. Wajar seluruh fakta ini membuat para ibu peduli generasi begitu terusik.

Islam Akhiri Masalah Sistemik Tak Sekadar Gimik

Islam sebagai agama yang tidak memperkenankan pemisahan dari kehidupan membuat para penganutnya wajib menjauhkan aturan sekuler termasuk dalam bernegara. Oleh karena ITU, terkait hak anak, Islam demikian memperhatikan bahkan sejak ia masih berupa janin dalam kandungan ibunya. Kemudian ia lahir, melewati masa kanak-kanak bahkan segala peraturan disusun sampai seseorang mencapai usia baligh.

Aturan tersebut apat kita bagi menjadi beberapa aspek:

1. Skala Individu
Dalam berbagai dalil baik al-Quran dan Hadits orang tua dimotivasi untuk menjadi individu bertaqwa dan menjadi teladan. Ayah memenuhi kewajibannya sebagai pencari nafkah sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Baqarah: 233 dan juga memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin keluarga (an-nisa’: 34).

Ibu memenuhi pula perannya sebagai pengatur rumah tangga dan madrasah utama bagi anak-anaknya. Anak dibekali dengan pemahaman mumpuni sejak dini agar kuat fisik dan mental menghadapi medan kehidupan.

2. Skala Masyarakat
Dalam aspek sosial Islam sejak dahulu telah menegakkan zakat dan menyuburkan sedekah. Tak cukup di situ, amar ma’ruf wa nahi munkar sebagai bagian dari perintah Sang Pencipta QS. Ali Imran ayat 110, QS. Ali Imran Ayat 104, QS. Ali Imran Ayat 114, dan QS. Hûd ayat 117.

Sehingga seluruh masyarakat berperan mencegah kemaksiatan dan kompak menghentaskan beragam masalah yang menjangkiti masyarakat, khususnya anak-anak bahkan sampai penguasanya. Aktivitas mencerdaskan ummat khususnya wanita yg kelak menjadi ibu laksana pintu cepat menyelematkan jutaan generasi kedepan.

3. Skala Negara
Poin pertama dan kedua amat sulit terlaksana tanpa andil skala ketiga ini dalam mewujudkannya. Sebab negaralah yang membuat regulasi/aturan.

Kita ambil contoh ketika Islam dahulu pernah diterapkan oleh negara di era kekhilafahan.  Masa Umar bin Khaththab misalnya, yang memfasilitasi para pendidik berstandar ulama dengan penggajian yang amat layak mampu mencetak generasi terbaik yang terdidik dengan pola pikir dan pola sikap islam.

Umar radhiyallahu ‘anhu juga menyantuni seorang ibu mulai kehamilan hingga kelahiran anak atau bahkan menyantuni mereka yang telah menua dan lemah hingga tak punya kemampuan mengurusi anak-anaknya.

Hal ini diikuti pula oleh kepemimpinan Islam setelahnya. Termasuk fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis bagi semua kalangan. Miskin atau kaya semua berhak mendapatkan subsidi tanpa merasa terzalimi. Kesejahteraan mewujud ketika sebuah negara menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dengan menerapkan Islam secara paripurna tanpa memilih yang mudah-mudah saja.

Namun beda lagi jika negara memilih kapitalisme sekuler sebagai landasan bernegara. Di sini kebebasan begitu diagungkan hingga jadi bumerang bagi generasi yang akan datang. Kemaksiatan meraja tindak kriminal mewabah mulai kota sampai negara. Bahkan pelakunya anak di bawah umur pula. Na’udzubillah.[]

Comment