Hari Santri: Pesantren Menuju The Golden Age of Islamic Civilization?

Opini434 Views

 

Penulis Sherly Agustina, M.Ag.
|  Pemerhati Kebijakan Publik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bulan Oktober sangat dinanti oleh para santri di Indonesia. Bagaimana tidak, karena ada hari spesial yang akan mereka rayakan bersama yaitu tanggal 22 Oktober.

Peringatan hari santri 22 Oktober 2025 adalah peringatan ke-10, dengan mengusung tema, “Kawal Indonesia Merdeka, Pesantren Menuju Peradaban Dunia”. Begitu banyak harapan dari peringatan hari santri tahun ini, akankah santri mampu menjadi pelaku peradaban pioneer kebangkitan Islam menuju zaman keemasan peradaban Islam?

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional sebagai “anak tangga pertama” menuju kembali “The Golden Age of Islamic Civilization” (Zaman Keemasan Peradaban Islam).

Menag menjelaskan bahwa kebangkitan kembali peradaban emas seperti pada masa Baitul Hikmah di Baghdad, harus dimulai dari lingkungan pesantren.

Menag menegaskan pula bahwa zaman keemasan seperti yang pernah terjadi di Baghdad pada masa kepemimpinan Harun Al-Rasyid bisa tercapai karena adanya integrasi ilmu.

Ulama pada masa itu tidak hanya mahir memahami kitab kuning (Ilmu Agama)  tetapi juga mahir dalam kitab putih (Ilmu Umum). Jadi, pondok pesantren tidak hanya menguasai kitab kuning (kitab turats), tetapi juga harus menguasai kitab putih misalnya bahasa Inggris, sosiologi, kitab-kitab politik dan sains.

Menurutnya, runtuhnya peradaban Islam pada masa itu dikarenakan adanya dualisme ilmu, pemisahan antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum menjadi pembatas keilmuan cendekiawan hingga masa kini.

Perpaduan dua jenis keilmuan ini adalah kunci, ia meminta pondok pesantren untuk cerdas dan tidak membatasi diri pada satu jenis keilmuan. Pondok pesantren adalah “benteng paling kuatnya Indonesia”.

Oleh karena itu, pondok pesantren harus menjadi pelopor kebangkitan, sebab Islam di Nusantara sejak awal dibawa melalui “soft diplomacy” oleh ulama besar seperti Wali Songo, yang berdakwah dengan damai tanpa memusuhi pemerintah lokal.

Laman memenag.go.id (2/10/2025) mengatakan, selama pondok pesantren mempertahankan lima unsur sejatinya: Masjid, Kiai, Santri, termasuk kuat membaca Kitab Turats dan memelihara habitnya sebagai pesantren, maka The Golden Age of Islamic Civilization dapat kembali dimulai dari Indonesia.

Peringatan Hari Santri 2025

Menag membuka acara MQK Internasional di Pesantren As’adiyah Wajo, Kamis (02/10/25). Acara ini bagian dari serangkaian peringatan Hari Santri 2025 yang digelar dalam skala yang lebih luas. Tema besar yang diusung yaitu, “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”.

Peringatan tahun ini bukan hanya seremonial melainkan menjadi momentum strategis untuk meneguhkan peran santri sebagai agen perdamaian, penjaga moral bangsa, dan motor penggerak peradaban dunia.

Jadi, santri bukan hanya penjaga tradisi tetapi juga sebagai aktor aktif dalam membangun masa depan bangsa yang inklusif, sejahtera, dan berperadaban.

Staff Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media/Hubungan Masyarakat, dan Pengembangan SDM, Ismail Cawidu menyatakan bahwa seluruh rangkaian Hari Santri 2025 disiapkan secara terpadu untuk menggambarkan tiga peran utama santri masa kini, yaitu sebagai duta budaya, agen perubahan sosial, dan motor kemandirian ekonomi.

Hal ini merupakan era baru kehadiran santri di kancah global. Untuk pertama kalinya, diselenggarakan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) tingkat Internasional di Pesantren As’adiyah Sengkang, Sulawesi Selatan pada 1–7 Oktober 2025.

Ajang prestisius ini mempertemukan para santri dari berbagai negara Asia Tenggara untuk menunjukkan keunggulan mereka dalam mengkaji kitab kuning — warisan intelektual klasik Islam.

Selain MQK Internasional, digelar pula Halaqah Astaloka di delapan titik strategis nasional, dari Pondok Pesantren Tebuireng hingga Masjid Istiqlal, yang mengkaji kembali nilai Resolusi Jihad dalam konteks kekinian. Santri tidak hanya mengaji, tetapi membawa cahaya peradaban. Kini saatnya santri Indonesia memberikan kontribusi nyata bagi dunia.

Menurutnya, seperti ditulis uindatokarama.ac.id, (19/9/2025), langkah ini menunjukkan bahwa santri Indonesia siap tampil sebagai duta Islam moderat – Islam wasathiyah – di panggung internasional, sekaligus menguatkan diplomasi budaya Indonesia di mata dunia.

Mereduksi Peran Santri?

Sekilas tema besar yang diusung dalam peringatan Hari Santri 2025 seolah membawa secercah harapan. Namun, perlu dicermati dalam pandangan syariat apabila sistem sekuler-liberal yang masih diterapkan di negeri ini.

Bahkan, perlu ditelaah adanya upaya pengokohan sekularisme di dunia pesantren dengan mendistorsi posisi strategis pesantren sebagai pusat pencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam.

Mendistraksi fokus santri dengan memosisikannya sebagai duta budaya dan motor kemandirian ekonomi, yang jelas-jelas kontraproduktif dengan peran strategis santri sebagai calon warasatul anbiya’.

Harus dibedakan peran pesantren, santri, dan negara. Islam memiliki konsep sistem ekonomi yang komprehensif. Apabila sistem ekonomi Islam berjalan dengan baik, roda perekonomian akan berjalan dengan ideal.

Pemerintahan Islam memiliki kas negara (baitulmal), pemasukannya yaitu zakat, harta milik umum (SDA), fa’i, kharaj, jizyah, dan lainnya. Dalam Islam SDA dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, tidak seperti dalam kapitalisme korporat (oligarki) asing yang menguasai SDA negara. Sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Hal ini pula yang membuat roda perekonomian negeri ini tidak berjalan dengan baik dan mendorong para santri menjadi penggerak ekonomi bangsa. Tentu saja ini keliru.

Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Menag, bahwa ada harapan dari santri dan pesantren untuk mengembalikan kembali The Golden Age of Islamic Civilization dengan menyatukan kitab kuning dan putih. Artinya, tidak ada lagi dikotomi dalam dunia pendidikan.

Namun, sadarkah bahwa sekularisme itu sendiri yang membuat dikotomi yang memisahkan ilmu agama dan ilmu umum sehingga Islam tidak dipahami secara kafah? Bahkan, dalam sekularisme agama tidak dikehendaki dalam kehidupan dan bernegara.

Jadi, untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seharusnya dengan menghilangkan penyebab itu sendiri yaitu tidak lagi menggunakan sistem sekularisme yang menyebabkan adanya dikotomi. Hanya menggunakan sistem Islam saja yang menyatukan ilmu agama dan sains kehidupan, sejarah telah membuktikan penerapan islam selama berabad-abad.

Tidak mungkin terjadi pemahaman menyatukan ilmu dalam bingkai sekularisme. Apalagi kebijakan suatu negara dipengaruhi oleh kekuatan global negara adidaya. Di mana negara adidaya tidak akan ‘rela’ umat Islam kembali bangkit menguasai dunia.

Maka, mereka terus berupaya agar sekularisme tetap ditetapkan di seluruh negeri-negeri kaum muslim agar umat Islam tetap dalam keterpurukannya. Dibuat pula upaya pembelokan arah perjuangan santri menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekularisme, serta mengarahkan santri sebagai duta Islam moderat (wasathiyah) yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Jika memahami Islam kafah distigmatisasi dengan label radikal, lalu digiring opini bahwa umat Islam khususnya santri harus moderat tidak radikal. Seolah radikal itu berbahaya, tapi berbahaya bagi siapa sebenarnya? Tentu bagi musuh Islam karena mereka tidak ingin umat Islam bangkit dengan pemahaman Islam kafah (menyeluruh).

Mewujudkan Kembali Peradaban Islam

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa upaya mewujudkan kembali peradaban Islam adalah kewajiban setiap mukmin, bukan sekadar narasi dan seruan semata tapi harus real action. Sangat penting bagi umat Islam khususnya santri untuk memahami bagaimana Islam membangun peradaban.

Dikutip dari buku Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, hlm. 94-95, 2003. Di antaranya, asas peradaban adalah akidah Islam yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab suci-Nya, Hari Kiamat, serta kepada qadla dan qadar baik buruknya dari Allah Swt..

Asas ini yang memperhatikan ruh (hubungan manusia dengan Pencipta). Konsep kehidupannya adalah penggabungan materi dengan ruh, menjadikan semua perbuatan manusia berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

Setiap tujuan dari perbuatan yang dilakukan agar berjalan sesuai perintah Allah dan larangan-Nya adalah keridaan Allah semata, bukan manfaat.

Adapun dari setiap perbuatan ada nilai yang ingin diraih berupa nilai materi, kemanusiaan, ruhiyah, dan akhlak. Jadi, makna atau gambaran kebahagiaan dalam Islam yaitu hanya ingin mendapatkan rida Allah Swt. bukan hanya sekadar pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia saja.

Maka, pesantren hanyalah salah satu komponen yang berperan dalam mewujudkan kembali peradaban Islam. Namun, butuh perjuangan dakwah politik Islam yang terarah pada hadirnya peradaban Islam yang hakiki. Ketahuilah, peradaban Islam sejati hanya akan terwujud dalam sistem Islam.

Jadi, apabila ingin mengembalikan kejayaan Islam seperti abad keemasan di masa dahulu tak ada pilihan selain ikut dalam perjuangan penegakan sistem pemerintahan Islam khususnya para santri sebagai pelaku peradaban. Siapkah? Allahua’lam Bishawab.[]

Comment