INDEF dan PCRC Gelar Diskusi Panel Bertema “Konflik SDA, Tanah dan Hambatan Investasi”

Nasional111 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Diskusi panel yang diprakarsai Indef dan PCRC tersebut digelar melalui zoom meeting, Rabu (11/12/24)  dengan menghadirkan para pakar seperti Imaduddin Abdullah, Ph.D, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, Emir Chairullah, Ph.D, Peneliti PCRC.

Hadir dalam moment tersebut, pendiri INDEF sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini  sebagai pengantar pembuka diskusi dan Alia Rahmatulummah sebagai moderator.

Imaduddin Abdullah, Ph.D, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, dalam diskusi tersebut mengatakan, sejak 2023 Indonesia telah masuk ke dalam negara Upper midle income countries, tapi untuk masuk ke high income countries masih jauh. Perlu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Menurutnya, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 7 – 8 % per tahun jika ingin masuk ke dalam kelompok negara-negara high income countries. Keinginan pemerintahan Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%/tahun banyak sekali tantangannya.

“Dibutuhkan minimal 7% pertumbuhan ekonomi pada 2045 untuk bisa disebut high income coutries. Dari catatan sejarah, negara lain pun kesulitan mencapai angka GDP 7-8%, kecuali China.” Tegasnya.

Saat ini, tambahnya, kita cukup pandai memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki. Jika masa bonus demografi sudah lewat, maka untuk bisa move out dari midle income coutries akan sulit, dan akan seperti negara-negara di dunia termasuk di Amerika latin yang kehilangan bonus demografi, menjadi bangsa yang ‘’tua sebelum kaya’’ karena ketiadaan tenaga-tenaga muda produktif.

Sayangnya, tambah Direktur Kolaborasi Internasional INDEF ini, pada beberapa dekade terakhir, sangat jarang Indonesia mencapai pertumb ekonomi 7-8%. Kecuali di 1980 an pernah mencapai 10 %. Pernah capai rerata 7,5% an di 1974 – 1980 an.

Itu pun kata dia, karena ada faktor slow base impact, karena belum berkembang, maka setiap aktivitas ekonomi tercatat sangat tinggi pertumbuhannya. Kedua, Faktor Oil Boom, di mana mengalami surplus ekonomi tinggi sehingga berdampak sangat tinggi bagi pertumb ekonomi.

Selanjutnya rerata pertumb ekonomi hanya 5,2 % meski ada commodity boom. Pasca covid 19 Pertumb ekon cenderung stagnan di 5% an atau di bawah 5%.

Dari sisi aspek modal di mana investasi dan faktor-faktor productivity dapat didorong menjadi mesin dari pertumb ekonomi dalam jangka panjang.

Terjadi tren anomali, di mana hampir semua negara (contohnya Malaysia, Vietnam, Thailand) mengalami peningkatan stock investasi dibanding persentasinya thd GDP, kecuali yang dialami oleh Indonesia yang justru alami penurunan. Stock investasi yang masuk ke dalam negeri mengalami penurunan.

Penurunan incoming stock investasi terjadi dua tahun setelah Jokowi dilantik pada 2016. Meski setelah itu pada 2020 disahkan UU Cipta Kerja yang semula diharapkan bisa meningkatkan investasi yang masuk. Tapi justru investasi kembali menurun pada 2020 – 2023.

ICOR Indonesia juga dari tahun ke tahun menjadi relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain, mencerminkan ekonomi yang boros. Di mana investasi di Indonesia berbiaya tidak efisien.

Crony Capitalism terjadi di Indonesia di mana orang-orang terkaya mendapatkan banyak kesempatan menambah pundi-pundi ekonomi melalui bantuan para kroni yang mempermudah praktik-praktik bisnisnya. Paling banyak adalah dari sektor SDA batubara, kayu, sawit, nikel, oil and gas.

Crony Capitalism itu juga berakibat terjadinya konflik sosial pertanahan yang semakin marak, akibat tidak dipatuhinya hukum kepemilikan/hak hak atas tanah invididu dan tanah adat oleh pelaku ekonomi konglomerasi. Konflik-konflik tersebut harus disadari akhirnya akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pembicara selanjutnya, Emir Chairullah, Ph.D mengatakan bahwa terjadi konflik lahan sumber daya alam di Indonesia terutama untuk investasi baru yang bermula dari tidak adanya kesepakatan dalam pembebasan lahan antara individu beserta tanah adat. Konflik tersebut kini telah menjadi perhatian internasional.

Dia menambahkan, konflik tersebut kemudian meningkat ke tahap kekerasan oleh aparat negara, ketika para pihak tidak mampu atau tidak mau terlibat dalam proses dialog dan penyelesaian konflik yang konstruktif.

Selama periode Joko Widodo (2014-2024), telah terjadi 2710 konflik agraria di lahan seluas 5,88 juta hektar, di mana 78% di antaranya terjadi di lahan perkebunan. Pada masa SBY konflik lahan hanya 1500 konflik. Sayangnya dampak konflik tersebut kepada investasi swasta atau pun pemerintah tidak diperhitungkan.

Akar masalah konflik SDA dan Tata Ruang di Indonesia berakar pada kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan pembangunan infrastruktur besar, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

“Hal ini diperparah dengan penetapan proyek strategis nasional yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.” Ujar Emir.

Dia menambahkan, harus lebih diperhatikan dampak konflik SDA terhadap investasi akibat dari klaim sepihak tanpa konsultasi memadai dengan para pemilik tanah ulayat atau individu. Hal itu juga terjadi akibat kompensasi pembebasan lahan yang tidak sesuai.

Di samping itu kurangnya perhatian terhadap dampak ekologis. Tanpa memperhitungkan bahwa konflik-konflik tersebut dapat menyebabkan kerugian investor dan tertundanya investasi. Juga dapat menurunkan tingkat kepercayaan terhadap stabilitas investasi.

Untuk mengurangi potensi konflik SDA dan meningkatkan penerimaan investasi, pemerintah dan perusahaan perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

“Dialog yang melibatkan semua pihak, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan program CSR yang efektif dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik dan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat lokal.”ujarnya.

Sebagai kesimpulan dan langkah ke depan

Mengatasi konflik SDA dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Dengan menerapkan rekomendasi ini, diharapkan Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan.[]

Comment