RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sudah hampir pertengahan Ramadhan dilalui masyarakat, namun keprihatinan demi keprihatinan datang silih berganti. Belum usai pandemi covid-19, masyarakat dunia mulai diintai krisis pangan dan pandemi kelaparan.
Eksekutif Direktur World Food Programme (WFP), David Beasley, memperkirakan bahwa jumlah orang yang meninggal akibat dampak buruk ekonomi yang kemudian beralih menjadi kelaparan, akan berpeluang lebih banyak daripada akibat terinfeksi virus corona itu sendiri.
WFP juga mengatakan, bahwa masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi corona. Terdata, saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan.
Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Hingga diperkirakan, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang. (Tempo.com).
Mereka mayoritas adalah rakyat dari negara-negara berkembang, yang selama ini menjadi “korban” kerakusan negara negara kapitalis besar dunia.
Tak hanya mengancam negara berkembang, tapi bahaya kelaparan juga mengintai Amerika Serikat, negara induk kapitalis. Sekitar 30,2 juta orang kena PHK di sana. Dampaknya, mobil-mobil mengantre makanan hingga empat jam menjadi pemandangan biasa di sana.
Mereka tak sanggup lagi memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga harus bergantung kepada pemerintah menyediakannya.
Tak terkecuali Indonesia.
Meski belum termasuk negara yang mengalami bencana kelaparan kronis maupun akut, namun potensi krisis pangan dan kelaparan ini tetap harus menjadi alarm nasional.
Pasalnya, Indonesia sudah diprediksi menjadi negara yang termasuk paling lambat mengakhiri pandemi covid-19. Indonesia, dengan limpahan kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa, ternyata juga harus kelimpungan menghadapi pandemi ini.
Sistem kapitalisme yang diadopsi, telah membuat Indonesia tak bisa lepas dari ketergantungannya pada dikte asing. Inilah yang menjadi biang kerok penanganan wabah pun gagal di negeri ini mengikuti kegagalan para “tuannya”.
Sebelum Covid-19 menyerang, 22 juta penduduk Indonesia sudah mengalami kelaparan kronis. Pasca merebaknya pandemi Covid-19, jumlah itu bertambah dengan cepat. Gelombang PHK besar-besaran menimbulkan pandemi kemiskinan dan kelaparan.
Kebijakan PSBB yang tak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat terdampak, semakin menambah besar ancaman kelaparan. Terlebih setelah masa PSBB dan larangan mudik ke kampung halaman, lagi-lagi rakyat kecil adalah kalangan yang paling terdampak.
Hendak pulang ke kampung halaman, tak punya ongkos. Mau bertahan di tanah rantau, juga tak mampu membiayai hidup karena tidak punya pendapatan. Kondisi serupa juga menimpa warga setempat yang sama-sama dinonaktifkan dari pekerjaan pascacorona.
Tak pelak, perbuatan mencuri akhirnya menjadi solusi paling “mutakhir” menurut mereka, daripada harus menyerah dengan bunuh diri. Mencuri karena lapar. Mati karena lapar. Fenomena ini sungguh mengiris hati. Namun sudah cukup untuk membuktikan adanya kontraproduksi kebijakan.
Jika dalam kondisi normal tanpa pandemi saja kemiskinan dan kelaparan masih menjadi PR besar pemerintah, apalagi saat pandemi.
Termasuk daerah di provinsi Jambi, sulitnya selama pandemi covid-19 banyak petani dan buruh sawit yang terancam kelaparan karena tidak memiliki akses atas komoditas pangan.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Yusro Fadil menuturkan, saat ini bantuan sosial (bansos) sembako dari pemerintah tak diterima oleh para petani dan buruh sawit.
Sehingga, pihaknya meminta pemerintah bisa mengucurkan bansos sembako juga terhadap petani dan buruh sawit. Menurut Yusro, buruh sawitlah yang lebih rentan akan kelaparan.
Pasalnya, buruh ini tak memiliki la lahan seperti para petani. “Bahkan istilahnya mereka ini lebih baik mati karena Corona, daripada mati karena kelaparan.
Karena kondisi hari ini ada beberapa daerah itu sangat berpotensi sekali mereka tidak makan. Kalau petani sawit masih aman, tapi buruh sawit ini yang akan terganggu”. “Yang dibutuhkan petani hari ini, khususnya buruh sawit itu adalah sembako.
Jadi ini yang belum tepat sasaran, ini yang belum mereka terima,” ungkap Yusro dalam diskusi online Dampak COVID-19 pada Buruh dan Petani Sawit, Jumat (24/4/2020) Detik.com .
Di samping kelaparan, masyarakat juga terancam bahaya yang tak kalah ngerinya yaitu kriminalitas. Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana menyatakan tingkat kriminalitas di wilayah hukumnya naik 10 persen selama masa pandemi virus Corona.
Sementara itu Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono menyatakan peningkatan kriminalitas sebesar 19,72 persen dari masa sebelum pandemi.
Memang, kelaparan dan kriminalitas adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sekalipun tak semua kejahatan dilatarbelakangi tuntutan kebutuhan mengisi perut, tapi tak bisa dipungkiri bahwa lapar menjadi pendorong utama seseorang melakukan tindakan kriminal semacam pencurian, perampokan, penjambretan, dll. Ditambah lagi kebutuhan tinggi selama Ramadan dan harga bahan pokok yang terus naik. Juga adanya pembebasan ribuan narapidana dengan dalih mengurangi risiko penyebaran di dalam sel bui.
Ancaman bahaya kelaparan dan kriminalitas adalah bukti nyata kegagalan negara kapitalis. Kalaupun wabah ini berakhir, tak ada jaminan masalah akan berakhir. Kemiskinan, kelaparan, penderitaan, akan terus menimpa sebagian besar umat manusia di muka bumi ini.
Mengapa? Karena dalam desain kapitalisme, hanya segelintir orang yang berhak menikmati kekayaan alam dunia yang berlimpah ruah ini.
Faktanya, sebelum wabah pun, kondisi di berbagai negara berkembang (baca: miskin) dunia, mereka berjuang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Sementara di negara-negara maju, penduduknya berjuang melawan kegemukan. Kesenjangan kaya dan miskin tersebut semakin hari semakin besar. Pascawabah, ancaman kelaparan pun semakin besar.
Solusi Islam Atasi Pandemi Penyakit dan Pandemi Kelaparan
Islam datang dengan seperangkat aturan multidimensional yang mengatur manusia dengan manusia yang lain.
Perangkat hukum Islam diturunkan Allah SWT dengan tujuan khusus yakni agar ia menjadi rahmat atas seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS al Anbiya [21] : 107).
Penerapan syariat Islam secara keseluruhan dalam semua aspek kehidupan oleh negara akan memastikan rahmat bagi seluruh alam itu benar-benar mewujud. Negara Khilafah akan menjamin terhindarnya manusia dari bahaya kelaparan maupun kriminalitas.
Para khalifah akan menjalankan tugasnya hingga jaminan tersebut benar-benar bisa direalisasikan. Itu karena kesadaran penuh bahwa ia memiliki tugas sebagai raa’iin (pengatur dan pemelihara) dan junnah (pelindung) sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Seorang imam (khalifah) adalah raa’in (pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Khalifah menyadari penuh bahwa pengurusan dan penjagaan terhadap rakyatnya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah di hari akhir kelak. Satu saja rakyatnya yang lapar, maka begitu besar murka Allah kepadanya.
Apalagi jika kelaparan itu sampai mengantarkan kepada kematian. Sudah masyhur dalam sejarah Islam bagaimana kisah Khalifah Umar Bin Khaththab ra. yang rela memanggul sendiri sekarung gandum demi untuk seorang wanita rakyatnya yang kelaparan dengan kedua anaknya, sementara ia sebagai penguasa baru mengetahuinya.
Demikianlah, negara dengan sistem Islam akan melahirkan sosok-sosok penguasa yang bertakwa kepada Allah, takut kepada-Nya, dan selalu merasa diawasi oleh-Nya hingga membuatnya bersungguh-sungguh berusaha mengurus seluruh urusan rakyatnya.
Negara dengan sistem Islam akan memenuhi kebutuhan pokok tiap rakyatnya baik berupa pangan, pakaian, dan papan.
Mekanismenya adalah dengan memerintahkan para laki-laki untuk bekerja (lihat QS al Baqarah 233) dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi mereka.
Bagi yang tidak mampu bekerja karena sakit, cacat, ataupun yang lainnya, maka Islam telah menetapkan nafkah mereka dijamin kerabatnya. Tapi jika kerabatnya juga tak mampu, maka negara Khilafah yang akan menanggungnya.
Adapun di masa wabah, maka negara Khilafah akan menerapkan kebijakan lockdown sehingga rakyat di wilayah terdampak tak bisa keluar dan yang di luar tak bisa masuk. Dalam kondisi seperti ini maka semua rakyat di wilayah terdampak akan dijamin kebutuhan pokoknya.
Adapun wilayah yang tak terdampak bisa tetap menjalankan aktivitas ekonominya sehingga roda perekonomian bisa berjalan dengan baik. Negara Khilafah bisa fokus menyehatkan rakyat yang sakit dan mengedukasi agar yang sehat tidak tertular yang sakit di daerah terdampak.
Sungguh berbeda dalam sistem kapitalisme, rakyat harus menjadi miskin dulu untuk mendapat bantuan dari pemerintah. Itu pun harus dengan berbagai syarat sebagai bukti bahwa ia benar benar miskin.
Peran negara Kapitalis hanya sebatas fasilitator dan motivator, sementara urusan rakyat diserahkan kepada mereka sendiri. Bahkan, saking berlepas tangannya, harta zakat dan haji dijadikan salah satu sumber dana penanganan wabah sehingga penarikan dan pendistribusiannya dianjurkan dimajukan.
Sementara negara Khilafah akan hadir dalam setiap kondisi dan akan menjalankan fungsinya sebagai raa”in dan junnah. Melindungi keimanan mereka, ketaatannya, juga keselamatan jiwanya. Negara dengan model Islam mampu memenuhi semua jaminan kebutuhan pokok rakyatnya tanpa kekurangan sedikit pun.
Hal tersebut bisa terjadi karena di dalam Islam, sumber daya alam termasuk dalam harta kepemilikan umum di mana pengelolaannya dilakukan negara Khilafah, yang hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada seluruh rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan publik sehingga semua fasilitas dan layanan pendidikan, kesehatan, juga keamanan bisa didapatkan semua rakyat secara gratis.
Dengan kondisi jaminan kebutuhan hidup sedemikian rupa, masih adakah kriminalitas? Pemicu kriminalitas sudah tidak ada. Kalaupun ada kejahatan, pastinya bukan karena desakan kebutuhan hidup.
Untuk mengatasinya, negara dengan model pemsrintahan Islam akan menerapkan sistem uqubat (persanksian) Islam. Dalam Islam, penerapan syariat Islam salah satunya bertujuan untuk menjaga harta.
Untuk itulah negara dengan sistem Islam menetapkan sanksi atas kasus pencurian yaitu dengan potong tangan bagi pencuri (lihat QS al Maidah 38.). Ini adalah sanksi keras untuk mencegah godaan melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain.
Penerapan syariat Islam juga bertujuan untuk menjaga jiwa. Oleh karena itulah Islam juga menetapkan sanksi atas pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang diperbolehkan syariat. (lihat QS al Baqarah 179).
Dalam kondisi wabah, penerapan sanksi islam akan sangat efektif mencegah kriminalitas. Ditambah lagi, negara Khilafah dengan semua kekayaannya, mampu menyediakan anggaran keamanan yang memadai untuk membuat sistem keamanan yang kuat.
Penerapan sistem sanksi Islam yang diiringi penerapan hukum Islam kafah oleh negara Khilafah akan mencegah masyarakat melakukan kejahatan karena semua faktor pemicunya dihilangkan.
Sistem politik yang sehat, pengaturan ekonomi yang adil, pendistribusian kebutuhan pokok (primer) yang merata ke seluruh individu masyarakat, dan pemberian fasilitas yang adil bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, pengendalian media massa, kuatnya sistem keamanan, ketakwaan individu, kontrol masyarakat yang baik (adanya amar makruf nahi mungkar), semuanya itu akan mencegah kriminalitas, baik dalam kondisi normal maupun saat wabah melanda.
Sudah saatnya umat manusia meninggalkan sistem kapitalisme yang telah gagal membangun peradaban manusia yang sesungguhnya. Manusia harus mencari sebuah sistem alternatif dan shahih yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, dan telah terbukti selama lebih dari 13 abad berkuasa di dunia, melahirkan peradaban unggul nan mulia yaitu peradaban Islam yang membawa kejayaan umat Islam dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallahua’lam bishowab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment