Irmadel Aurelliana*: Jerat Utang Ancam Kedaulatan Negara

Opini512 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Wabah coronavirus desease 19 ( covid-19) yang tengah melanda negeri-negeri seluruh dunia, membawa pengaruh buruk terhadap ekonomi. Tidak ada yang bisa lari dari kenyataan ini. Amerika, yang notabene pengusung ideologi kapitalisme pun, ketar- ketir menghadapi situasi ekonomi yang semakin lesu dalam segala bidang.

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak jauh beda dengan negara- negara lainnya, malah lebih parah lagi. Apalagi Indonesia adalah negara pengekor Barat dengan ideologi kapitalismenya tentu tidak bisa keluar dari situasi sulit sekarang ini.

Hal tersebut menghantarkan keluarnya kebijakna berupa peraturan presiden pengganti undang-undang (perppu), guna mengatasi situasi politik ekonomi dalam negeri.

Dilansir finance.detik.com, DPR menyetujui peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) menjadi undang-undang (UU).

DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengesahan tersebut menjadi landasan pemerintah menanggulangi dampak COVID-19 terhadap ekonomi nasional.

Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional.

Untuk memenuhi dana tersebut, pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% itu setara Rp 1.028,5 triliun terhadap PDB. Untuk memenuhi hal itu, pemerintah berencana menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun.

Pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020.

Hingga April ini, penerimaan dari PPh Migas tercatat Rp 15 triliun atau 34% dari target APBN. Sementara untuk pajak nonmigas nilainya Rp 361,7 triliun atau 29,9% terhadap APBN. Sedangkan untuk penerimaan dari Kepabeanan dan Cukai realisasinya hingga April Rp 57,7 triliun atau 27,7% dari APBN.

Meski penerimaan pajak secara umum tampak lesu, nyatanya penerimaan cukai hasil tembakau mengalami kenaikan signifikan hingga 26% secara year on year (YoY), dari Rp 34 triliun di April 2019 menjadi Rp 43 triliun di April 2020.

“Penerimaan cukai hasil tembakau naik. Ini cukai hasil tembakau ini disebabkan limpahan penerimaan tahun sebelumnya efek PMK 57,” kata Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, Rabu (20/5/2020).

Ia melanjutkan, bila tanpa limpahan dari tahun sebelumnya, penerimaan cukai hasil tembakau hanya naik tipis 1,6%.

Seorang presiden sepatutnya menimbang kebijakan dan memikirkan apa resiko akibat kebijakan tersebut ke depan.

Setelah pengesahan Perppu Corona, pemerintah juga memiliki wewenang lebih besar (tanpa perlu restu DPR) untuk mencari ‘jalan keluar’ atas problem defisit anggaran (APBN).

Dalam kondisi defisit seperti ini, bisa diduga bahwa jalan yang ditempuh adalah dengan utang asing baru maupun penerbitan Surat Utang Negara (SUN).

Dengan menerbitkan Surat Utang Negara senilai Rp. 990,1 T guna mengatasi pandemi covid-19 dan melindungi ekonomi nasional.

Utang ini diterbitkan negara secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel maupun private pleacement dalam dan atau luar negeri.

Jalan pintas yang diambil pemerintah ini tentu memiliki dampak buruk terhadap fundamental ekonomi maupun kemandirian bangsa.

Kepemimpinan dengan sistem ekonomi kapitalis memang sangat rentan terhadap goncangan fiskal, sebab sumber pemasukan dana negara terbesar berasal dari sektor pajak dan utang.

Sehingga, ketika negara tidak bisa memungut pajak dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan fiskal, solusi alternatifnya adalah utang.

Utang kepada negara kapitalis yang terus membumbung inilah, yang secara tidak langsungj justeru dapat mengancam kedaulatan negara dan menambah penderitaan rakyat.

Kebijakan nasional akan mudah dikendalikan dan didikte sesuai kepentingan negara kapitalis sebagai kompensasi utang yang digelontorkan. Kondisi inilah yang menjadikan negara penghutang  bergantung kepada negara pemberi pinjamam yang ke depan dikhawatirkan mengancam kedaulatan negara.

Karena negara terintervensi oleh kepentingan para kapitalis. Sedangkan untuk menutupi utang tersebut, negara akan menaikkan pajak yang harus ditanggung rakyat, maka tidak heran pemerintah mengambil pajak hampir di semua sektor.

Sistem ekonomi kapitalis yang merupakan turunan dari ideologi kapitalisme sekuler telah menyusahkan rakyat maupun negara teramat dalam. Mereka harus terkungkung untuk memenuhi kepentingan-kepentingan para pemilik modal.

Pandemi covid -19 yang telah menguliti kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam menjamin kebutuhan rakyat maupun negara seharusnya membuka mata kita untuk mencari alternatif sistem lain.

Islam memiliki solusi efektif dan efisien di semua turunan dan kebijakannya, karena Islam bukan hanya sekedar agama/ akidah seseorang melainkan ideologi yang berasal dari Pencipta manusia.

Di dalamnya terdapat aturan bagaimana manusia hidup di dunia. Termasuk segala pembiayaan yang menyangkut haja hidup orang banyak yang disebabkan oleh bencana, seperti covid 19 yang sedang melanda. Semuanya dapat diselesaikan oleh syariat islam.

Lalu, dari mana negara islam menyusun anggaran keuangannya? Dari mana negara islam memperoleh sumber- sumber pemasukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya?

Sistem anggaran negara islam pastinya tidak berpijak pada utang luar negeri, di mana selama ini utang luar negeri menjadi andalan bagi APBN di negeri- negeri islam. Padahal utang ini bisa saja menjadi alat politik dan ekonomi yang sangat ampuh bagi negara- negara Barat untuk mencengkeramkam kekuatannya dan mengeksploitasi kekayaan negeri- negeri islam.

Sumber-sumber pemasukan negara islam dikumpulkan dalam Baitul Mal. Sumbernya ada yang bersifat tetap, artinya baik negara islam tengah membutuhkan harta atau tidak, sumber- sumber pemasukan ini tetap harus dipungut sebagai sebuah ketetapan syariat yang berasal dari Allah swt.

Sumber- sumber tersebut diantaranya adalah harta fa’i/ harta rampasan perang, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat.

Jenis harta yang dapat dimasukkan ke Baitul Mal seperti cukai di pos- pos perbatasan, harta- harta yang sesungguhnya milik umum/ masyarakat namun pengelolaannya diserahkan kepada negara islam, yang meliputi pertambangan- pertambangan mineral dan gas bumi, dan harta waris yang tidak memiliki ahli warisnya.

Oleh karena itu, dapat kita bayangkan bagaimana kemakmuran yang akan dinikmati oleh kaum muslimin di seluruh dunia di bawah naungan  sistem dan aturan Islam.

Jika berbagai SDA berupa pertambangan emas, perak tembaga, dan lain lain, belum lagi hasil hutan, danau, sungai, laut dan yang lainnya semua dikembalikan pengelolaannya hanya kepada negara, bukan malah diserahkan kepada asing begitu saja.

Ditambah lagi dengan sistem keuangan yang memakai dinar dirham ( emas dan perak) yang tidak mudah rentan mengalami krisis moneter, karena dinar dirham memiliki nilai yang tetap, tidak mudah anjlok nilainya sekalipun diterpa krisis.Wallahu’ alam.[]

*Mahasiswi Upi Fakultas Mipa, Bamdung

Comment