Penulis: Mansyuriah, S. S | Alumnus Sastra Arab UNHAS
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Orang bijak taat pajak. Begitu bunyi salah satu slogan agar wajib pajak mau dan taat bayar pajak. Seakan menyiratkan bahwa kalau kamu orang bijak, pasti akan bayar pajak.
Maka sejalan dengan slogan itu, pemerintah senantiasa melakukan terobosan dalam menyasar para wajib pajak. Regulasi terbarunya adalah para penunggak pajak kendaraan bakal dikejar sampai ke rumah.
Seperti dilansir dari Kompas.com (11/11/2024) sejumlah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) di beberapa daerah mulai mendatangi rumah penunggak pajak kendaraan untuk meminta warga melunasi kewajibannya.
Tapi uniknya, laman cnbcindonesia (22/02/2024) menulis bahwa mobil listrik impor akan dibebaskan pajaknya. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024.
Faktanya konsumen mobil listrik hanya berputar pada golongan atas. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pajak hanya menyasar golongan menengah ke bawah.
Kebijakan pengejaran pajak pada rakyat juga nyata berbeda dengan perlakukan pemerintah pada pengusaha. Padahal rakyat sudah hidup susah dengan banyak potongan pajak, sementara pengusaha justru banyak mendapat keringanan pajak.
Mirisnya lagi hasil pajak yang menjadi modal utama pemasuskan negara untuk biaya pembangunan tidak memberi dampak nyata terhadap nasib rakyat.
Instrumen Kapitalisme Memalak Rakyat
Selain utang, pajak adalah salah satu instrumen fiskal yang diterapkan oleh negara berazas kapitalis sebagai sumber pendapatan. Dua unsur ini menjadi hal penting bagi negara untuk memproyeksikan kebijakan ekonomi.
Dikutip dari buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 menunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami kenaikan pada 2025 menjadi Rp2.189,3 triliun. Maka target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp2.189,3 triliun, ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp2.000 triliun di mana jumlah sebelumnya Rp1.988,9 triliun.
Untuk mencapai target itu, ada saja cara yang ditetapkan negara untuk memajaki rakyatnya.
Tingginya pajak dengan segala bentuk variasinya tentu akan membebani rakyat. Padahal untuk kehidupan sehari hari saja, mereka harus berjuang mengais rezeki. Ironisnya di tengah kesulitan itu mereka masih harus dibebani dengan pungutan pajak.
Benarlah bahwa berbagai macam kebijakan yang ada saat ini termasuk pajak sangat tidak pro terhadap rakyat.
Tingginya angka pajak suatu negara membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, kenyamanan hidup mustahil diperoleh secara gratis. Jika ingin hidup nyaman maka ada harga yang harus dibayar oleh rakyat, yaitu pajak. Posisi negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.
Begitulah keniscayaan yang harus diterima dalam sistem kapitalisme. Peran negara sangat minim, sehingga rakyat harus “menghidupi” diri mereka sendiri.
Cara Islam Memungut Pajak
Islam menetapkan sumber pendapatan negara dari banyak hal. Selain pengelolaan SDA berupa kekayaan alam – baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam, ataupun minyak bumi, Islam juga mengatur pemasukan dari berbagai macam. Misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ganimah. Semua pemasukan itu akan membuat kas negara baitul mal terisi dan bisa digunakan negara untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Untuk pajak atau dharibah, Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pajak hanya dipungut di saat tertentu jika baitul mal (kas negara) kosong, bukan agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Itu pun hanya berlaku pada orang kaya saja. Warga yang tidak memiliki kelebihan harta – yang dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja pas-pasan, tidak akan ditarik pajak.
Penggunaan dana dari dharibah, misalnya untuk jihad, gaji tentara, maupun industri militer sangat urgen dipenuhi. Sementar untuk pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jembatan atau jalan hrus dilihat dulu. Jika infrastruktur tersebut urgen untuk dibangun, sedangkan baitul mal kosong, maka negara akan memberlakukan pajak.
Namun, jika pembangunan itu tidak urgen, misal sudah ada jembatan atau jalan alternatif, maka negara tidak akan memaksakan pembangunan tersebut. Dengan begitu, alokasi anggaran baitul mal benar-benar tepat sasaran dan menurut skala prioritas. Kebutuhan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan pembangunan.
Demikianlah, mekanisme singkat Islam memungut pajak. Mekanisme ini hanya bisa berlaku dengan penerapan sistem Islam secara kafah.
Berbagai kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Negara tidak hanya mengandalkan rakyat dan menjeratnya dengan beragam pajak. Wallahu a’lam.[]
Comment