Karhutla Membara, Kapan Pelaku Jera?

Opini87 Views

 

 

Penulis: Maulinda Sari | Aktivis Muslimah dan Pemerhati Sosial

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beberapa hari ini ramai pembicaraan kebakaran yang terjadi di Nromo,  Jawa Timur. Luasnya area yang terbakar membuat tempat wisata ini ditutup. Hingga saat ini berbagai upaya terus dilakukan untuk memadamkan api di sana. Hal ini menyebabkan kerugian besar baik ekosistem alam, kesehatan maupun ekonomi masyarakat yang bergantung pada sektor pariwisata.

Namun sebenarnya kebakaran pun terjadi di berbagai daerah seperti di pulau Borneo, terbakarnya lahan gambut, juga terbakarnya hutan dan lahan di Kalimantan Timur. Karhutla terjadi di Kutai kartanegara, Paser, Samarinda dan terparah di Berau. Bahkan terbanyak se-Kalimantan Timur dari catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kaltim yang memantau 148 titik api terdeteksi.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, Nofian Hidayat seperti ditis berai.prokal.co mengatakan, saat ini ada lebih dari 80 titik api di Berau. Setiap hari, personel gabungan melakukan pemadaman di berbagai titik yang ada di Berau.

Karhutla hampir terjadi tiap hari di beberapa wilayah dan berulang – ini membuktikan tidak ada kesadaran dan efek jera bagi pelaku karhutla. Karhutla  terjadi berulang – ulang, salah satunya karena unsur kesengajaan masyarakat yang membuka lahan dengan cara dibakar. Petani pun disalahkan. Menurut petani itu adalah cara yang murah dan cepat. Karena para petani memerlukan  modal bertani yang cukup banyak dan mahal.

Negara dirasa kurang antisipasi cegah karhutla, dari sisi penanganan pun kurang ( personel pemadam kurang). Bahkan Danru II Damkar Berau, Agus Harianto mengatakan saat ini banyak anggota damkar yang sudah memasuki purna tugas, sehingga jumlah personel menjadi berkurang.

“Anggota di lapangan sudah mulai kewalahan, mengingat anggota kami saat ini banyak yang tidak muda lagi,” ujarnya.

Kondisi alam yang sedang kemarau memang identik dengan Karhutla, sejatinya karena deforestasi. Negara seharusnya mampu memprediksi hal ini dan mencegah agar Karhutla tidak terulang lagi. Namun bukannya menyentuh akar persoalan Karhutla, justru yang menjadi perhatian hanya dari sisi akibat Karhutla tersebut. Seperti dampak kerugian kesehatan dan ekonomi, termasuk gangguan penerbangan akan tetapi tindakan pemerintah tidak menyentuh persoalan mendasar yakni tata kelola SDA termasuk hutan yang diserahkan kepada kapitalis. Maka persoalan karhutla tidak akan selesai jika akar masalahnya masih bercokol.

Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.

Islam mampu mencegah Karhutla

Hutan merupakan Sumber Daya Alam yang sejatinya diperlukan seluruh rakyat. Jika hutan tidak ada masyarakat akan berselisih dalam mencarinya. Oleh karena itu islam sangat memperhatikan pengelolaannya. Tata kelola SDA dalam Islam termasuk hutan menjadi perhatian negara.

Nabi saw., bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).

Islam solusi tuntas setiap persoalan apapun, termasuk bagaimana mengelola hutan dan tidak mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi atau para kapital. Hutan yang termasuk kepemilikan umum, sejatinya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan masyarakat. Hutan tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta maupun asing. Negara hanya boleh mempekerjakan pihak swasta dengan akad kerja. Pihak swasta diupah sesuai pekerjaannya bukan kontrak karya seperti saat ini.

Penanganan negara terhadap petani/ masyarakat agar tidak membakar hutan saat hendak membuka lahan. Adalah dengan ketentuan yang sesuai hukum syara. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih mampu menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Islam juga memiliki sistem sanksi tegas ketika terjadi karhutla. Dalam hal sanksi/hukum negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).

Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.

Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.[]

Comment