Karhutla Terus Berulang, Mengapa?

 

 

Oleh: Mutiara Aini, Pegiat Literasi

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Karena jumlah pepohonan yang ada di dalamnya dapat mendaur ulang udara dan menghasilkan lingkungan sehat bagi manusia, hutan sering disebut sebagai paru-paru dunia.

Namun sayang, akhir-akhir ini kerap terjadi kebakaran hutan dengan penyebab beraneka ragam – karena faktor alam dan ulah tangan manusia.

BPBD Kalimantan Selatan seperti ditulis antaranews.com (24/6/23) baru-baru ini melaporkan, luas total sementara kebakaran hutan dan lahan pada 24 Juni lalu, Kalsel mencapai 163,15 hektare. Kebakaran tersebut tersebar hingga 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan dengan 2.168 titik api.

Sementara di Riau, kompas.com (22/6/23) menuli bahwa karhutla melanda kawasan suaka margasatwa Giam Siak kecill kecamatan Pinggir, kabupaten Bengkalis, provinsi Riau. Diperkirakan 10 hektar habitat gajah Sumatera ini musnah terbakar sejak pertengahan Juni lalu.

Laman metrotvnews.com (24/6/23) menulis, di Aceh seluas 21,5 hektare lahan gambut terbakar. Hingga dalam waktu sepekan sudah 5 kali terjadi kebakaran lahan dan hutan di kawasan hutan lindung di Aceh.

Akibat Ulah Tangan Manusia

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan ini bukan yang pertama kali. Hampir setiap tahun kebakaran hutan melanda negeri ini. Penyebabnya pun bermacam-macam mulai dari faktor alam hingga faktor manusia yang dengan sengaja membakar hutan untuk pembukaan lahan.

Kebakaran hutan sangat membahayakan jiwa manusia dan asap yang dihasilkan dapat menimbulkan polusi udara dan ancaman terhadap pemukiman warga. Selain itu asap akibat karhutla ini juga berpotensi membahayakan jalur penerbangan dan beresiko terhadap keselamatan penumpang.

Masalah kebakaran hutan sejatinya tidak lepas dari penanganan dan pengawasan lahan hutan yang tidak optimal oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pasalnya, selama ini pembukaan lahan hutan melalui pembakaran memang diperbolehkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Di sisi lain negara juga gagal memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku pembakaran hutan secara liar.

Kebakaran hutan pun diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap persoalan ini akibat minimnya edukasi kepada masyarakat. Semua ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini.

Dalam sistem ekonomi kapitalis hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat. Sehingga pemerintah berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan. Mindset korporasi sebagai pemilik modal berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan dampak lingkungan. Aktivitas dan proses membakar hutan untuk pembukaan lahan adalah salah satu cara mudah dan sesuai target bisnis para korporat.

Karena itu momok persoalan ini adalah penerapan sistem kapitalisme yang membiarkan para kapitalis melakukan pembakaran hutan dan menempatkan  pemerintah pada fungsi regulator yang memuluskan kepentingan korporat melalui kebijakan.

Islam Melindungi Bumi

Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam. Rasulullah SAW. bersabda yang artinya “kaum muslimin berserikat dalam 3 perkara, yaitu padang rumput atau hutan, air dan api.(HR. Abu Daud)

Hal ini pun telah disepakati oleh para ulama terdahulu, bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi padang rumput atau hutan adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang.

Dengan demikian berserikatnya rakyat dalam ketiga hal tersebut bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak atau komunitas. Jika tidak ada, maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan.

Rasulullah Saw. bersabda:”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya atau rakyatnya.”(HR. Muslim).

Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa, apapun alasannya negara tidak boeh bertindak hanya sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Negara bertanggung jawab dan harus terjun langsung mengelola hutan, melakukan pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman jika terbakar. Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi dan aktivitas pembakaran hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang.

Hal ini diharamkan dalam Islam. Islam tidak mengenal hak konsesi karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara dengan tujuan kemaslahatan rakyat.

Rasulullah Saw. dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud menjelaskan bahwa tidak ada himmah atau hak pemanfaatan khusus kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya. Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah wajib dan segera menanganinya. Pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatn dan memelihara kemaslahatan mereka.

Semua ini hanya bisa diwujudkan ketika negara mau menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat mewujudkan kelestarian hutan. Wallahu’alam bishowwab. []

Comment