Kekerasan Perempuan Dan Anak, Sampai Kapan? 

Opini494 Views

 

 

 

Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T, Dosen dan Pemerhati Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Berbagai regulasi dan program terus digagas demi mengatasi segudang problem yang mendera negeri, termasuk masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ide keadilan dan kesetaraan gender, kota ramah anak, kabupaten/kota layak anak, dan beragam agenda lainnya tak mampu menekan jumlah kekerasan yang terjadi. Bahkan, disinyalir terus bertambah dan meluas. Apakah ada yang salah dari solusi yang ditempuh sistem saat ini?

Dilansir dari makassar.tribunnews.com (11/4/2021), data dari Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) melalui Koordinator Program Women Leader LSKP, Alfiana bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 1.996 kasus selama tahun 2020 di Sulawesi Selatan.

Hal senada diungkapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bahwa sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berdasarkan hasil pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (nasional.kompas.com, 19/3/2021).

Fakta di atas bagaikan fenomena gunung es. Hal ini juga diungkapkan oleh Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Ali Khasan.

Beliau menjelaskan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai fenomena gunung es, yang terlihat hanya di bagian puncak dan permukaan saja. Sebenarnya permasalahan jauh lebih besar dari itu, ujarnya.

Tak dapat dipungkiri, kasus kekerasan dari hari ke hari kian bertambah. Diperparah dengan pandemi yang menghantam semua sektor.

Rakyat makin sengsara di tengah sulitnya kondisi ekonomi yang berimbas pada hampir semua sendi kehidupan. Kondisi ini membuat maraknya bentuk kejahatan, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kebijakan Kontraproduktif

Solusi yang ditempuh penguasa, seolah kontraproduktif dengan implemetasi dari beragam kebijakan yang ada. Sadar atau tidak sadar, berbagai program yang diluncurkan, seakan memunculkan masalah baru. Tidak berdayanya perempuan di ranah publik, ditengarai penyebab terjadinya kekerasan perempuan.

Budaya patriarki pun turut mewarnai dan menguatkan dalih penguasa untuk segera membuat regulasi untuk melindungi perempuan dan anak. Padahal realita menunjukkan, bukan hanya perempuan dan anak yang terdampak kekerasan. Laki-laki pun tak luput, terlebih di masa pandemi saat ini.

Definisi kekerasan pun menjadi tidak jelas. Kekerasan diukur hanya dari segi kuantitas korban. Asumsi bahwa perempuan sebagai pihak yang dinomorduakan adalah mindset yang sudah terlanjur terbentuk di masyarakat. Kesemua fakta tersebut selanjutnya dibuatkan regulasi atas dasar pemikiran manusia.

Namun, karena manusia adalah makhluk lemah dan terbatas, sehingga berbagai kebijakan yang dihasilkan sangat rawan terjadinya ketimpangan. Pro kontra di masyarakat pun tak dapat dihindari. Berbagai kebijkan yang sudah dibuat, seolah tak menemukan titik terang.

Salah satu payung hukum yang diharapkan mampu menjadi solusi atas semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan dan anak adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan seksual (RUU PKS).

RUU ini pun menuai polemik, baik di kalangan pemerintah dan legislatif, maupun para pemerhati dan atau aktivis dakwah. Dimana, RUU ini diduga kuat berpotensi merusak ketahanan keluarga. Banyak pasal yang ambigu, sehingga dikhawatirkan akan menjadi pasal karet.

Hal demikian sangat wajar dalam sistem sekuler liberalis. Dimana, perkara pengaturan sistem kehidupan menegasikan aturan Ilahiah dalam seluruh aspek kehidupan.

Gaya hidup hedonis dengan standar kebahagiaan adalah materi, makin membuat kehidupan menjadi rusak. Regulasi yang ada tidak mampu menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh penerapan sistem saat ini, karena dibangun di atas asas yang rusak.

Islam Memuliakan Manusia

Perempuan dan anak dalam Islam menempati kedudukan yang mulia. Penafkahan yang diwajibkan kepada laki-laki adalah salah satu bentuk penjagaan kepadanya. Terlebih anak yang memang tidak ada taklif (beban) syariat di pundaknya. Semua pengurusan anak diserahkan kepada orangtua atau walinya.

Pun ketika menjadi seorang istri, perempuan dalam tanggung jawab suaminya. Suami sebagai pemimpin dalam sebuah rumah tangga, bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan pokok anggota keluarga. Kewajiban mulia sebagai ummun wa robbatul bayt (ibu sekaligus pengatur rumah tangga), menjadikan perempuan memaksimalkan perannya di ranah domestik.

Selain itu, perempuan juga mempunyai kewajiban lain yakni sebagai anggota masyarakat. Peran ini kadang mengharuskannya keluar ke ranah publik, namun harus tetap dalam koridor yang sudah ditetapkan syariat. Diantaranya: harus seizin suami atau walinya, menggunakan pakaian syari’i, dan jika memungkinkan ditemani oleh mahromnya.

Tak kalah urgen adalah peran negara dalam memenuhi kebutuhan pokok individu dan publik, sehingga tidak ada lagi pemandangan yang memperlihatkan perempuan dan anak dieksploitasi begitu rupa seperti saat ini. Dengan instrumen sedemikian sempurna, niscaya kesejahteraan rakyat akan tercipta. Ruang untuk berbuat kriminal sangat minim, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Oleh karena itu, jika tidak ingin berlarut-larut dalam lubang kemaksiatan yang sama, saatnya kembali kepada sistem Islam paripurna.

Sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan seluruh isi semesta. Diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan, melalui negara sebagai pelaksananya. Dengannya akan tercipta kesejahteraan hidup untuk semua.Wallahua’lam bish Showab.[]

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment