Kesejahteraan Ibu Dan Ilusi Kapitalisme

Opini604 Views

 

 

Oleh:  Nurmilati, Ibu Rumah Tangga

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pengesahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) oleh DPR RI menuai pro-kontra, beberapa pihak menyambut baik karena dinilai dapat memberikan angin segar bagi pekerja perempuan. Namun, ada juga pihak yang menolak kebijakan tersebut. Lantas, mengapa aturan yang diperuntukkan bagi kaum ibu yang bekerja itu masih jadi perdebatan?

Perlu untuk diketahui, RUU KIA mengatur beberapa hal terkait jaminan kesehatan mental dan fisik bagi ibu dan anak. Salah satunya adalah penambahan cuti melahirkan dari sebelumnya hanya satu bulan kini menjadi enam bulan karena aturan lama dinilai telah mengabaikan hak ibu untuk mengurus dan merawat anaknya pada masa pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.

Selain itu, DPR RI juga menginisiasi cuti selama 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan, tujuannya adalah supaya suami bisa mendampingi istrinya yang melahirkan maupun mengalami keguguran, dan bisa ikut serta dalam tugas pengasuhan anak.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya. Lewat keterangan tertulis, (20/6/2022).

Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, pihaknya mengapresiasi pemerintah dan DPR terkait RUU KIA sekaligus menyambut baik rencana tersebut karena menurutnya ini merupakan sebuah kemajuan sebab di negara-negara Eropa kebijakan seperti ini adalah hal yang lumrah.

Ketika pekerja cuti melahirkan, upahnya tetap harus dibayar jangan pakai prinsip no work no pay. Kontan.co.id, (22/6/2022).

Dikutip dari laman resmi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), menetapkan standar periode cuti hamil adalah 14 minggu dengan rekomendasi periode cuti hingga 18 minggu untuk memastikan waktu istirahat dan pemulihan yang cukup bagi ibu.

ILO melaporkan tahun 2021 ada 120 negara di dunia yang mencatat cuti hamil yang memenuhi standar ILO yakni selama 14 minggu. Sebanyak 52 negara telah memenuhi bahkan melampaui rekomendasi cuti 18 minggu, sedangkan 64 negara masih memiliki durasi cuti hamil di bawah 14 minggu.

Dilansir dari laman World Population Review negara yang menerapkan kebijakan cuti melahirkan terlama di dunia di antaranya adalah Bulgaria, Yunani, Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Meski demikian, bagi pelaku usaha kebijakan tersebut seperti buah simalakama. Sebagaimana yang dikatakan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani menilai, aturan baru itu memberatkan dan dilema bagi pengusaha.

Satu sisi mereka ingin mendukung kebijakan pemerintah, tetapi di sisi lain aturan tersebut berdampak signifikan terhadap perusahaan, baik dari beban finansial yaitu biaya tenaga kerja, maupun non-finansial seperti rekrutmen dan pelatihan tenaga pengganti, beban manajemen untuk mengatur substitusi pekerja, dan lainnya.

Maka dari itu, pihak pengusaha meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dengan matang terkait kebijakan tersebut.

Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi memandang, kebijakan itu berpotensi memunculkan diskriminasi bagi pekerja perempuan.

Menurutnya, dari sisi kepentingan anak dinilai bagus, tetapi akibatnya kemungkinan perusahaan akan meminimalisir pekerja perempuan, atau boleh jadi dalam kontrak kerja, perusahaan mengajukan persyaratan hanya menerima pekerja yang bersedia tidak menikah selama tiga tahun. BBC News, (20/2/2022).

Begitu pula dari pihak pekerja, baik yang berstatus masih lajang maupun sudah menikah, di antara mereka ada yang menyambut baik, dan tak sedikit yang menolaknya. Bahkan, bagi kaum perempuan yang menerima pun sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya, mereka merasakan dilema. Lantas mengapa demikian?

Dilema Kaum Ibu Di Sistem Semu

Apabila ditelisik lebih jauh, lumrah adanya terjadi pro kontra terhadap kebijakan yang baru digulirkan oleh pemerintah tersebut. Betapa tidak, bagi pekerja perempuan, terlebih para Ibu yang melahirkan atau mengalami keguguran, satu sisi mereka bisa bernafas lega karena dengan durasi cuti yang lebih lama bisa merawat bayi dengan maksimal, memberi ASI eksklusif, dan sekaligus untuk pemulihan fisik dan mentalnya.

Namun, tak dimungkiri, rasa was-was pun acap kali dirasakannya, mereka khawatir jika suatu waktu kebijakan ini akan membuat perusahaan berpikir seribu kali untuk mempertahankan pekerja dari kalangan perempuan, bahkan bisa jadi pihaknya akan memberlakukan PHK kepada karyawan model begini.

Padahal, PHK merupakan momok menakutkan bagi setiap pekerja, termasuk pekerja perempuan, sebab jika terjadi PHK, tentu akan menambah beban hidupnya. Sudahlah harus fokus merawat bayi dan segala aktivitasnya sebagai seorang Ibu, ditambah bayangan kesulitan ekonomi harus siap dihadapi, PHK akan menghentikan sumber penghasilannya, sedangkan kebutuhan hidup dan penunjang lainnya yang serba mahal tentu hanya bisa terpenuhi dengan tersedianya uang yang memadai. Dengan kata lain jika tak ada materi yang mencukupi, perekonomian keluarga rentan terpuruk, dan tak jarang rumah tangga pun mudah goyah.

Sementara itu, meski suami sudah menjalankan kewajibannya untuk mencari nafkah, acap kali penghasilannya tak mencukupi untuk memenuhi biaya hidup dan berbagai kebutuhan lainnya.

Sehingga, hal tersebut mendorong istri untuk membantu mencari solusi demi menambah pundi-pundi rupiah, yaitu bekerja. Dan kasus seperti ini banyak dialami rumah tangga di Tanah Air. Hal ini terbukti dengan data yang dihimpun oleh BPS.

Banyaknya pekerja perempuan berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 dari 50,70 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan, Jumlah tersebut meningkat 2,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu 49,40 juta orang.

Mirisnya, meski banyak kaum perempuan yang bekerja dan dinilai membantu perekonomian keluarga, nyatanya kesejahteraan hidup yang diidamkan tak kunjung mampu diraih. Alih-alih bisa hidup layak, tetapi sebaliknya justru para Istri mudah depresi disebabkan beratnya beban kerja yang harus ditanggungnya, yaitu sebagai Ibu rumah tangga sekaligus mencari nafkah.

Walhasil peran ganda pun tak terelakkan lagi. Sementara itu, tindakan yang membahayakan fisik, pelecehan seksual, maupun mengganggu psikologi kerap dialaminya di tempat kerja. Sehingga, ini menjadi dilema dan nasib mereka pun kian memprihatinkan.

Namun, demikianlah gambaran kondisi pekerja perempuan di alam demokrasi. Mereka terpaksa harus berperan ganda, baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun domestik.

Tak dimungkiri, saat ini kebutuhan pribadi kaum Hawa tidaklah sedikit, mulai dari pakaian dan segala pernak-perniknya, tuntutan pemenuhan perawatan tubuh, berwisata ke tempat Instagramable bersama komunitasnya, dan berbagai tuntutan life style demi menunjang penampilan dan eksistensinya di ranah publik. Tentu, ini membutuhkan banyak biaya.

Maka hal itu mendorong mereka terjun ke dunia kerja, meski harus meninggalkan anak-anak dan keluarga. Tuntutan gaya hidup telah mengubah skala prioritas, yaitu lebih mengedepankan kepentingan pribadi ketimbang keluarganya.

Feminisme Ide Kapitalis Sekular

Fenomena seperti itu tentu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada kontribusi dan peran aktif dari aktivis perempuan melalui kampanye feminisme.

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Sehingga, dengan ide-ide yang diusungnya, perempuan diharapkan mampu mensejajarkan dirinya dengan kaum lelaki, yakni bekerja di ranah publik.

Maka tak heran jika saat ini negara di dunia, termasuk Indonesia, mendorong kaum perempuan untuk berlomba-lomba menjadi wanita karir. Dengan paradigma dan definisi kapitalis sekuler, wanita yang bekerja dan berkiprah di ranah publik dianggap lebih berharga dan bermartabat, ketimbang sekadar menjadi ibu rumah tangga.

Sungguh, sistem yang ada saat ini, yakni kapitalisme dengan turunannya liberalisme, hedonisme telah banyak meracuni pemikiran perempuan lewat jargon feminisme. Di sistem ini, perempuan diiming-imingi kesejahteraan dan kebahagiaan semu yang menipu.

Islam Memuliakan Kaum Perempuan

Sebagai agama yang mulia, Islam memiliki seperangkat aturan yang khas dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan untuk memuliakan keduanya.

Demikian pula aturan yang ditujukan secara khusus bagi perempuan. Dalam aturan pergaulan, wanita Muslimah boleh hidup di dalam kehidupan umum dan melakukan aktivitas seperti berdakwah, belajar mengajar, berdagang, bekerja, muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dan lainnya.

Ia boleh berinteraksi dengan laki-laki maupun wanita sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan oleh syari’ah. Fungsi utama perempuan adalah sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).

Sehingga, dengan aturan itu ia tidak dibebani dengan beban ekonomi keluarga, baik bagi dirinya sendiri atau mencari nafkah bagi keluarga. Dalam Islam, yang bertugas mencari nafkah adalah suami atau walinya. Ia difasilitasi untuk bisa melaksanakan tugas mulianya mencetak generasi terbaik pemimpin dunia.

Namun, jika ia ingin berperan mengaplikasikan ilmunya, maka hukumnya mubah atau boleh. Dengan catatan tidak mengabaikan tugas utamanya. Islam juga memberikan peran dan posisi perempuan di masyarakat. Islam mewajibkan perempuan berpolitik, yaitu untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Demikianlah cara Islam menjadikan perempuan berdaya tentunya tidak sama dengan cara pandang sistem kapitalisme. Kesuksesan dalam Islam diukur dengan dimensi keimanan, yakni menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala aspek kehidupan.

Dalam konteks Muslimah, perempuan sukses adalah yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai ibu pencetak generasi dan pengatur urusan rumah tangga, berkontribusi besar dalam kebangkitan umat dan kesejahteraannya. Wallahu a’lam Bi ash-shawwab.[]

Comment