Oleh: Nurmilati, Ibu Rumah Tangga
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menyadari peran strategis wanita di Kepolisian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan, saat ini Polri berkomitmen untuk menciptakan institusi kepolisian yang inklusif bagi perempuan sekaligus memberikan ruang kepada para Polisi Wanita (Polwan) untuk mendapatkan hak kesetaraan gender di Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Kapolri dalam pembukaan acara Konferensi Polwan Sedunia atau _The 58Th International Associaton Of Woman Police (IAWP) Training Coference_ di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) Ahad (7/11/2021).
“Polri akan terus memberikan ruang bagi Polwan. Sesuai harapan kita semua, kesetaraan gender harus terus diperjuangkan,” tegasnya. INews.Id (7/11/2021).
Polwan tentu berbangga diri, dan merupakan kehormatan bagi Indonesia karena menjadi negara tuan rumah pertama di Asia sejak berdirinya asosiasi ini pada 1915. Acara ini diikuti oleh peserta dari 12 negara yang hadir langsung dan 39 negara mengikuti secara online, jumlah peserta keseluruhan mencapai 980 Polwan dari Indonesia dan negara lainnya.
Saat ini ada 3 jenderal yang ada di jabatan tertentu di Mabes Polri dan beberapa posisi di level operasional yang beresiko tinggi yang ditempati Polwan. Adapun pemberian ruang kepada mereka di kepolisian, karena sosoknya dianggap memiliki peran dan kontribusi yang luar biasa bagi organisasi Polri, dan Polwan dinilai memiliki kepekaan gender yang lebih baik dalam meningkatkan respons terhadap kejahatan berbasis seksual dan gender.
Sejarah Awal Gerakan dan Isu-isu Kesetaraan Gender
Isu kesetaraan gender sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, namun tidak terang-terangan. Sebut saja Plato yang menulis dalam buku Republik, jika perempuan dapat berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Pada abad pertengahan, feminisme muncul di biara. Gerakan ini diinisiasi para biarawati yang menolak hierarki dan dominasi di gereja dengan perspektif maskulin. Para perempuan kemudian membentuk sebuah komunitas yang saling memberi dukungan satu dan lainnya.
Seiring berjalannya waktu, isu-isu gender terus bergulir, terlebih setelah adanya protes dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton yang khawatir dengan kekerasan yang dialami oleh para perempuan di berbagai wilayah konflik. Hal ini mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) meluncurkan organisasi baru untuk membela kesetaraan gender, yakni UN Women. (Liputan6 3/1/2011).
Walhasil hingga kini, PBB lebih proaktif dalam membahas isu mengenai hak-hak perempuan. Oleh karena itu, PBB akan berperan penting dalam melindungi hak-haknya. Hingga tahun 2020 berderet konferensi diadakan untuk menentukan langkah efektif mewujudkan kesetaraan gender.
Namun nyatanya hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil, hal ini terbukti dengan kian kompleksnya permasalahan yang dihadapi kaum hawa.
Kesetaraan gender merupakan ide manusia, sedangkan sejatinya manusia, tentu memiliki keterbatasan dalam mengambil solusi atas permasalahan yang ada, termasuk persoalan yang kerap dialami perempuan.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika ide yang selalu didengungkan tersebut tidak pernah memberikan solusi yang solutif, sebab secara fitrah, laki-laki dan wanita diciptakan Allah SWT tidak sama. Keduanya memiliki tugas khusus dan pokok sesuai dengan kodratnya.
Memaksakan perempuan melakukan tugas laki-laki, seperti mencari nafkah dan menjadi pemimpin dalam hierarki pemerintah, seperti pemberian ruang pada Polwan dalam institusi kepolisian. Alih-alih mendukung kebebasan dan kesejahteraan, justru memberikan peran ganda pada wanita, akibatnya beban hidupnya menjadi berat.
Selain itu, beban dan peran ganda itu akan memberikan dampak buruk bagi suami dan anak-anaknya, lantaran peran perempuan sebagai ibu generasi akan terabaikan.
Alhasil, anak-anak akan tumbuh tanpa bimbingan dan pendampingan sosok ibu, sehingga potensial melahirkan anak-anak bermasalah, terlebih minim akidah dan akhlak Islam, menjadikan remaja tanpa arah dan tujuan hidup, kenakalan bahkan kriminalitas kerap dilakukannya, sosok anak durhaka kepada orang tua, kerap terjadi. Berdasarkan hal itu, terbukti bahwa Kesetaraan gender hanyalah harapan semu dan mustahil diwujudkan
Kesetaraan Gender, Mantra Kapitalisme
Di alam kapitalisme sekarang, kesetaraan itu ibarat mantra yang digunakan dalam mencapai salah satu target yang ingin diraih para kapitalis, tentu pencapaiannya adalah materi.
Maka dari itu, kaum perempuan didorong supaya mereka bisa meraih kesuksesan hidup dengan mengumpulkan materi sebanyak mungkin dengan bekerja di berbagai bidang dan meniti karir setinggi mungkin, sebab itulah sejahtera dalam pandangan sistem kapitalisme.
Padahal faktanya, perempuan tidak akan pernah sejahtera jika berada dalam aturan kapitalistik. Pasalnya, pada praktiknya mereka justru dieksploitasi dan diupah tak layak.
Para kapitalis tidak mungkin memberi gaji yang tinggi, lantaran prinsipnya berpijak pada prinsip ekonomi kapitalis, yakni dengan modal sekecil mungkin guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Sehingga kesetaraan upah tidak akan pernah didapat. Selain itu, dalam sistem ini menjadikan manfaat sebagai asas segala sesuatu dan mekanisme pasar menjadi standarnya.
Maka, kapitalisme hanya akan berpihak pada pemilik modal, dari sini jelas terlihat ada diskriminasi, terlebih jika oligarki ikut berperan. Maka inilah bukti kegagalan kesetaraan gender, sebab nyatanya ide itu sekadar wacana tanpa realita.
Kesejahteraan Perempuan dalam Islam
Islam adalah sistem hidup sempurna yang diturunkan Sang Maha Pencipta untuk manusia berikut berbagai hukum khusus yang sesuai dengan jenisnya, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, perbedaan hukum ini tidak menjadikan kaum hawa lebih rendah derajatnya, sebab dalam Islam kemuliaan insan terletak pada kadar ketakwaannya terhadap Allah SWT. Adapun adanya perbedaan hukum, justru untuk menjamin peran masing-masing sesuai dengan fitrahnya.
Dalam Islam, perempuan begitu istimewa. Ia diberi kedudukan yang tinggi dan mulia sebagai istri, ibu, anak perempuan, dan sebagai saudari. Sedangkan bagi seorang ibu, ia diberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, merawat, dan mendidik anak serta mengurus suaminya. Tidak ada beban baginya untuk bekerja keras demi menyejahterakan ekonomi keluarga, lantaran itu adalah tanggung jawab suami atau walinya.
Sehingga kesetaraan gender dalam Islam bukanlah dengan memberikan mereka ruang untuk mencari nafkah, jabatan, maupun popularitas. Namun, sebagai ibu pendidik generasi. Maka, jangan tergoda dengan rayuan manisnya sebab inilah upaya kapitalisme merendahkan perempuan dan menjauhkan fungsinya sebagai Ummu warabatul bait. Oleh karena itu, seharusnya kita semua menyadari betapa bahayanya ide tersebut, sehingga sudah sepantasnya kita berpikir hanya dalam Islam lah perempuan disejahterakan.[]
Comment