Konten Negatif, Kawal Atau Lawan?

Opini509 Views

 

 

 

Oleh: Widya Rahayu, Lingkar Studi Muslimah Bali

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Media merupakan sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan tujuan meningkatkan pemahaman penerima pesan.

Pandemi covid-19 terjadi di dunia kurang lebih dua tahun. Hal ini berdampak pada aktivitas masyarakat yang beralih menggunakan sosial media.

Selama pandemi terjadi perubahan besar dalam penggunaan media dan pemerintah sudah mengantisipasi dengan beragam edukasi yang berfokus mendidik masyarakat.

Hal ini bertujuan untuk menyebarkan informasi yang akurat dan positif untuk menghentikan penyebaran konten negatif seperti hoax, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi.

Faktanya konten negatif terus diproduksi di sebabkan sebagai berikut:

1. Edukasi tidak bersandar pada aspek mendasar yakni ketakwaan

2. Tidak diiringi regulasi yang melarang sector lain menyebar aktifitas negatif (sector ijtimaiy+ekonomi dan politik masih toleran terhadap pornografi, manipulasi

3. Tidak ada definisi baku terhadap makna konten negatif

Hal itu dijelaskan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate bahwa bermigrasinya aktivitas ke media komunikasi daring selama pandemi juga meningkatkan paparan konten negatif ke pengguna internet.

Menteri berupaya menangani kasus ini dengan menghapus 24.531 konten negatif, termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi covid-19, dan 319 misinformasi vaksin covid-19 (liputan6.com, 19/9/2021).

Menurut Menkominfo, pemerintah telah melakukan tiga pendekatan untuk meredam sebaran konten negatif di internet, mulai dari hulu, menengah, dan hilir.

Pada bagian hulu, Kominfo telah menggandeng 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital ke publik. Ia menambahkan, secara proaktif telah menyampaikan temuan isu konten negatif lewat seluruh kanal komunikasi media sosial Kominfo dan laman resmi kominfo.go.id.

Lalu, pada bagian hilir, Kominfo melibatkan instansi pemerintah, komunitas akar rumput, media konvensional, dan sosial. Tak lupa, pemerintah memfasilitasi publik melalui laman resmi aduankonten.id. Publik dapat mengadukan konten negatif dengan cara mendaftarkan diri lewat unggahan tautan disertai bukti aduan (viva.co.id, 18/9/2021).

Upaya penghapusan konten negatif tak menyelesaikan persoalan, justru konten negatif baru terus bermunculan. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Demokrasi liberal

Sistem demokrasi liberal menjamin kebebasan berpendapat serta berperilaku. Ketika jaminan ini terus berlaku, selama itu pula konten negatif akan tetap ada dan makin masif penyebarannya. Setiap orang akan berlindung di balik kalimat “kebebasan berekspresi.”

Paparan konten negatif di tengah publik harus dilawan bukan dikawal. Sebagian orang menganggap konten hanyalah suatu bentuk ekspresi, bakat, dan hiburan jadi tidak ada permasalahan.

Orang-orang bebas beradu kreativitas lewat berbagai ragam konten untuk memikat warganet. Tidak harus memperhatikan faedah atau tidaknya konten tersebut, yang penting adalah eksistensi diri dan dapat menghasilkan cuan atau uang.

Inilah fakta yang terjadi di tengah publik. Akibatnya, konten bukan lagi mencerdaskan tetapi meresahkan karena persaingan antar konten yang begitu massif tanpa mempertimbangkan nilai agama untuk dijadikan tolak ukur. Pelanggaran hukum terus diproduksi, baik penipuan, memperdaya orang lain, pencurian identitas, ujaran kebencian, maupun hoaks.

Solusi tambal sulam yang dilakukan pemerintah belum maksimal kalau tidak dikatakan gagal dalam upaya melindungi warga dari konten negatif.

Bagaimana pengaturan media dalam system Islam?

Dalam Islam, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islam yang kukuh. Ia juga berperan menyebarkan Islam, baik dalam kondisi perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan membongkar kebobrokan ideologi kufur. (Ghazzal, 2003).

Negara harus melarang setiap konten yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam lewat aturan yang jelas dan tegas.

Sebaliknya, dalam demokrasi kapitalistik, media merupakan alat untuk menghancurkan nilai-nilai Islam dan merusak moral manusia. Dua hal yang sangat bertolak belakang.

Dalam Islam karena masifnya perkembangan teknologi tidak mau memunculkan banyaknya kreator konten dan para influencer.

Islam akan mengantisipasinya lewat edukasi yang bersandar pada aspek mendasar yakni ketakwaan. Selain itu, dalam sistem Islam terdapat regulasi yang melarang penyebaran aktivitas negatif, baik di sektor pergaulan, ekonomi, dan politik.

Penyebaran konten yang bermuatan pornografi dan manipulasi dapat dicegah semaksimal mungkin.

Pemimpin dalam islam, mengeluarkan kebijakan yang tertera dalam undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi yang mendukung pengukuhan masyarakat Islam dalam memegang syariat.

Terdapat aturan dan sanksi bagi setiap pengguna internet agar tidak menyebarkan konten yang mengandung syirik, atau ide-ide sesat dan berbahaya yang dapat mendangkalkan akidah umat.

Maka, solusi dari banyaknya konten negatif ini adalah dengan mencari alternatif sistem yang dapat mencegah konten negatif secara total.

Selain itu lawan sistem demokrasi liberal dan kawal sistem Islam hingga tercapai kehidupan umat dan keadilan bagi semua dengan kehidupan yang nyaman di dalamnya. In syaa Allah.[]

Comment