Krisis Batubara, Kebutuhan Listrik Indonesia Terancam

Opini617 Views

 

 

 

Oleh : Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pasokan kebutuhan listrik Indonesia tengah terancam. Krisis sumber energi akibat defisit ketersediaan batubara sudah di depan mata. Diperkirakan ketersediaan batubara di bawah batas aman untuk mencukupi kebutuhan selama 15 hari.

Dilansir suara.com (05/01/2022), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan kebijakan larangan bagi perusahaan batubara untuk melakukan ekspor. Kebijakan ini berlaku selama satu bulan, terhitung sejak 1 Januari sampai 31 Januari 2022.

Demi menjaga pasokan kebutuhan batubara domestik, pemerintah bahkan harus menarik rem darurat dengan menghentikan secara total ekspor batubara. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi Indonesia tidak aman dan di ambang krisis.

Banyaknya perusahaan batubara yang tidak taat memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dianggap menjadi salah satu masalah dari krisis ini. Hal itu bahkan masih terjadi ketika harga batubara global melambung di pertengahan tahun 2021. Sehingga pemerintah mengeluarkan surat keputusan pelarangan ekspor terhadap 34 perusahaan. Namun pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan batubara tersebut masih terus terjadi. Bahkan tatkala praktik sanksi seperti pencabutan izin diberikan nyatanya tak juga memberi efek jera.

Masih ada perusahaan tambang batubara yang tidak memenuhi kepatuhan DMO pemerintah. Padahal menurut data realisasi DMO oleh PLN, perusahaan batubara memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Seperti dikutip Okezone.com, 04/01/2022), Menurutnya, para produsen atau perusahaan-perusahaan batubara seharusnya menjamin pasokan DMO sesuai dengan kewajibannya yakni sebesar 25%. Jika DMO tersebut tidak maksimal akan menyebabkan pasokan batubara untuk pembangkit PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu.

Disparitas harga (perbedaan harga yang signifikan) antara harga ekspor dan DMO mendorong terjadinya kendala pasok DMO itu sendiri. Dengan kata lain, produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga PKP2B akan lebih memilih lakukan ekspor batubara karena harganya jauh lebih besar dibanding menyuplai batubara kepada PLN yang terbilang kecil.

Akibat dari krisis batubara dalam negeri, terdapat sebanyak 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam dan berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional. Tak hanya itu,  rakyat pun akan terkena imbas dan mengalami kesulitan menjalankan rutinitas jika listrik yang merupakan kebutuhan pokok tidak didapatkan secara maksimal.

Keputusan pemerintah lakukan stop ekspor akan mengguncang pasar dunia. Hal itu karena Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar komoditas batubara. Sebanyak 40% pasokan batubara diperdagangkan ke negara global dan di tahun 2020 mengirimkan 400 juta ton batubara ke sejumlah negara. Ketahanan energi di negara-negara pasifik seperti Cina, India, Korea Selatan dan Jepang akan merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) bereaksi keras atas keputusan pemerintah tersebut. Menurut mereka, keputusan tersebut akan mengganggu volume produksi batubara nasional sebesar 38-40 juta ton per bulan. Selain itu, pemerintah juga akan kehilangan devisa hasil ekspor batubara sebesar kurang lebih 3 miliar US tiap bulannya.

Mereka juga memandang bahwa pemerintah Indonesia tak perlu mengeluarkan keputusan tersebut, cukup memperbaiki kontrak jangka panjang dengan sejumlah perusahaan batubara agar dapat memenuhi kewajiban DMO demi menjamin kebutuhan suplai dalam negeri. Terjadi tarik menarik antara kepentingan korporasi, kepentingan rakyat dan negara dalam hal ini.

Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Kapitalisme Hanya Menguntungkan Korporasi

Polemik ini wajar terjadi, karena sejak awal pengelolaan batubara disandarkan pada ekonomi kapitalisme. Konsep kapitalisme neoliberal yang berpijak dan berorientasi keuntungan materi semata ini mengenyampingkan kepentingan rakyat. Kapitalisme memberikan kebebasan bagi siapa saja baik individu, perusahaan swasta bahkan asing untuk mengelola SDA di sebuah negara.

Hal tersebut meniscayakan bagi korporasi untuk menguasai SDA termasuk sumber daya energi dan tambang. Padahal semua aset itu seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya untuk memenuhi kemashlahatan rakyat.

Penguasaan sejumlah perusahaan swasta atas pengelolaan dan pemilikan tambang batubara telah mengeksploitasi alam dengan eskalasi yang sangat luas. Berdiri di atas paradigma kapitalisme yakni orientasi keuntungan semata, kepemilikan dan pengelolaan SDA di tangan pengusaha swasta menjadikan profit sebagai satu-satunya tujuan.

Penguasaan tambang oleh korporasi menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Kondisi ini semakin memprihatinkan saat pemimpin dan para pembuat kebijakan hanya berkutat dalam hal regulasi bukan eksekusi. Rakyatpun harus membayar mahal terhadap kebutuhan listrik mereka.

Argumen bahwa pengelolaan SDA oleh asing akan profesional dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar hanyalah omong kosong belaka. Sebab faktanya perusahaan-perusahaan batubara hanya mengejar keuntungan dengan melakukan ekspor besar-besaran tanpa peduli kebutuhan listrik rakyat dalam negeri.

Kesempurnaan Islam Dalam Mengatur Pengelolaan SDA

Indonesia dalam konteks global tengah mengalami dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Krisis batubara salah satunya, menunjukkan bahwa pengelolaan SDA kapitalis – liberal ini gagal ciptakan kesejahteraan. Tak hanya krisis batubara, jika kapitalisme terus dijadikan sebagai asas dalam mengatur tatanan seluruh sendi kehidupan, maka akan terjadi krisis dalam segala aspek.

Kapitalisme hanya menjadi pelindung sejumlah elit dan pemilik modal, sementara tidak memiliki keberpihakan sedikitpun kepada rakyat.

Berbeda dengan Islam. Sebagai agama sekaligus sistem kehidupan, Islam diturunkan dalam rangka memelihara dan memberikan kesejahteraan seluruh umat manusia.

Aturannya yang sempurna pasti menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan jika diimplementasikan untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.

Dalam pengaturan pengeloaan SDA, Islam memiliki konsep yang jauh berbeda dengan kapitalisme. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan SDA, termasuk sumber energi seperti batubara, minyak bumi, gas, tambang sebagai komoditas milik umum atau rakyat. Haram hukumnya diserahkan kepada individu, perusahaan swasta termasuk asing.

Negara dalam Islam adalah pelayan rakyat (khadimat al-ummah) yang bertugas mengurusi dan memenuhi segala kebutuhan rakyat. Karenanya, pengeloaan SDA menjadi tanggung jawab negara, sedang hasilnya akan diserahkan kepada rakyat dengan harga murah bahkan gratis.

Jika dalam kondisi tertentu di mana negara membutuhkan tenaga seseorang atau perusahaan dalam hal produksi dan distribusi SDA, negara akan memanfaatkan keahliannya dan mempekerjakannya dengan sistem kontrak kerja (ijarah) atau service contract bukan dengan menyerahkan secara penuh pengelolaan SDA tersebut kepada individu, swasta ataupun asing dengan pola konsesi.

Imam Ibnu Qudamah mengutip pendapat Ibnu ‘Aql, yang berkata: “Barang-barang tambang merupakan barang milik Allah Yang Maha Mulia dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Jika ia dimiliki seseorang lalu menguasainya, maka akan menyulitkan manusia.” (Kitab Al-Mughni)

Bila bersandar dengan statemen bahwa tambang merupakan milik Umum Dan dikelola secara benar oleh negara, maka rakyat merasakan hasil SDA secara adil. Kemakmuran pun akan dirasakan oleh seluruh rakyat.

Negara dalam Islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyat sehingga tidak akan terjadi defisit sumber energi. Pengelolaan kekayaan alam secara mandiri oleh negara juga akan menjauhkannya dari intervensi perusahaan swasta maupun asing, baik dalam penentuan DMO maupun pengaruh mata uang asing.

Karenanya, hanya Islam satu-satunya aturan yang mampu menyelamatkan rakyat bahkan dunia dari terpaan krisis sumber energi. Indonesia harus segera menanggalkan ketergantungannya pada sistem ekonomi kapitalisme dan menerapkan sistem Islam sebagai alternatif untuk mengatur seluruh lini kehidupan.[]

Comment