Instruksi ini menyusul kewaspadaan Kemenkes atas temuan gagal ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia. Hingga kini penyebab pasti kasus tersebut masih misterius.
Sontak intruksi itu menimbilkan pro dan kontra. Ragam berita pun bermunculan. Masyarakat pun jadi akrab dengan senyawa kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang menjadi cemaran dalam parasetamol sirup dan disebut menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) di Gambia dan Indonesia.
Benarkah demikian? Lalu apa sih sebenarnya EG dan DEG? Lha kok bisa terdapat dalam sirup parasetamol?
Biar tidak semakin bingung, ini uraian apt Drs Julian Afferino, MS, pemerhati kesehatan lulusan Fakultas Farmasi UGM berikut.
“Sejatinya isu ini berawal dari Afrika, tepatnya di Gambia. Berdasarkan laporan ototritas setempat ada 66 orang anak yang meniggal akibat mengalami gagal ginjal akut (acute kidney injury) setelah mengkonsumsi parasetamol sirup untuk mengobati demam,” jelas Julian Afferino mengurai penjelasannya.
Urainya lagi, investigasi WHO menemukan bahwa ada cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang terdapat dalam parasetamol sirup produk dari perusahaan farmasi India tersebut.
Termasuk ada empat sediaan sirup obat batuk yang terkait dengan masalah tersebut yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceutical India, akan tetapi kesemuanya tidak ditemukan beredar di Indonesia.
Etilen glikol dan dietilen glikol merupakan senyawa kimia hidrokarbon yang biasa digunakan dalam industri dengan rasa sedikit manis dan bersifat polar (dapat larut dalam air).
EG dan DEG banyak menyebabkan epidemi keracunan sejak awal abad ke 20, maka dari itu banyak negara melarang adanya produk makanan dan minuman serta pasta gigi, termasuk obat mengandung kedua cemaran tersebut.
“Banyak bahan kimia obat yang tidak bisa larut sehingga memerlukan zat tambahan sebagai pelarut,” tutur Julian Afferino, CEO Pharmacare Consulting ini melanjutkan.
Yang banyak digunakan adalah polietilen glikol (PEG) dan propilen glikol (PG). Baik PEG atau PG, keduanya disintesis dari bahan baku etilen glikol/dietilen glikol dengan bantuan katalis asam atau basa, sehingga hasil akhirnya adalah polietilen glikol/propilen glikol.
Itu sebabnya mengapa bisa ditemukan ED dan DEG sebagai cemaran, dikarenakan pada proses pemurnian yang tidak sempurna. ED dan DEG lebih tepat dikatakan sebagai “impurity”.
Parasetamol atau nama lainnya asetaminofen merupakan bahan aktif obat yang berkhasiat sebagai analgesik (penghilang rasa sakit) dan antipiretika (penurun panas) adalah obat konvensional yang selama ini terbukti aman selama digunakan sesuai yang telah direkomendasikan.
Penggunaan parasetamol yang biasa direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 3-4 x 500 mg/hari dengan rentang waktu 8 jam.
Itu berarti dalam sehari pemakaian 1500-2000 mg (1,5-2 g). Sementara batas aman penggunaan parasetamol adalah 4 g/hari.
Penggunaan lebih dari 4 g atau 4000 mg akan mengakibatkan kerusakan pada organ hati. Sedangkan penggunaan untuk anak-anak dapat disesuaikan dengan berat badan atau usia.
Sehingga ketika mendapatkan obat tersebut secara benar, maka apoteker-apoteker yang bertugas akan dapat memberikan penjelasan tentang hal itu dengan sangat baik dan benar.
Dietilen glikol (DEG) relatif lebih toksik dibandingkan etilen glikol (EG). Dosis toksik DEG diperkirakan 0.14 mg/kg BB (berat badan), dan dosis mematikan (lethal dose) antara 1.0 – 1.63 g/kg BB.
US Code of Federal Regulation memperbolehkan tidak lebih dari 0.2% DEG yang ada dalam polietilen glikol (PEG) ketika PEG digunakan sebagai food additive.
Berdasarkan uji toksisitas pada hewan mamalia kecil ditemukan LD50 DEG adalah antara 2-25 g/kg/BB. Itu artinya DEG dapat menyebabkan keracunan hingga menyebabkan kematian hanya pada dosis yang sangat besar.
Dari uraian di atas, sangat diragukan jika kasus acute kidney injuri pada anak disebabkan oleh parasetamol sebagai bahan aktif maupun oleh EG/DEG sebagai cemaran.
Berdasar kajian epidemiologi keracunan DEG/EG sejak awal abad 20, beberapa negara melarang penggunaan DEG/EG pada makanan dan obat-obatan, termasuk Indonesia melalui BPOM melarang penggunaan bahan additive tersebut.
Toksisitas EG/DEG berhubungan dengan biotransformasi kedua senyawa tersebut yang menyebabkan asidosis metabolic.
Biotransformasi EG/DEG menjadi metabolit toksik, yaitu asam glikolat sebagai penyebab asidosis sehingga memicu terbentuknya senyawa oksalat yang kemudian mengendap sebagai kalsium oksalat pada jaringan, termasuk pada ginjal hingga pada akhirnya menimbulkan gagal ginjal akut (acute kidney injury).
Di Indonesia, semua industri farmasi telah menerapkan standar CPOB sehingga sangat memperhatikan berbagai aturan/regulasi dan berada di bawah pengawasan yang ketat oleh BPOM agar menghasilkan produk-produk obat yang aman.
Ketika produk-produk obat tersebut diedarkan, tetap dikawal oleh apoteker-apoteker professional, baik di rumah sakit, puskesmas, dan apotek yang kompetensinya tidak diragukan untuk menyampaikan informasi tentang obat yang meliputi cara penggunaan, dosis, cara penyimpanan dan lain-lain.
“Untuk itu biasakanlah berkonsultasi kepada apoteker ketika mendapatkan obat agar terhindar dari kejadian yang dapat membahayakan Kesehatan dan keselamatan pengguna,” pungkas Julian. [Mimbar/Ismail]
Comment