Penulis: Devi Fitriani Kusnadi | Mahasiswi Ma’had Pengkaderan Da’i
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kasus kelaparan yang baru – baru ini terjadi di Papua adalah salah satu dari sekian banyak fakta kasus kelaparan yang terjadi di Indonesia.
Kasus kelaparan yang terjadi bukan untuk pertama kali. Brdasarkan catatan Kompas kasus kelaparan di Papua pernah terjadi pada tahun 2003, 2005, 2015, 2022 dan 2023. Kasus terbaru terjadi pada Juli 2023 di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Dikabarkan bahwa dalam kasus kelaparan terbaru di Papua terdapat korban jiwa; enam orang warga meninggal dunia akibat bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Dari enam orang tersebut, satu orang di antaranya adalah anak-anak. Para korban meninggal usai mengalami lemas, diare, panas dalam, dan sakit kepala. Sementara itu menurut data Kementerian Sosial, ada 7.500 jiwa yang terdampak kekeringan. Imbasnya mereka mengalami kelaparan lantaran gagal panen. (Kompas.com, 30/07/2023)
Dilansir oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, selama dua dekade pelaksanaan otonomi khusus di Papua, terjadi enam kasus kelaparan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Kondisi itu dinilai terjadi karena sejumlah masalah, misalnya karena tata kelola anggaran yang bermasalah dan pendampingan bagi masyarakat di pedesaan yang belum optimal.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, selama ini, penanganan masalah kelaparan di Papua hanya bersifat jangka pendek dan belum menyentuh akar masalah. Akibatnya, masalah kelaparan terus berulang.
Armand memaparkan, salah satu penyebab berulangnya kelaparan di Papua adalah tata kelola anggaran dan kebijakan otonomi khusus yang bermasalah. Oleh karena itu, meski mendapat kucuran anggaran triliunan rupiah, program yang dilaksanakan pemerintah belum menyentuh akar masalah tersebut.
Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana menilai mestinya Indonesia tidak ada isu kekurangan makanan karena Indonesia negeri yang kaya.
“Indonesia ini merupakan negeri dengan kekayaan flora dan fauna yang paling kaya di dunia, artinya enggak ada isu berkaitan dengan kekurangan makanan. Kita mestinya enggak ada isu kekurangan buah atau kekurangan biji-bijian,” ujarnya dalam diskusi Kelaparan di Papua di Tengah Upaya Pemerintah Membangun IKN, Kamis (10/8/2023) di kanal YouTube PAKTA Channel (Pusat Analisis Kebijakan Strategi).
Tapi faktanya, kata Erwin, kelaparan yang terjadi di Indonesia dan di Papua terjadi berulang.
“Berulang pada tahun 2015 kalau enggak salah, itu juga ada yang meninggal sekitar 11 orang di era Presiden Jokowi itu di daerah yang sama di Papua kawasan Puncak Papua,” tuturnya.
Mestinya, lanjutnya lagi, pemerintah harus bisa mengantisipasi kelaparan ini – terlebih lagi ada yang meninggal karena kelaparan.
“Maka tugas negara itu adalah mengantisipasi sehingga kemudian kejadian yang sama enggak berulang lagi,” imbuhnya.
Jangan sampai, pemerintah gagah-gagahan membangun infrastruktur tapi tidak memperhatikan nasib rakyat.
“Bangun infrastruktur kalau rakyatnya pada mati siapa yang akan melewati siapa yang akan memakai infrastruktur itu?” tegasnya.
Ia menjelaskan, pembangunan sejati itu adalah membangun manusia yang tentu diawali dengan membangun kebutuhan dasarnya atau kebutuhan gizinya.
“Sekarang menurut publikasi jumlah orang kelaparan di Indonesia itu mencapai 17 juta, 16,2 juta jumlah total masyarakat Indonesia yang kelaparan, yang kesulitan untuk mengakses pangan sehat,” jelasnya.
“Kekayaan itu menumpuk di sebagian orang, 1% orang menguasai 50% lahan di Indonesia semakin lama semakin menyempit,” ungkapnya.
Sehingga kata Erwin, generasi muda tidak sedang baik-baik saja. “Tentu pemikiran intelektual kita, pemikiran rasional kita enggak bisa tenang negeri kita diacak-acak ya, menurut kita, yang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja,” pungkasnya. ( Sumber : www.mediaumat.id)
Sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini tidak memberantas masalah hingga ke akarnya. Sekitar 2 Miliar manusia di bumi menderita kelaparan terselubung alias kurang gizi. Perang saudara, pengusiran dan pengungsian berdampak dramatis pada situasi pangan global.
Sedikitnya 800 juta manusia di 16 negara menderita kelaparan serius. Tambahan lagi sekitar 2 milyar lainnya di seluruh dunia menderita kurang gizi, sebuah bentuk kelaparan yang tidak kasat mata. Demikian laporan indeks kelaparan yang pernah dirilis oleh organisasi bantuan pangan Jerman “Welthungerhilfe”.
Di Indonesia demokrasi liberal digembar-gemborkan dan setiap persoalan yang ada selalu saja penyelesaiannya didasarkan pada demokrasi yang salah kaprah.
Bangsa ini sejatinya telah berganti-ganti pemimpin namun, kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat belum tercapai sebagaimana diharapkan.
Masih ada PR besar yang harus diselesaikan. Mengapa problem kemiskinan di Papua tidak pernah bisa terselesaikan secara tuntas? Terlebih lagi, jika mengingat potensi sumber daya alam di Papua, terjadinya kemiskinan ekstrem, stunting hingga rendahnya pembangunan sumber daya manusia harusnya tidak terjadi secara berkepanjangan.
Namun, faktanya, Papua dengan segudang SDA itu seperti tidak berdaya. SDA yang dimiliki justru lebih banyak dinikmati para pengusaha kapitalis. Masyarakat Papua masih jauh dari kesejahteraan hidup.
Potensi ekonomi di Papua juga sangat tinggi dan merupakan salah satu provinsi terkaya dengan luas wilayah lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa. Apalagi jumlah penduduknya masih sedikit, sedangkan alamnya begitu kaya dan banyak yang belum digali seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Jika Papua dikelola dengan baik, tidak akan ada penduduk miskin, anak stunting, atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) rendah. Akan tetapi, faktanya, kekayaan alam ini ternyata tidak mampu membawa Papua menjadi wilayah yang maju dan sejahtera.
Kondisi Papua terwakili dalam ungkapan berikut, “Setiap orang berhak untuk hidup bebas kecuali orang Papua di tanahnya sendiri.”
Kekayaan Papua tidak lantas menjadikan penduduknya sejahtera, tetapi justru dinikmati segelintir orang. Betapa ironis, Papua memiliki anugerah SDA melimpah, tetapi penduduknya merana.
Kondisi ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang meniscayakan penguasaan segelintir individu terhadap SDA atas nama liberalisasi. Secara kasat mata, kita bisa melihat ketertinggalan Papua dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.
Jika orang mendengar Papua, yang terbersit dalam pikiran mereka adalah tambang emas, kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, keterbatasan sarana dan prasarana publik, rawan konflik, dan sebagainya.
Sungguh ironis, wilayah dengan keberlimpahan kekayaan alam kerap disebut sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, terjauh) yang masih bergulat dengan kemiskinan. ( Sumber : www.muslimahnews.net)
Kelaparan di Indonesia dan seluruh dunia merupakan masalah bagi seluruh umat di dunia. Solusi untuk masalah ini terletak pada individu, masyarakat juga pemerintah. Sejatinya, yang dibutuhkan Papua adalah kepemimpinan berbasis ideologi yang kuat, yaitu kepemimpinan dengan konsep Islami.
Kepemimpinan ini tegak di atas akidah Islam. Dengan akidah inilah para penguasa akan menempatkan diri di posisi dan tempat yang benar, yaitu sebagai pengurus rakyatnya.
Dengan kepemimpinan ini pula, penguasa tidak akan berkompromi dengan kapitalis, menjadi antek asing, dan menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri dan golongannya.
Dalam dekapan syariat Islam, Papua akan mendapat keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan yang tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi juga nonmuslim. Dengan konsep dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi.
Kesejahteraan di Papua akan terwujud jika pengaturan urusan rakyat dikembalikan pada Islam. Dengan kebijakan politik ekonomi Islam, kekayaan alam yang dimiliki Papua diposisikan sebagai harta milik umum. Dalam Islam, pengelolaan harta milik umum harus dikelola oleh negara agar rakyat dapat memanfaatkan hasilnya. Tidak boleh ada swastanisasi dan kapitalisasi dalam harta milik umum.
Dengan segenap kekayaan tersebut, bukan hanya Papua yang sejahtera, bahkan bisa berguna untuk menghidupi seluruh rakyat Indonesia. Ini baru SDA di Papua, belum wilayah lainnya. Papua dan penduduk Indonesia bisa sejahtera asalkan pengaturan sistem dan kepemimpinan saat ini berganti menjadi konsep Islam kaffah dengan kepemimpinan yang amanah. (Sumber : muslimahnews.net).[]
Comment