Oleh: Deti Mulyati, Ibu Rumah Tangga
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dilansir tempo.co, pemerintah resmi menghapus status tenaga kerja honorer mulai 28 November 2023 dengan dasar Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang ditandatangani pada 31 Mei 2022.
Menyoal, penghapusan tenaga honorer dilihat sebagai kebijakan yang perlu dikaji kembali, karena tenaga honorer memiliki peran penting di berbagai sektor Publik. Jika terjadi penghapusan, maka akan ada kelumpuhan di berbagai macam sector publik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa telah terjadi perbedaan yang cukup jauh, yakni antara ASN dan tenaga honorer. Betapa tidak, menilik dari sisi kesejahteraan upah, gaji ASN lebih memadai daripada honorer. Pun secara jaminan masa depan, dua status ini bertolak belakang. Meski pemerintah sudah mengakomodasi sebagian tenaga honorer menjadi PPPK lewat seleksi, tetap saja hal itu masih menyisakan keresahan.
Jumlah tenaga honorer yang dihapus bisa jadi tidak sama dengan jumlah yang diterima. Dan tentu saja jumlah pegawai honorer lebih banyak daripada jumlah yang di terima sebagai ASN dan PPPK.
Lantas bagaimana nasib jutaan pengawai beserta keluarga mereka yang mengantungan nasib sebagai tenaga honorer?
Rakyat harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan jaminan pekerjaan pun tak kunjung terpenuhi. Kalau kita mau jujur, penyebab benang kusut penggajian pegawai honorer ini tidak pernah terurai tidak lain dan tidak bukan adalah karena penerapan sistem kapitalisme sekuler.
Inilah realita ketika kita hidup dalam sistem kapitalisme yang setiap hukum dan kebijakan dibuat sendiri oleh manusia.
Padahal manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan sehingga ketika membuat kebijakan ada kelemahan. Maka wajar jika tenaga honorer yang awalnya diangap sebagai solusi, maka hari ini tenaga honorer malah menjadi beban Negara.
Sampai di sini, ada kesimpulan pahit yang harus ditelan oleh tenaga honorer, yakni dalam sistem kapitalisme hubungan antara rakyat dan penguasa tak ubahnya pedagang dan pembeli. Setiap kebijakan didasarkan pada asas untung dan rugi.
Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.
Sudah semestinya pemerintah peduli dan bertanggung jawab terhadap nasib para guru honorer yang tidak mendapatkan hasil sepadan dengan jasa yang sudah tercurahkan. Inilah bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengurus urusan rakyat. Ketika berbicara aturan kehidupan yang berasal dari risalah Nabi saw, kita akan menjumpai betapa mulianya kedudukan seorang guru.
Dari sisi kenegaraan pun, negara yang menerapkan aturan Islam berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam sistem pendidikan islam, negara menetapkan regulasi terkait kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, termasuk penggajian tenaga pengajarnya dengan regulasi yang manusiawi, bahkan memuaskan.
Sebagai contoh, betapa besar perhatian khulafaur rasyidin terhadap pendidikan rakyatnya, demikian pula terhadap nasib para pendidiknya.
Seorang guru akan mendapatkan penghargaan yang begitu tinggi dari negara, termasuk gaji yang bisa melampaui kebutuhannya.
Sebagai gambaran, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinat (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp900 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp57. 375.000.
Bahkan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi, yaitu sekitar 11-40 dinar. Maa Syaa Allah. Tidak ada perbedaan antara guru honorer dan guru nonhonorer dari sisi kesejahteraannya.
Demikianlah, kesejahteraan guru dalam naungan islam. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya.
Hal ini menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara demi membangun peradaban agung dan mulia, tanpa harus bekerja sampingan dalam rangka mendapatkan tambahan pendapatan. Wallahu’alam bi ash-shawwab.[]
Comment