Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T, Dosen Teknik Sipil dan Pemerhati Sosial
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2023 berlangsung 5-8 Juni di Makassar. Latihan berskala internasional yang digelar oleh TNI Angkatan Laut dilakukan setiap dua tahun sekali. Perhelatan akbar yang diikuti 36 negara berjalan lancar tanpa kendala berarti. Banyak pihak bertanya-tanya, apakah kegiatan ini murni latihan non perang untuk menyinergikan Angkatan Laut (AL) dalam penanggulangan bencana alam?
Seperti dikutip dari laman askara, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal), Laksamana TNI Muhammad Ali menyampaikan bahwa selain kegiatan latihan non-perang, juga diselingi dengan promosi obyek wisata Makassar. Terkhusus kepada 35 delegasi AL dari negara sahabat untuk mengenalkan kekayaan Indonesia.
Rasanya tidak sesederhana itu. Pasalnya, laut adalah kawasan strategis sebuah negara dengan fungsi yang sangat strategis secara militer, geografis, politis, maupun ekonomi. Di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah. Pertahanan dan keamanan negara pun bertumpu pada aspek kemaritiman. Sebagai sebuah negara maritim, Indonesia seyogianya memiliki infrastruktur yang mumpuni.
Urgensi Kemaritiman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maritim adalah berkenaan dengan laut atau yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.
Secara harfiah, negara maritim adalah negara yang memiliki kekuatan maritim sebagai tulang punggung eksistensi, pengembangan dan kejayaan suatu negara. Kekuatan maritim suatu negara adalah seluruh kekuatan nasional (ipoleksosbudkum, hankamneg, iptek, dan pendidikan) yang dimiliki oleh suatu negara. Dari sini jelas terlihat urgensi menjaga wilayah laut dan hal-hal yang berkenaan dengan kemaritiman.
Para peserta MNEK ke-4 2023 ini adalah negara-negara besar dan juga terkategori negara maritim, seperti Amerika Serikat, Inggris, Cina, Kanada, Jepang, Singapura, dan Selandia Baru. Hal ini patut menjadi alarm bagi semua pihak, tersebab dunia global saat ini sedang diguncang krisis dari semua aspek termasuk krisis ekonomi yang berimbas pada krisis lingkungan akibat eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara ugal-ugalan ala kapitalisme.
Tak dimungkiri, beraneka kesepakatan dengan dunia internasional dalam mengelola laut membuat nota kesepahaman atau berutang, berujung pada pemberian proyek-proyek strategis ke tangan swasta bahkan asing.
Lihatlah utang Indonesia yang terus melangit. Sebuah ironi di tengah SDA yang melimpah ruah; baik dari darat, laut, maupun udara. Pesona Indonesia (termasuk Makassar) yang luar biasa, tidak berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Kondisi ini semestinya menjadi introspeksi bersama. Ada apa dengan tata kelola negeriku?
Jika ditelisik, berbagai perhelatan akbar di negeri ini – lebih berorientasi prestise yang tentu memakan anggaran besar negara. Padahal, jamak diketahui bahwa rakyat sedang dalam kondisi “sakit parah”.
Daya beli masyarakat yang rendah menyebabkan penderitaan tak berujung. Kemiskinan akut mendera dan berpotensi terhadap tindak kriminalitas. Tak terhitung lagi kisah pilu akibat ketidakmampuan mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok, dan lainnya.
Jika demikian realitasnya, sudah sangat jelas bahwa sistem dan pengelolaan negara saat ini bagaikan menggali jurang kerusakan step by step. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang bersandar pada hasil pemikiran manusia, yakni sekularisme di mana asas atau pondasinya sangat rapuh. Akibatnya, semua hal yang terpancar dari sistem ini hanya menuai kerusakan.
Visi maritim kapitalisme adalah menyebarkan paham ideologi kapitalisme melalui penjajahan (imperialisme). Penjajahan di semua aspek kehidupan, membuat derita berkepanjangan.
Visi Baru Kemaritiman
Perspektif dalam sistem Islam adalah bahwa laut termasuk harta milik umum. Negara diamanahi oleh syariat untuk mengelolanya secara mandiri dan independen termasuk pengelolaan kemaritiman dengan visi yang benar. Visi yang lahir dari akidah atau asas yang benar. Itulah visi maritim Islam yang bersumber dari Sang Pencipta manusia dan seluruh isi jagat raya.
Sejarah peradaban Islam telah mengukir indah maritim Islam dengan kejayaannya. Misal pada masa kekhilafahan Utsmaniyah, khalifah Sultan Mahmud membuat pelabuhan besar bagi kapal-kapal perang di perairan Golden Horn yang terletak dekat pertemuan Selat Bosporus dan Laut Marmara.
Selanjutnya dibangun infrastruktur lain seperti galangan kapal, depot perbekalan, air mancur untuk persediaan air bagi kapal, depot amunisi, dan pabrik roti. Untuk keamanan, mulut pelabuhan dijaga dua menara yang bisa ditutup dengan rantai besi. Sebuah gambaran pangkalan kapal perang yang sangat lengkap.
Peran negara sangat penting untuk memastikan semua hal berjalan di atas hukum syara’ tersebab visi maritim Islam yang berorientasi akhirat, bukan sekadar prestise atau unjuk gigi kecanggihan peralatan – namun dalam rangka melakukan kewajiban dakwah dan jihad. Sungguh sebuah kolaborasi apik.
Visi baru ini niscaya mampu menjadikan negara berdaulat dan disegani lawan, karena bersumber dari Zat Yang Mahakuat. Wallahua’lam bis Showab.[]
Comment