Nur Rahmawati, SH*: Uniknya Perjalanan Kurikulum Pendidikan Nasional Dari Tahun 1947-2020

Opini648 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kualitas pendidikan suatu negeri, tentu tak terlepas dari peran kurikulum yang diadopsi. Pondasi pendidikan ditentukan dari kurikulumnya yang menentukan segala input, proses, dan output dari sistem pendidikan itu sendiri.

Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, terus bermetamorfosa menciptakan pembaharuan demi kemajuan bangsa, guna terwujudnya mencerdasakan kehidupan bangsa. Sehingga Indonesia telah mengalami banyak pembaharuan kurikulum tercatat dari tahun 1947-sekarang.

Melansir dari zeniuseducation.com (2019), sekilas perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pertama, Kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947). Kurikulum yang pertama kali diterbitkan sejak deklarasi kemerdekaan. Kurikulum ini mulai mengimplementasikan nilai-nilai dari Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Kedua, Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952). Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari rencana pelajaran 1947. Penyempurnaan yang dilakukan adalah perincian materi dan jam pelajaran.

Ketiga, Kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan 1964). Kurikulum ini menitikberatkan kompetensi akademik pada siswa di pendidikan dasar (SD).

Keempat, Kurikulum 1968. Kurikulum ini sarat dengan muatan politis, karena diterbitkan untuk menggantikan kurikulum 1964 yang dinilai sebagai produk orde lama oleh pemerintah baru pada saat itu. Kurikulum ini mengganti program Pancawardhana menjadi program yang berorientasi pada Pancasila dan UUD 1945.

Kelima, Kurikulum 1975. Kurikulum ini mengedepankan efisiensi dan efektivitas pengajaran, dengan basis MBO (Management By Objective) yang sedang booming di era itu.

Keenam, Kurikulum 1984 (Kurikulum 1975 yang disempurnakan). Kurikulum ini mengusung model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yaitu model belajar yang menuntut keaktifan siswa sebagai pembelajar.

Ketujuh, Kurikulum 1994 + Suplemen kurikulum 1999. Kurikulum ini memadukan aspek-aspek dari kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum ini juga mengelompokkan mata pelajaran ke dalam 2 jenis muatan, yaitu muatan nasional, dan muatan lokal.

Kedelapan, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum ini menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal.

Kesembilan, Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini adalah penyempurnaan dari kurikulum 2004. Hal yang paling menonjol dari kurikulum 2006 adalah adanya desentralisasi pendidikan.

Kesepuluh, Kurikulum 2013 + Kurikulum 2013 Revisi. Kurikulum ini lahir atas pertimbangan standarisasi kualitas pembelajaran di Indonesia di dunia internasional. Penilaian terhadap kemampuan siswa pada aspek membaca, sains, dan matematika menjadi fokus utama dalam pembuatan kurikulum ini.

Dari perjalanan kurikulum tersebut, maka tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri, yang menjadi cita-cita besar suatu bangsa.

Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 (versi Amandemen), hingga Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memuat unsur agama dalam tujuan pembelajaran

Dikutip dari, akseleran.co.id, Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (21/1).

Uniknya tujuan pendidikan tersebut sama-sama mencantumkan kata “Peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Ini mengindikasikan bahwa keterlibatan peran agama dalam sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan. Karena keimanan adalah pondasi dari keterikatan diri untuk berbuat baik dan terarah. Sehingga terlahirlah jiwa-jiwa peserta didik yang berkarakter istimewa.

Lantas, mengapa sampai saat ini sistem pendidikan nasional belum mampu juga menciptakan karakter demikian?. Jika kita telisik bersama, apakah telah benar penerapannya, yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut?

Nyatanya pengaplikasiannya hanya pada pembelajaran agama di sekolah-sekolah secara teoritis saja, tanpa diimbangi keterjaminan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dampaknya kita bisa lihat, remaja saat ini tidak memahami jati dirinya sebagai seorang yang beriman dan bertakwa.

Dapat kita lihat saat ini, buktinya sering kita temui remaja yang masih menerapkan pergaulan bebas seperti pacaran, yang berpeluang melakukan seks bebas akhirnya hamil dan aborsi. Bukankah kita pahami bersama bahwa pacaran dan dampak-dampaknya itu merupakan pelanggaran aturan agama khususnya Islam.

Ini mengindikasikan bahwa tidak cukup jika tujuan pembelajaran dimuat unsur agama hanya secara teoritis tanpa diimbangi aturan penerapannya yang diambil dari sistem Islam. Ini hanya sebagian kecil jika tidak menampak aturan tersebut.

Perlunya Kombinasi Aturan Islam

Sebagai negara dengan ratusan budaya, suku, bahasa, dan identitas, menetapkan sebuah kurikulum yang dapat memberikan kemajuan yang signifikan bagi semua golongan tidaklah mudah. Perlu upaya yang luar biasa sehingga anggaran pendidikan yang merupakan hajat hidup dapat direalisasikan tepat sasaran sehingga benar dan terarah.

Tujuan pendidikan nasional, telah didesain oleh para pendiri bangsa. Maka unsur agama tidak dapat dilepaskan darinya. Jika kita amati sudah cukup baik apalagi jika benar-benar dikombinasikan dengan aturan Islam, sebagaimana amanat undang-undang yang telah disepakati bersama.

Bukankah sistem Islam adalah sistem terbaik yang telah terbukti ratusan tahun mencetak dan melahirkan generasi unggul peradaban.

Mengapa kita tidak mengulang kembali keberhasilannya tersebut. Dimana sistem ini benar-benar telah berhasil mencetak generasi unggul dan mumpuni, seperti para Imam seperti Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi dan lainnya, kemudian melahirkan para pakar di berbagai bidang seperti Ibnu Shina pada bidang kedokteran dan Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizmi merupakan cendekiawan Muslim yang ahli di bidang matematika.

Dengan demikian, ketercapaian tujuan pendidikan merupakan keniscayaan. Sekali lagi jika tujuan saat ini dikombinasikan dengan aturan Islam yang sempurna, tentunya aturan ini tidak membedakan suku, ras, agama dan budaya.

Semua diberlakukan sama. Sehingga merdeka belajar bukan hanya jargon belaka, tapi benar-benar direalisasikan. Mencetak generasi berkepribadian istimewa, dikenal seluruh dunia dan akhirnya Indonesia bahagia. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.[]

*Praktisi pendidikan

Comment