Oleh: Ns. Sarah Ainun, S.Kep,.M.Si, Penggiat Literasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sebagai bangsa yang besar, sudahkah Indonesia menjadi negara yang berdaulat di mata asing? Negara berdaulat adalah negara dengan kekuasaan tertingginya mampu mengatur kehidupan rakyatnya, mampu melindungi diri dan mempertahankan diri dari serangan negara lain, bebas dari penjajahan asing serta mempunyai identitas sendiri yang harus dihormati dan ditaati oleh rakyatnya maupun negara lain.
Identitas Indonesia pun sebagai negara dengan demografi muslim terbesar diakui oleh dunia. Namun, sering sekali nilai-nilai ajaran Islam menjadi permasalahan diplomatik luar negeri. Seperti penolakan pihak imigrasi Singapura terhadap kedatangan Ustadz Abdul Somad (UAS) pada 16 Mei 2022 yang lalu. Singapura mendeportasi UAS bersama rombongan karena dituding sebagai ulama yang menyebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi (detiknews, 22/05/2022).
Apa yang menimpa UAS melukai hati sebahagian besar rakyat Indonesia. UAS sebagai ulama yang memiliki kedudukan mulia di sisi umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh pihak Singapura. Tidak adanya respon tegas pemerintah terhadap tindakan Singapura ini pun berbuntut pada aksi demontrasi yang mengecam keras dan menuntut Kedubes Singapura untuk meminta maaf, sampai pada ancaman pengusiran paksa Kedubes Singapura dari Indonesia.
Begitupun, setelah beberapa pekan yang lalu, keberadaan kaum L96T menjadi perbincangan publik di jagad tanah air, dengan diundangnya sepasang g4y dalam acara podcast seorang artis ternama di Indonesia. Perbincangan dengan tema “Tutorial Menjadi Seorang G4y” ini pun secara blak-blakan menyampaikan pengakuan dan keberadaan kaum L96T di dunia.
Kini giliran Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di Jakarta membuat geger rakyat Indonesia dengan mengibarkan bendera pelangi (L96T). Hal ini pun menuai kecaman keras dan dinilai oleh sebahagian pihak sebagai tindakan pelecehan yang bertentangan dengan nilai-nilai/norma agama yang berlaku di negeri mayoritas muslim ini.
Seperti dikutip jpnn.com, 21/05/2022, Aziz Yanuar seorang advokat sekaligus salah satu petinggi PA 212 menilai apa yang dilakukan Kedubes Inggris untuk Indonesia adalah jelas pelecehan dan tindakan provokatif bagi nilai-nilai ilahiah yang sakral bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf, seperti dilansir jpnn.com menyampaikan bahwa paham LGBT dapat diterima di Barat, karena cara pandang negaranya yang liberal dan sekuler. Namun jangan lecehkan negara ini dengan memaksakan paham itu kepada masyarakat kita. Selain bertentangan dengan konstitusi, hal itu tidak sejalan dengan kaidah moral dan agama masyarakat Indonesia yang religius.
Masalah L96T bukanlan masalah individu saja, tetapi sudah menjadi gerakan komunitas bahkan gerakan politik internasional (negara-negara Barat) yang berhaluan liberal sekuler. Pendanaan yang digelontorkan oleh PBB terbilang tidak sedikit, sebagai bentuk dukungan untuk terus mengkampanyekan dengan tujuan mendapatkan pengakuan, legalisasi keberadaan dan eksistensi mereka sampai ke negeri-negeri muslim.
Jadi tidaklah mengherankan, keberanian Kedubes Inggris mengibarkan bendera L96T di negeri yang mayoritas muslim ini merupakan simbol mengkampanyekan kaum L96T dan arah menormalisasikan keberadaan kaum sodom di negeri ini.
Narasi yang dibangun pun dinilai sangat berbahaya untuk embentuk pemahaman generasi bahwa penyimpangan orientasi seksual bukanlah sebuah prilaku penyimpangan. Namun, sebuah perbedaan orientasi seksual, dan apa yang mereka alami bukanlah pilihan mereka, melainkan terbentuk begitu saja secara alami. Secara tidak langsung mereka mengatakan prilaku destruktif ini adalah takdir Allah Swt. Sehingga harus dihormati dan diterima oleh masyarakat.
Opini-opini untuk mendukung keberadaan kaum L96T inipun terus dipropagandakan sebagai bentuk provokasi negara-negara Barat untuk membentuk atau mempolarisasi masyarakat.
Di mana masyarakat yang menerima keberadaan kaum Sodom ini sebagai kelompok orang-orang yang “openmind” dalam perspektif Barat yang mengagung-agungkan kebebasan berperilaku termasuk memilih orientasi seksualitas tertentu dengan dalil HAM. Namun tidak dalam perspektif Islam yang berarti “openmind” terhadap L96T, welcome to maksiat.
Sementara masyarakat yang menolak keberadan kaum yang dilaknat Allah Swt ini karena merupakan perilaku kemaksiatan dan kejahatan dalam ajaran agama Islam, serta ulama yang terus mendakwahkan ajaran Islam, menyeru pada amar ma’ruf nahi munkar seperti UAS dianggap sebagai kelompok orang-orang yang radikal, ekstremis, segregasi dan kaum terbelakang.
Tidak tanggung-tanggung masyarakat yang menolak dan menentang paham dan keberadaan L96T pun dinobatkan sebagai orang-orang yang mengidap homophobia, biphobia dan trasphobia yang diperingati secara global setiap 17 Mei dengan mengibarkan bendera L96T seperti yang dilakukan Kedubes Inggris di Indonesia.
Fakta penolakan UAS dan pengibaran bendera L96T oleh asing menegaskan perendahan, pelecehan, serangan dan penjajahan berupa pemikiran serta identitas berupa ideologi yang dilakukan mereka terhadap negeri muslim terbesar ini. Semua ini terjadi karena selama ini pemerintah sendiri tidak menampakan sikap tegas menentang L96T dan menunjukan penghormatannya pada ulama.
Justru kebijakan yang dibuat seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru-baru ini disahkan tidak mengatur tentang pelarangan terhadap perilaku penyimpangan orientasi seksual L96T. hal ini dinilai oleh sebahagian pihak UU TPKS ini tidak akan mencegah berkembangnya kaum L96T, justru disinyalir cenderung akan menormalisasi perilaku L96T dan zina atas dasar “consent” (persetujuan atau atas dasar suka sama suka).
Sementara dalam Islam, Al-Qur’an menjelaskan prilaku L96T adalah perbuatan keji (fahisyah) yang harus ditolak dan sebagai perbuatan kriminal (jarimah) pelakunya harus dihukum. Sebagaimana hadits Nabi Saw, ”Siapa yang kamu jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelakunya (HR Imam Tirmidzi).
Namun, di negeri-negeri muslim saat ini, Al’Qur’an bukanlah sumber rujukan dalam membuat peraturan (UU), termasuk Indonesia. Karena sistem pemerintahan negeri-negeri kaum muslim berkiblat pada negara-negara Barat yang menerapkan sistem demorkasi yang berideologikan sekuler kapitalisme, melahirkan begitu banyak paham kebebasan bagi individu. Termasuk kebebasan melampiaskan naluri seksual kepada sesama jenis (homo). Bahkan bebas dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan atas dasar suka sama suka.
Secara otomatis apa yang menjadi aturan negara-negara Barat juga menjadi aturan seluruh dunia termasuk negeri-negeri muslim sekalipun. Meskipun sudah jelas sistem sekuler kapitalisme yang semua aturanya dibuat dari kecerdasan akal manusia sangat bertentangan dengan sistem Islam yang aturanya berasal dari Sang pencipta, Allah Swt.
Untuk mengembalikan kedaulatan dan kewibawaan Indonesia di mata asing. Sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi kembali beragam kebijakan.
Dengan mengembalikan identitas bangsa yang mayoritas muslim ini menerapkan sistem negara yang berideologikan Islam. Bukan justru mengadopsi sistem negara yang berideologikan sekuler liberal dari negara-negara Barat. Sehingga negara menjadi sandaran bagi rakyat dalam menjaga dan terpeliharanya ajaran Islam secara sempurna.
“Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat dibelakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut imam Nawawi menjelaskan makna “imam itu laksana perisai” dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim “al-Imam yakni seperti al-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslim dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaanya”.[]
Comment