RADARINDONESIANEWS.COM, – Di ruang galeri alternatif Ruang Garasi, Gandaria, Jakarta Selatan, seniman Yaksa Agus memamerkan perjalanan batinnya melalui pameran tunggal bertajuk “2025”.
Digelar pada 18–26 Oktober 2025 dan dikuratori oleh Mayek Prayitno, pameran ini menghadirkan karya-karya yang lahir dari proses panjang seorang penyintas hemofilia A—kelainan genetik yang mengganggu pembekuan darah—yang menjadikan seni sebagai ruang penyembuhan dan perlawanan terhadap rasa sakit.
Namun “2025” bukan sekadar pameran seni rupa. Ia adalah catatan perenungan, di mana Yaksa menyalurkan pergulatan batin dan fisiknya lewat medium visual. Dari kecemasan, rasa sakit, hingga harapan, semuanya disublim menjadi energi kreatif yang melahirkan bentuk-bentuk baru dalam bahasa seni.
Dengan bahan sederhana—mulai dari kardus bekas kemasan obat, kertas brosur resep, hingga alat injeksi—Yaksa menciptakan lukisan, gambar, dan patung yang ekspresif, kadang humoris, kadang sarkastik. Karya-karyanya seolah menertawakan penderitaan, sekaligus mengajarkan cara bertahan hidup di tengah keterbatasan.
Dalam pameran ini, Yaksa juga memperkenalkan dua buku – Terapi Seni Cipta Rasa Karsa dan sebuah novel fiksi yang merefleksikan perjalanan hidup serta proses penyembuhan diri melalui seni.
Kurator Mayek Prayitno menyebut karya-karya Yaksa sebagai bentuk sublimasi penderitaan menjadi kekuatan kreatif.
“Seni, bagi Yaksa, adalah cara bertahan hidup. Ia mengubah rasa sakit menjadi energi untuk mencipta. Dalam karyanya, penderitaan tidak lagi menjadi beban, melainkan sumber kekuatan,” tulis Mayek dalam catatan kuratorialnya.
Yaksa menyebut pendekatannya sebagai “Fake Aesthetic” atau estetika palsu—sebuah eksplorasi visual yang jujur dan personal. Ia memparodikan kesakitan dengan gaya kartunal dan deformasi bentuk, melahirkan karya yang tampak ringan namun sarat refleksi.
Melalui “2025”, Yaksa Agus tidak hanya menunjukkan kepiawaiannya sebagai perupa, tapi juga menawarkan tafsir baru tentang seni – bukan sekadar ekspresi, melainkan terapi jiwa dan pencarian makna di tengah keterbatasan.
Sebuah perjalanan yang menegaskan bahwa seni, pada akhirnya, adalah cara manusia untuk tetap hidup dengan penuh keberanian.[]









Comment