Penulis: Ima Husnul Hotimah |
Mompreuneur & Business Owner
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hari perhelatan pesta demokrasi telah berlangsung. Para politisi “merias diri”. Aneka “alat rias” dikerahkan dengan dana ratusan miliar bahkan triliun rupiah demi mengerek elektabilitas hingga sampai ke singgasana kekuasaan.
Tidak heran, banyak bisnis berputar di kisaran demokrasi, semua demi “merias” wajah para politisi dengan riasan tebal agar tampak mulus sempurna tanpa noda.
Beberapa bisnis itu sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia (29-11-2023) adalah usaha konveksi kaos dan sablon, percetakan bendera, baliho, poster, dan spanduk, jasa desain grafis untuk menyasar generasi muda, yaitu zilenial, jasa fotografi dan videografi untuk pembentukan citra di Masyarakat, penyanyi dangdut sebagai hiburan saat kampanye. perlengkapan panggung, tenda, dan sound system.
Penyelenggara acara atau event organizer berbagai pertemuan maupun kampanye, agensi media sosial untuk kampanye di media social. Influencer agar kampanye memiliki jangkauan yang lebih luas, agen trending topic, jasa iklan berbayar untuk meningkatkan visibilitas serta menjangkau calon pemilih yang lebih luas, jasa sewa mobil untuk mengangkut massa simpatisan dan pendukung untuk bergerak menuju tempat kampanye, bisnis catering, jasa penjualan aksesori dan suvenir bertema politik seperti pin, gelang, topi, Jasa penjual paket sembako dan masih ada jasa lainnya yang terlibat seperti konsultan komunikasi politik.
Menutup Bopeng Demokrasi
“Wajah” mereka yang asli penuh “bopeng” butuh ditutupi dengan riasan tebal untuk menghadirkan wajah baru yang disukai rakyat. Jika tampak “wajah” asli, rakyat tidak akan mau memilih mereka.
Oleh karenanya, “wajah penuh bopeng” ini harus ditutup dengan riasan pencitraan sehingga menghasilkan “wajah baru” yang seolah merakyat, adil, jujur, dan islami. Bahkan, karena adanya aturan larangan risywah atau suap menyuap alias money politic, para politisi berkampanye menggantinya dengan kemasan memberi sesuatu secara gratis. Padahal itu sama saja, money politic. Risywah itu haram hukumnya.
Rakyat bisa saja tertipu dengan pencitraan demokrasi liberal ini. Mereka mengira bahwa para politisi benar-benar peduli nasib wong cilik sebagaimana janji kampanyenya, lantas rakyat memilih dengan segenap harapan perubahan.
Akan tetapi janji kampanye itu menguap seiring terpilihnya sang politisi menjadi penguasa. Setelah menjabat, politisi itu sibuk melakukan banyak hal kecuali mengurusi rakyatnya. Rakyat pun kecewa karena termakan janji palsu.
Setelah lima tahun berkuasa, pemilu berikutnya datang kembali, rakyat pun memiliki hak memilih lagi. Para politisi pun datang dengan “alat rias” lagi. Riasan tebal kembali menutupi wajah asli yang penuh bopeng.
Rakyat pun tertipu dan memilihnya kembal. Pola ini terus berulang dalam demokrasi. Para politisi melakukan kebohongan berulang demi memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Rakyat pun terus dibohongi lagi dan lagi. Meski sudah dizalimi, kekayaan alamnya dijual ke para kapitalis, hak-haknya dikebiri, uangnya dikorupsi, rakyat masih saja percaya pada politisi, lalu mencoblos lagi dan lagi. Demikian terus terjadi.
Laman cnbc Indonesia melaporkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus PPATK menerima aliran dana fantastis. Adapun, jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi. Beliau menyatakan, dari 21 partai politik pada 2022 itu ada 8.270 transaksi dan meningkat di 2023 ada 9.164 transaksi. Mereka termasuk yang kita ketahui menerima dana luar negeri,” (Disiarkan di YouTube PPATK, Rabu – 10/1/2024).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seperti ditulis liputan6.com menemukan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung, tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru.
KPU pun sudah buka suara soal temuan PPATK soal penerimaan dana total ratusan miliar rupiah dari luar negeri oleh bendahara 21 partai politik sepanjang 2022-2023. Dengan temuan PPATK itu, Peneliti Perludem (Perkumpulan pemiLu dan DEMokrasi) , Kahfi Adlan Hafiz menduga bahwa pembiayaan kampanye terjadi lebih banyak di pembiayaan non-resmi. Terutama, kata dia, untuk caleg. Beliau menegaskan bahwa dana dari pihak asing dilarang dipakai untuk kegiatan kampanye pemilu.
Senada dengan Kahfi Adlan Hafiz, Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini sebagaimana diungkap cnn indonesia mengatakan bahwa partai politik dilarang menerima dari dan atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Aliran dana Pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan Pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Ada bahaya yang harus diwaspadai di balik itu, yaitu tergadaikannya Kedaulatan negara.
Semua menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi, sehingga rawan adanya kucuran dana berbagai pihak yang ingin mendapatkan bagian. Akibatnya Parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Bahkan siapapun terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.
Demokrasi Liberal Tidak Layak Bagi Kesejahteraan Manusia
Demokrasi liberal dengan segala sepak terjang yang merugikan rakyat, tidak layak untuk terus dipertahankan karena telah menyebabkan kesengsaraan bagi manusia, baik laki laki maupun perempuan serta anak-anak dan lansia. Karena demokrasi liberal adalah sebuah system yang dibuat dan diciptakan oleh pemikiran manusia yang sangat terbatas.
Bahkan demokrasi liberal bisa dijadikan sebagai alat penjajahan yang bersifat global dan menguras segenap potensi ekonomi rakyat. Terbukti melalui demokrasi liberal lahir berbagai regulasi yang berpihak kepada kepentingan para kapitalis (baca: oligarki).
Berbeda dengan islam, proses memilih pemimpin sangat sederhana, efektif efisien, dan hemat biaya. Tidak menghabiskan anggaran negara atau sampai berhutang dan menerima aliran dana dari pengusaha. Pemimpin dalam Islam disebut Khalifah, yang artinya pengganti Rasulullah dalam meri’ayah (mengurusi) umat baik muslim maupun nonmuslim.
Dalam memilih calon pemimpin harus memenuhi 7 syarat in’iqad yakni muslim, laki-laki, merdeka, aqil baligh, berakal, memiliki kemampuan dalam mengurusi umat dan adil dalam arti melaksanakan hukum syara’.
Pemimpin dipilih untuk menjalankan Amanah sesuai tuntunan Allah dan RasulNya bukan untuk memperkaya diri dan memikirkan kepentingan pribadi sebagaimana dalam system demokrasi. Oleh karenanya, sudah saatnya rakyat cerdas dengan politik Islam dan tsaqafah kepemimpinan Islam, bukan politik musiman tatkala pemilu datang, yang merendahkan harkat dan martabat kita.
Saatnya kita campakkan demokrasi liberal yang menyengsarakan manusia dan tidak memanusiakan manusia. Saatnya umat Islam bangkit dengan pemikiran Islam yang memberi ruang hidup agar tercipta berkah dan rahmat bagi seluruh alam. []
Comment