Pendapatan Penerimaan Pajak Meningkat, Kesejahteraan Rakyat Tetap Tak Terangkat

Opini288 Views

 

 

Penulis: Awiet Usman | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA- “Tanda-tanda sebuah pemerintahan akan hancur adalah ketika pajak yang dipungut semakin bertambah besar.”(Ibnu Kholdun 1332-1406).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memuji performa kinerja jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), karena angka pendapatan penerimaan pajak terus meningkat dan hal ini merupakan dukungan esensial yang diperlukan dalam proses membangun negara yang sejahtera, adil, dan maju. www.liputan6.com, (14/7).

Sejatinya pendapatan penerimaan pajak merupakan kolaborasi aktif diantara rakyat dengan pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan sosial dan pembangunan yang equitable. Namun realitasnya sangat kontradiksi dengan apa yang dirasakan oleh rakyat secara signifikan saat ini.

Pemanfaatan pajak justru lebih banyak berpihak kepada para oligarki dan  pejabat dengan berbagai macam tunjangan dan fasilitas. Sementara kondisi rakyat tetap terhimpit.

Hampir semua barang yang menjadi kebutuhan harian rakyat dikenakan pajak, begitu pun fasilitas jalan tol yang dibangun dari pajak rakyat tapi tidak semua rakyat bisa merasakan manfaatnya. Tidak ada istilah gratis.

Rakyat diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diformatkan langsung dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) jika tidak ingin dipersulit dalam urusan birokrasi.

Padahal masih banyak sumber daya manusia di negara ini yang keadaan finansialnya masih sangat buruk, menjadi pengangguran dan tidak memiliki pendapatan yang tetap setiap bulannya. Jangankan memikirkan untuk makan tiap bulan, untuk makan tiap hari saja banyak rakyat di negara ini harus berjuang dan berkelahi dengan perut untuk memenuhinya.

Dalam sistem kapitalis, kekayaan yang dimiliki oleh rakyat dipreteli dan diperas oleh birokrasi menjadi sebuah kewajiban maupun nirkewajiban yang dibebankan kepada rakyat melalui berbagai program yang berbentuk iuran, retribusi, pajak dan bahkan swastanisasi sektor-sektor tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Bahkan pemerintah juga telah mengimplementasikan program pencabutan subsidi terhadap berbagai kebutuhan hidup primer rakyat secara bertahap seperti bahan bakar gas elpiji 3 kilogram dan bahan bakar minyak (BBM) pertalite.

Dalam konteks berpikir logis, tentu rakyat sebagai pembayar pajak berhak bertanya apakah pengelolaan dana pajak ini sudah berhasil dilakukan dengan cara yang berintegritas, suitable dan properly sehinga rakyat juga berhak untuk mendapatkan fasilitas publik yang memadai? Wajar jika kemudian rakyat terindikasi menjadi skeptis dengan pajak.

Terjadinya sinkronisasi peningkatan retribusi terhadap rakyat dengan kenaikan penerimaan pendapatan pajak telah membuat banyak pihak senang, bangga dan bahagia. Namun jangan dulu amnesia, karena ternyata banyak juga penerimaan pendapatan pajak yang dikorupsi. Ironisnya, pelaku korupsi adalah para pejabat dan pegawai pajak yang berada di dalam lingkungan Direkorat Pajak itu sendiri.

Berikut adalah10 kasus pajak terbesar di Indonesia sebagaimana ditulis www.cnbcindonesia.com, (09/03/23)

1. Gayus Tambunan (Rp 100 miliar)
2. Angin Prayitno (Rp 50 miliar)
3. Dhana Widyatmika (Rp 2,5 miliar)
4. Abdul Rachman (Rp 1 miliar)
5. Bahasyim Assifie (Rp 1 miliar)
6. Tomy Hindratno (Rp 280 juta)
7. Eko Darmayanto ($ 7500 ribu + Rp 3,250 miliar)
Muhammad Dian IN ($ 7500 ribu + Rp 3,250 miliar)
8. Handang Soekarno (Rp 1,9 miliar)
9. Pargono Riyadi (memeras wajib pajak dalam pengurusan pajak pribadi Asep)
10. Kasus pajak dealer Jaguar-Bentley
(Rp. 8 Milyar + US$96.375 )

Menarik untuk dipertanyakan, bagaimana tindakan preventif dan represif pemerintah terhadap kebocoran penerimaan pendapatan pajak yang terus terjadi secara berulang-ulang?

Perlu juga untuk dipertimbangkan dan dianalisa kembali apakah pajak sudah berada pada tujuan fundamental untuk meningkatkan pendapatan negara semaksimal mungkin serta untuk menunjang kebijakan pemerintah meningkatkan investasi, daya saing dan kemakmuran rakyat agar pajak tidak lagi mengalami distorsi.

Persepsi Syariah Islam Mengenai Hukum Pajak

Mayoritas para ulama menyatakan pajak yang dibebankan kepada kaum rakyat secara zalim sebagai perbuatan dosa besar sebagaimana dijelaskan Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Daud, No : 2548, dan dishohihkan oleh Imam al Hakim.

“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zalim).“

Namun ada pengecualian yang menyatakan kebolehan mengambil pajak dengan meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi jika memang negara sangat membutuhkan dana.

Syarat-syaratnya antara lain :

1. Negara berada dalam kondisi urgensi dan membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum.

2. Back up dana negara nihil, baik dari zakat, al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam), Al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam), Al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara) dan pajak.

3. Harus ada konsensus dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.

4. Harus adil dan proporsional dalam pendistribusiannya, dan dipungut terbatas hanya dari orang-orang kaya.

5. Sifatnya temporer dan tidak diterapkan secara permanen.

6. Tidak israf dan mubazir dalam penggunaan dananya.

7. Besarnya pajak harus sesuai dengan urgensi saat itu.

Dengan demikian implementasi pajak dalam persepsi syariah Islam berbeda dengan implementasi pajak saat ini.

Dalam sistem Islam, ada banyak sumber penerimaan negara yang sinkron dengan sistem kepemilikan serta manajemen pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi islam.

Dalam islam, negara berfungsi sebagai pelindung (raa’in dan junnah) dan akan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat dengan pengelolaaan sumber-sumber pemasukan negara yang sesuai dengan tuntunan islam.

Penutup

“Suatu negara akan hancur ketika hak-hak sosial terabaikan pada saat pajak semakin meningkat namun yang terwujud cuma kemewahan.”
(Ibnu Khaldun, 1332-1406). Wallahu a’lam Bishawab.[]

Comment