Penista Agama Bebas Sanksi dan Dimaafkan, Akankah Jadi Solusi?

Opini434 Views

 

Oleh : Novi Puji Lestari, Mahasiswi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini, dunia maya dibuat gaduh oleh komentar miring yang diduga bersumber dari laman Twitter milik EK. Pasalnya, dalam cuitannya tersebut, ia melontarkan pernyataan tak pantas atas ceramah Ustadzah Ning Imaz, Putri KH. Abdul Khaliq Ridwan dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Dilansir dari Tribunnews.com, video Ustadzah Ning Imaz yang tengah menjelaskan tentang surat al-Imran ayat 14 ini diunggah oleh akun TikTok NU Online dengan judul thumbnail, “Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?.” Video itu lalu diunggah ulang oleh EK di akun Twitter miliknya dengan caption yang dinilai tak pantas.

“T*l*l tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi s*l*ngk*ng*n,” demikian komentar Eko atas potongan video ceramah Ning Imaz yang tengah menjelaskan tafsir ayat 14 surat Ali Imran.

Komentar miring EK ini sontak membuat banyak pihak naik pitam. Terlebih lagi warga NU yang merasa tersinggung. Mirisnya, cuitan tendensius yang telah jelas menghina Islam itu bukan kali pertama dilakukan oleh pegiat media sosial ini. Sebelumnya, EK juga menghina ulama Islam lainnya, antara lain Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat.

Tak hanya netizen yang geram dengan aksinya, beberapa pihak pun turut angkat bicara menanggapi hal ini.

Dilansir dari Republika.co.id, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menilai bahwa aksi yang dilakukan Eko Kuntadhi telah menghina kemuliaan suatu agama.

“Yang dibaca itu tafsir Ibnu Katsir. Kitab tersebut adalah kitab pegangan ulama, dan hal itu sudah tentu termasuk pada penghinaan agama. lalu videonya juga tayang di laman NU chanel, Ya pastinya sudah tahu itu channel resmi suara NU. meskipun tweetnya sudah dihapus tak berarti masalah sudah selesai, tapi harus mempertanggung-jawabkannya. Yaitu tanggung jawab bermedsos yang sopan, penghinaan terhadap orang lain dan keyakinan agama. Ajakan bertemu adalah jalan bijak sebelum masalahnya melebar,” tulis Cholil Nafis dalam akun Twitter @cholilnafis, Rabu 14 September 2022.

Lebih dari itu, Koordinator Nasional Poros Muda NU, Ramadhan Isa, pun memberi ultimatum kepada EK untuk meminta maaf secara terbuka. Menurutnya, tindakan EK tak hanya merendahkan kaum perempuan, tapi juga nahdliyin secara umum.

Di pihak lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat, Chandra Purna Irawan juga ikut menganalisis kasus cicitan EKyang tengah viral di media sosial Twitter tersebut. Ia menilai bahwa aksi EKsebenarnya berpotensi pelanggaran sejumlah pasal dalam kasus itu.

Melihat akibat dari aksinya tersebut. EK tak tinggal diam. Pasalnya, walaupun cuitan Twitternya telah dihapus, namun tangkapan layar hasil jepretan netizen sudah terlanjur menyebar luas dan meramaikan jagad sosial media. Hal tersebut mendorongnya untuk bertanggung jawab dengan menyambangi langsung kediaman Ustadzah Ning Imaz di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Jika kita analisa lebih dalam, keputusan EK untuk datang dan meminta maaf kepada Ustadzah Ning Imaz memang patut dihargai. Namun, apakah aksi permintaan maaf mampu menyelesaikan masalah begitu saja? Nyatanya, tidak. Upaya meminta maaf tanpa pemberian sanksi yang pasti tak mampu membuat para pelaku penista agama jera.

Pasalnya, mereka mungkin saja akan merasa bersalah sesaat. Namun, apakah kita bisa memastikan bahwa di suatu saat nanti, para pelaku tak akan mengulangi aksinya tuk kesekian kalinya?

Beginilah proyeksi penegakan hukum di Indonesia yang begitu jelas tergambar. Penegakan hukum yang terkesan tebang pilih menunjukkan bahwa keadilan sudah menjadi suatu hal yang sudah langka di negeri ini. Lantas, bagaimana bisa penistaan agama tercabut hingga ke akarnya, jika rekam jejak kesalahan pelaku hanya cukup dibasmi dengan permintaan maaf belaka.

Dengan longgarnya penegakan hukum dan tumpulnya pisau hukum terhadap para penista agama, membuat mereka tetap asik berkeliaran di luar sana tanpa merasa berdosa.

Siapa yang bisa menjamin bahwa suatu saat nanti, dengan mudah mereka kembali membuat narasi-narasi negatif yang menghina agama namun pada akhirnya, mereka malah cuci tangan dari kesalahannya dan merasa tak bersalah terhadap apa yang telah diperbuatnya.

Jika kita telaah lebih lanjut, fenomena penistaan agama yang seringkali terjadi di Indonesia tentu tidak mungkin terjadi begitu saja. Hal tersebut dapat terjadi lantaran beberapa alasan di antaranya:

1. Menjamurnya virus islamophobia yang merebak baik di dunia maya dan dunia nyata. Jika kita proyeksikan, telah banyak kasus penistaan agama yang menyayat hati kaum muslim.

2. Tumbuh suburnya masyarakat sekuler di tengah-tengah umat.

Sistem kapitalisme liberal yang menjadi mercusuar peradaban hari ini menyebabkan banyak orang yang terjangkit virus sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan).

Pemahaman ini menyebabkan masyarakat tak acuh terhadap agamanya sendiri. Mereka menjadikan Islam sebagai identitas administratif tanpa mau mengaplikasikan setiap aturan agama yang ada. Jangankan untuk menjalankan agama dan syariat Allah SWT. Saat Panji Islam dinistakan saja, mereka malah memilih untuk tutup mata dan telinga. Seakan-akan tak terjadi apa-apa. Tak peduli saat Allah dan rasul-Nya dihinakan. Mereka hanya mengecam tanpa tindak lanjut penegakan hukum yang membuat para pelaku jera.

Wajarlah bila gelar “negara mayoritas muslim terbesar dunia” yang disematkan pada Indonesia hanya sekadar jargon belaka.

Inilah fakta yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalisme liberal. Hak dan kebebasan berpendapat malah disalah gunakan sebebas-bebasnya.

Tak seperti saat islam dalam kejayaannya dahulu. Lihatlah  bagaimana tegasnya Umar bin Khattab yang menghukum mati para penista dan penghina agama. Lebih dari itu, kita juga dapat melihat ketegasan Sultan Abdul Hamid II saat menjabat, dan ditemukan pelaku penista agama dari prancis di eranya.

Apa tindakan yang dilakukannya? Dengan tegas dan sigap, ia kerahkan ribuan pasukan untuk menyerang Prancis pada saat itu.

Sebegitu hebatnya citra Islam di mata dunia. Hingga para penista pun tak memiliki ruang tuk melecehkan Islam begitu saja. Sanksi tegas yang diberikan berhasil membuat setiap orang berpikir ulang tuk melakukan aksi bodoh menista suatu agama.

Wal hasil, terciptalah indahnya kesejahteraan dan keamanan di tengah-tengah umat. Indahnya toleransi dan budaya saling menghargai pun tumbuh subur di tengah-tengah umat manusia. Namun, impian ini tak dapat tercipta secara sempurna dalam sistem sekuler yang mendewakan kebebasan dan Hak Asasi Manusia belaka.

Sistem cacat buatan manusia yang selama ini menjadi kerangkeng penderitaan bagi masyarakat dunia ciptaan Barat. Berbeda dengan Islam yang mampu menjadi rahmatan lil’alamin. Sistem sempurna yang menjadi pelindung kehormatan agama dan berhasil menjaga mahkota kemuliaannya.[]

Comment