Oleh : Novi Puji Lestari, Mahasiswi Dan Aktivis Muslimah
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Atas nama cinta, seseorang rela melakukan segala sesuatu termasuk melanggar syariat Allah dengan menikah beda agama. Di Indonesia sendiri, kasus pernikahan beda agama dianggap masih tabu, terlebih oleh kalangan umat muslim.
Kontroversi ini kembali memuncak dan memicu kritikan banyak pihak, pasalnya Pengadilan Negeri (PN) Surabaya seperti dilansir sindonews.com, Jumat (24/6/2922) telah mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama.
Pada April silam, sebagaimana dikutip BBC news com (23/6/2922), Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan pasangan pria Muslim dan perempuan Kristen untuk mengakui pernikahan mereka secara hukum dan akhirnya, Keputusan itu pun diumumkan pada Senin (20/06), setelah pengadilan mengunggah dokumen tersebut di situs mereka.
Hakim pengadilan memerintahkan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat data perkawinan para pemohon dalam pendaftaran perkawinan setelah memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menyatakan bahwa pelegalan pernikahan beda agama oleh pihaknya ini didasarkan pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: (a) perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan.
Ternyata, muncul juga pernyataan yang menguatkan dari aktivis Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholish yang menyatakan bahwa pihaknya sudah memfasilitasi 1.425 pernikahan beda agama di Tanah Air sejak 2005. (www.republika.id 27/03/2022).
Keputusan ini pun jelas menimbulkan kontroversi di kalangan warganet, pasalnya kasus legalnya pernikahan beda agama ini membuat tak sedikit masyarakat yang beranggapan aneh dan bertanya-tanya, apakah Negara Indonesia sudah benar-benar melegalkan Interfaith Marriage (Pernikahan Beda Agama)?
Tak hanya dunia maya yang berhasil diguncangkan, karena ternyata ada banyak pihak yang ikut angkat bicara perihal ini. Seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghendaki agar pengadilan membatalkan putusan itu, seraya menegaskan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Selain itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie, seperti dikutip sindonews.com, mengatakan putusan tersebut akan menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa bagi mereka yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
“Putusan ini membuka keran bagi pengesahan peristiwa nikah beda agama lainnya,” kata Tholabi.
Lebih dari itu, dalam konteks keyakinan Agama Islam, Jumhur ulama sepakat bahwa perkawinan beda keyakinan (Interfaith) tidak dibenarkan. Oleh karena itu, UU Perkawinan mengakomodasinya dalam Pasal 2 ayat (1) yang meniscayakan keabsahan suatu perkawinan hanya jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Demikian pula pada pasal 8 ditegaskan tentang larangan perkawinan yang dilarang agama. Larangan ini juga sejatinya dianut oleh berbagai agama, meski terkadang diikuti dengan dispensasi atau pengecualian.
Dengan menelaah lebih dalam fenomena ini, maka kita akan temukan bahwa masyarakat seakan digiring pada narasi toleransi dengan menormalisasi pluralisme (menyamakan semua agama sama). Sebaliknya, bagi mereka yang menolak keputusan dua pasangan yang berbeda keyakinan, maka akan dianggap radikal, intoleran bahkan “arogan”.
Narasi arogansi beragama ini akan terus digaungkan sampai mereka mendapatkan legalisasi di mata hukum dan masyarakat. Padahal, pernikahan beda agama jelas melanggar syariat Islam tanpa adanya pengecualian.
Dalam Islam, orang-orang yang melakukan pernikahan yang berbeda iman, maka sama saja dengan dikatakan berzina. Sebagaimana diketahui dalam surat mumtahanah ayat 10 yang mengatakan bahwa haram hukumnya menikah dengan pasangan yang non-muslim baik musyrik maupun Nasrani (ahli kitab).
Akan tetapi, Syariat Islam yang telah diturunkan seakan tak ada nilainya lagi jika dibandingkan dengan legalitas manusia dan hawa nafsu belaka.
Awalnya pernikahan beda agama ini dilakukan secara senyap atau diam diam namun kini mereka sudah percaya diri untuk memamerkannya di sosial media. Mereka mengatakan bahwa ini adalah wujud toleransi, menjunjung tinggi kebinekaan bahkan bukti menghargai antaragama yang berbeda.
Inilah perspektif yang salah dan harus diluruskan. Pasalnya, pernikahan beda agama adalah wujud toleransi yang kebablasan dan melewati standar.
Dalam Islam, toleransi digambarkan dengan cara saling menyayangi sebagai umat manusia, serta saling menghargai dan membiarkan kaum non-muslim saat beribadah dan menggunakan atribut keagamaannya tanpa harus ikut-ikutan dalam perkara keimanan mereka.
Terlebih saat bicara soal pernikahan yang disebut sebagai ibadah seumur hidup. Bagaimana bisa kita menduakan cinta pada Sang Pencipta hanya dengan cinta kepada makhluk yang bernama manusia?
Harus kita luruskan bahwa “Pernikahan Beda Agama” bukanlah wujud toleransi yang beratapkan moderasi beragama karena di berbagai agama manapun juga, keputusan ini jelas tak dapat diterima.
Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa kasus ini hanya bisa ditemukan pada peradaban sekuler liberal yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Dengan dalih hak asasi, manusia di hari ini rela untuk menjual keimanannya begitu saja. Berbeda dengan Negara yang melandaskan hukum Islam sebagai pondasinya.
Kita akan diberikan sanksi tegas sebagai bukti kepedulian negara terhadap warganya agar mereka tak terjerumus pada dosa zina lantaran membangun bahtera keluarga dengan keyakinan yang berbeda.[]
Comment