Penulis: Eno Fadli | Pemerhati Kebijakan Publik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Diberlakukannya PPN 12 persen sejak awal tahun 2025 ini, merupakan ketetapan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021, tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP), dan bagian dari upaya pemerintah untuk mereformasi sistem pajak dan meningkatkan penerimaan negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyebutkan kenaikan PPN 12 persen untuk menopang program makan bergizi gratis yang memerlukan pendanaan cukup besar, mencapai 71 Triliun (BeritaSatu.com, 16/12/2024).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutkan, bahwa kenaikan PPN 12 persen berlaku untuk barang mewah, produk atau jasa premium yang termasuk di dalamnya layanan rumah sakit kelas VIP, pendidikan berstandar Internasional dan tarif listrik dengan daya 3.500- 6.500 volt. Sri Mulyani juga meyakinkan bahwa pemerintah tidak akan memberatkan masyarakat kelas menengah bawah (BBCNews.com, 19/12/2024).
Sejak berlakunya PPN 12 persen, pemerintah sekaligus mengeluarkan kebijakan stimulus 1 persen PPN dan sejumlah pengamanan yang diberikan sementara dalam jangka waktu 2 bulan.
Bantuan itu berupa beras kemasan 10 kg per bulan kepada 16 juta keluarga penerima bantuan pangan, diskon 50% untuk tarif listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA, dan diberikannya insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya dengan gaji sampai Rp 10 juta perbulan, serta optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan bantuan bagi pelaku UMKM dengan mendapatkan kompensasi PPh final 0,5% sampai tahun 2025 (Antara.com, 16/1/2025).
Realitanya, sejumlah kebijakan pengamanan yang bertujuan untuk mengurangi dampak ekonomi akibat naiknya PPN, dinilai tidak efektif mengurangi beban ekonomi masyarakat dan para pelaku usaha, karena bersifat sementara yang hanya dapat memenuhi kebutuhan sesaat saja.
Sedangkan efek domino yang dirasakan karena kenaikan PPN mempengaruhi rantai pasok dan distribusi kebutuhan masyarakat, yang dapat menyebabkan harga naik dan daya beli masyarakat pun semakin menurun.
Dampak signifikan sangat dirasakan industri kecil dan menengah, daya beli yang menurun berimbas pada beban industri yang semakin berat karena pendapatan berkurang. Beban industri yang berat juga berdampak pada PHK massal sehingga akan menambah tumpukan masalah ekonomi masyarakat.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai tumpuan pendapatan negara, karena dianggap sebagai cara mudah untuk mendapatkan dana segar untuk meningkatkan penerimaan dan menutupi defisit anggaran negara. PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar untuk APBN.
Istilah pajak dalam fikih Islam dikenal dengan sebutan dharibah. Namun dalam penerapan dan pengaturannya sangat berbeda dengan penerapan dan pengaturan pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Sebagaimana diterangkan oleh Al-Allamah Syaikh Abdul Qodim Zallum, pajak sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan pada pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal, sehingga kaum muslimin membiayai kewajiban-kewajiban tersebut (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah).
Oleh sebab itu, pajak dalam Islam dipungut ketika terjadi kondisi yang diperkenankan oleh syara’ yaitu saat kondisi Baitul Mal sedang kosong atau kondisi keuangan negara sedang genting sementara di saat yang sama ada kewajiban-kewajiban kaum muslimin yang secepatnya harus dipenuhi oleh negara dan kekosongan tersebut menjadikan kaum muslimin yang mampu harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang ada.
Manakala masalah kekosongan pada Baitul Mal sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan. Dalam sistem ekonomi Islam pajak dipungut bukan untuk meningkatkan penerimaan dan menutupi defisit negara ataupun untuk program-program pemerintah.
Pajak dipungut kepada warga negara muslim dari kalangan orang kaya atau mampu, dipungut dari kelebihan harta yang mereka miliki yaitu dari kelebihan kebutuhan pangan sandang dan papan. Karena pajak dipandang sebagai kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat dan tidak boleh dipungut pajak pada seluruh warga negara misalnya dari kalangan yang tidak mampu ataupun non muslim.
Pajak yang dipungut, dipergunakan untuk pos-pos yang wajib dibiayai meskipun ada tidak adanya dana di Baitul Mal, seperti pengeluaran pada pos jihad mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan persenjataan, serta gaji tentara pegawai negara, hakim, guru dan semua pihak yang berkhidmat pada negara untuk mengurusi kemaslahatan kaum muslimin.
Pengeluaran pos industri alat berat agar dapat memproduksi alat- alat berat yang dibutuhkan untuk pasukan. Pos pengeluaran fakir miskin, diperlukan jika dana pada pos zakat tidak ada.
Pengeluaran pos untuk biaya kemaslahatan umat berupa pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum yang merupakan sarana dan prasarana utama – karena jika tidak ada maka akan menyebabkan dharar bagi warga negara.
Pengeluaran pos penanggulangan bencana alam dan kecelakaan dan sejenisnya. Pengeluaran pada pos-pos tersebut menjadi kewajiban atas pengeluaran Baitul Mal, sedangkan Baitul Mal sedang kosong sehingga diperlukan pemungutan pajak yang bersifat insidental.
Dalam penerapan sistem ekonomi Islam, sumber pendapatan utama negara bukan melalui pajak karena pajak merupakan alternatif terakhir yang diambil.
Adapun sumber pendapatan negara didapat dari Fa’i jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dikelola oleh negara dan dilindungi oleh negara, harta korupsi pejabat dan pegawai negara yang diambil negara, khumus, rikaz dan lain-lain.
Sehingga dengan berbagai sumber pendapat negara ini, sudah dapat dipastikan sangat minim kemungkinan untuk dipungut pajak oleh negara. Tidak seperti saat ini, pajak malah membuat rakyat semakin tercekik dan menjerit. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment