Oleh : Susi Susila, S.E, Aktivis Muslimah Purwakarta dan Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Akhir bulan September kita dikejutkan dengan berita yang membuat miris dan duka cita mendalam. Mulai dari kasus KDRT, parodi KDRT sampai nge-prank polisi, bahkan kasus sepak bola Kanjuruhan yang membuat masyarakat indonesia wa bil khusus dunia persepakbolaan berkabung.
Dilansir laman news.detik.com (10/09/2022), total korban dalam tragedi Kanjuruhan bertambah menjadi 714. Dari jumlah tersebut, 131 orang dinyatakan meninggal dunia. Begitu banyak jatuh korban. Seolah nyawa manusia tidak berharga. Begitu miris dan meninggalkan kesedihan dan duka mendalam.
Tragedi yang memilukan ini adalah akumulasi dari banyak sebab. Mulai dari suporter yang temperamen, aparat yang lepas kendali dengan penggunaan gas air mata, waktu penyelenggaraan di malam hari dan membludaknya penonton.
Tujuh ratus orang ini adalah manusia bukan sekedar angka. Kejadian Kanjuruhan adalah tragedi sepak bola terbesar di dunia dalam 20 tahun belakang.
Sialnya, ini terjadi di Indonesia saat harga-harga naik, pendidikan berkualitas susah diakses, mahalnya makanan bergizi dan lain sebagainya.
Begitu kompleksnya permasalahan negeri ini. Ditambah aturan negara ini yang dipandang tidak memihak pada rakyat kecil. Inilah dampak kapitalisme sekuler dan liberal yang hanya berorientasi untuk kepentingan materi dan oligarki.
Berbeda dalam Islam. Pemerintah dan pemimpin harus menjadi pelayan bagi umat sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits :
“Ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasannya Ubaidillah bin Yazid mengunjungi Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan sebuah hadits yang telah didengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw berkata, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan memperlihatkan harum surga ( tidak mendapat bau surga)”. (HR. Imam Bukhari)
Tentu terdapat perbedaan yang sangat kontras antara aturan kapitalis sekuler dengan aturan Islam. Pemimpin dalam Islam harus menjadi pelayan umat atau masyarakat.
Pelayanan yang pertama adalah berupa jaminan bagi setiap warga negara memahami ajaran agamanya masing-masing, mampu mengamalkannya dengan baik, dan melindungi agama mereka dari berbagai bentuk kesesatan. Kedua, berupa pelayanan terhadap rakyat agar bisa hidup layak sebagai manusia bermartabat.
Hal inilah yang mendorong Umar bin Khattab RA sering berkeliling malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Saat ada yang mengeluh kekurangan pangan, ia menolongnya dan memanggul karung gandum sendiri.
Dalam kesempatan lain Umar pernah berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Baghdad, niscaya Umar akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalannya?”
Bila semua penguasa ataupun pemimpin di dunia menjadi pelayan rakyat sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, akan tegaklah keadilan yang mendatangkan kesejahteraan semua umat manusia tanpa kecuali. Wallahu’alam.[]
Comment