Oleh : Hawilawati, S.Pd, Founder Sekolah Srikandi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Alhamdulillah kita telah memasuki bulan suci Ramadhan 1442 H. Bulan yang telah dinanti selama 11 bulan lamanya, sungguh bulan yang banyak keistimewaan, banyak pembelajaran yang bisa kita rasakan, seperti dilatih kesabaran, kedisiplinan, fastabiqul khoirot (bersedekah, berbagi) mengolah emosi, melawan rasa malas, dan sebagainya. Inilah momen yang sangat tepat untuk memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Ramadhan tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga dari terbit hingga terbenam fajar. Ramadhan tidak hanya sehari atau dua hari, tapi akan dilalui selama satu bulan penuh (29 atau 30 hari).
Saat siang hari berusaha menahan hawa nafsu, namun bukan berarti malam hari bebas berkata ataupun berbuat. Tetap siang malam harus terjaga perkataan dan perbuatan sesuai dengan yang di syariatkan Allah Swt.
Agar segala perbuatan di bulan suci Ramadhan ini bernilai ibadah, maka ada beberapa hal yang harus kita perhatikan :
Luruskan Niat
Apapun amalannya tetap niat awalannya. Amalan seseorang tergantung niatnya. Baik berhijab, berpuasa, membaca Al-quran, sholah tarawih bukan sekedar menggugurkan kewajiban dan menjalankan sunnah saja tanpa disertai niat yang shohih.
Semua amalan itu adalah perintah Allah dan yang disunnahkan Rasul, dan efeknya kita sendiri yang akan meraih segudang kemaslahatan dari amalan baik tersebut
Agar apa yang kita lakukan memiliki nilai dan tak terasa beban saat mengamalkannya, maka niatkanlah karena Allah. Karena niat itu banyak modelnya, seperti niat materi, niat emosional, dan niat spiritual. Adapun niat karena Allah, inilah yang dikatakan juga sebagai niat spiritual, niat amalan yang paling shohih (benar).
Ilmu
Apapun amalan selain diawali dengan niat juga harus didasarkan dengan ilmu. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
“Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”. HR. Bukhori
Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Artinya setiap diri yang mengaku beragama Islam, maka sebelum berucap dan beramal, wajib untuk memiliki ilmu tentang apa yang akan diucapkan atau diamalkannya (tidak sekedar mengikuti hawa nafsu atau melakukan menurut kebanyakan orang).
Sungguh Allah maha baik,
manusia diciptakan dilengkapi dengan segala fasilitas hidup, diberi petunjuk dengan berbagai ilmu agar mampu mengarungi kehidupan ini hingga sampai ke muara yang sangat indah penuh keberkahan yaitu surga Allah.
Jadi manusia tidak dilepas begitu saja dalam kebingungannya atau dibiarkan sok tahu tapi sebenarnya tidak mengetahui, kecuali dituntun dengan kekayaan ilmu agama.
Sehingga jika ingin beramal sholih, agar tidak terasa beban maka harus kita fahami dengan niat dan ilmu yang shohih.
Demikian puasa, jika tidak ada ilmunya jadi merasa berat, inginnya cepat-cepat bedug maghrib, bahkan ada saja manusia menginginkan Ramadhan ini usai, biar bisa sepanjang hari makan dan minum, karena merasa menahan lapar dan dahaga sangatlah berat. Hati-hati ini sudah bertanda menjalankan ibadah shoum tanpa ilmu sehingga tidak bisa menikmati ibadah ini yang begitu banyak fadhillahnya.
Tholabul Ilmi
Untuk mendapatkan ilmu salah satunya dengan mengaji (Tholabul Ilmi). Bulan Ramadhan bukan berarti serta merta aktivitas Tholabul Ilmi menjadi terhenti, justru semakin semangat untuk belajar.
Meetode tholabul ilmi yang akan membekas dalam diri adalah Talqiyan Fikriyyan, sebagaimana para sahabat Rasul lakukan.
Talqiyan Fikriyyan adalah merupakan metodologi pembelajaran dengan proses berfikir, mengindra fakta yang ada dikaitkan dengan pemikiran/ilmu Islam), pembelajaranpun dilakukan secara Istimror (terus menerus) serta takrir (tidak bosan untuk diulang-ulang agar ilmu melekat dalam diri).
Dalam tholabul ilmi, kita tetap sangat membutuhkan seorang guru untuk menyampaikan dan memberikan pemahaman tentang ilmu tersebut. Tak cukup sekedar otodidak mengandalkan internet atau media belajar lainnya. Secanggih apapun teknologi (internet, audio visual) statusnya hanyalah sebagai sarana untuk belajar, tetap belajar bersama guru melebihi segalanya. Karena begitu banyak keutamaan di dalamnya, diantaranya :
1. Mendapatkan doa dari sang guru, doa kebaikan tidak akan pernah kita dapatkan jika sang murid berguru hanya kepada internet atau belajar sendiri.
2. Lebih efesien waktu dan tenaga (jika ada masalah, bisa langsung ditanyakan)
3. Meminimalisir kesalahan
Guru adalah manusia yang memiliki ilmu mumpuni (faqih fiddin), yang akan sabar menuntun murid ke jalan yang benar, tidak akan membiarkan murid berada dalam kesalahan berbuat.
4. Belajar bersikap hati-hati (tidak asbun).
Dalam hal ini, Imam Syafi’I pernah berkata :
“من تفقه من الكتب ضيع الأحكام “
“Barang siapa belajar dari buku, maka dia akan banyak mempermainkan hukum.“
5.Terbiasa menerapkan adab terhadap orang berilmu (guru).
Tidak diragukan lagi, bahwa teman bergaul sangat mempengaruhi sikap dan sifat seseorang. Dalam mahfudhat disebutkan :
“Janganlah engkau bertanya tentang seseorang kepada dirinya langsung, tapi tanyalah kepada temannya, karena seseorang akan selalu mengikuti temannya. “
Maa syaa Allah, jika kita banyak bergaul dengan guru yang memiliki akhlakul karimah dan faqih fiddin (ilmu agama yang mendalam), insya Allah kita juga akan kecipratan baiknya, santunnya, ya mau tidak mau kita berusaha memiliki adab yang baik sebagaimana guru kita. Secara langsung pengaruh guru terhadap murid akan sangat dirasakan dampak positifnya terhadap prilakunya.
Jadi, ilmu itu harus didapat oleh seorang guru yang faqih fiddin. Jangan merasa cukup bin puas, hanya datang ke majlis ilmu sekali, dua kali atau cukup sebulan sekali. Tholabul Ilmi (ngaji) kepada seorang guru harus dilakukan minimal rutin setiap pekan dan sifatnya Istimror (terur menerus). Selama kita diberikan kesempatan hidup maka Tholabul Ilmi tetap dilakukan Ilal Mahdi (sampai keliang lahat).Tidak ada kata pensiun menuntut ilmu.
Belajar ilmu agama juga harus memiliki target perubahan diri menjadi lebih baik, sehingga ilmu membekas dalam diri dan membentuk kepribadian Islam.
Jika kita sudah lama belajar ilmu agama Islam tapi belum membawa perubahan diri menjadi lebih baik, bahkan Islam tidak menjadi standar hidupnya. Seperti pergaulannya jauh dari islam, tidak faham batasan auratnya sendiri, mana yang harus ditutup dan mana yang boleh terlihat, perkatannya tidak mencerminkan sebagai muslim (tidak Ahsan), bahkan begitu banyak perbuatan yang jauh dari nilai-nilai Islam, dipastikan ilmu agama Islam yang di dapat hanya sebatas informasi saja, sehingga ilmu yang diperoleh tidak dijadikan wasilah keberkahan hidup baginya.
Dakwah
Agar ilmu melekat dalam diri, menjadi bagian muhasabah diri, maka lakukanlah dakwah semampu diri kita.
Dakwah tidak harus berada di depan podium layaknya mubalighoh. Dengan mengajak orang-orang di sekeliling untuk bergabung dalam komunitas taat saja itu sudah bernilai dakwah dan amal sholih.
Dakwah tidak perlu biaya mahal, dengan menyebar buletin Islam ke berbagai kerabat dan komunitas, itu juga dikatakan aktivitas dakwah.
Apa yang kita tulis, sebar, katakan bahkan ajakan yuk hijrah bersama, jika tujuannya untuk mensyiarkan Islam itu adalah dakwah.
Pahala bagi orang yang mengajak hijrah (menjadi wasilah orang lain menjadi baik/sholih) Masya Allah, balasannya luar biasa. Salah satunya adalah mendapatkan pahala orang-orang yang mengikuti kita tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada sebuah petunjuk maka baginya pahal seperti pahala-pahala orang-orang yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi akan pahala-pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menyeru kepada sebuah kesesatan maka atasnya dosa seperti dosa-dosa yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Jangan sia-siakan Ramadhan, bulan penuh berkah, penuh ampunan dan pahala.
Jadikan ramadhan ini sebagai momentum untuk terus memperbaiki diri dan pintu masuk hijrah kita yang sebenar-benarnya, baik hijrah secara penampilan maupun pemikiran dari berpikir sekuler menuju Islam.
Ramadhan sebagai benteng kebaikan untuk bulan bulan selanjutnya, serta menjadi wasilah hijrah bagi orang-orang di sekeliling kita, agar bersama lebih serius, mencintai, mempelajari dan mengamalkan keagungan ajaran Islam. Wallahu’alam bishowab.[]
Comment