Penulis: Siti Maisyah | Pendidik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kasus kekerasan yang melibatkan remaja kembali mencuat dan meninggalkan luka sosial yang mendalam. Dua peristiwa besar di penghujung 2025—pembakaran asrama pesantren di Aceh Besar dan ledakan yang mengguncang SMA Negeri 72 Jakarta—menunjukkan satu benang merah yang sama: bullying yang dibiarkan tumbuh tanpa penanganan serius.
Fenomena ini bukan sekadar kejadian insidental, melainkan sinyal kuat bahwa sistem pendidikan sedang gagal menciptakan ruang aman bagi generasi muda.
Sebagaimana ditulis Beritasatu.com (7/11/2025), sebuah peristiwa memilukan terjadi di Pondok Pesantren di Aceh Besar. Seorang santri yang mengaku kerap menjadi korban ejekan, hinaan, dan pengucilan nekat membakar asrama putra pada dini hari.
Api dengan cepat melalap asrama, kantin, serta rumah pembina. Pelaku yang masih di bawah umur melakukan tindakan ekstrem sebagai pelampiasan luka batin akibat perlakuan tidak manusiawi dari lingkungan sekitarnya.
Tak berselang lama, publik kembali dikejutkan oleh ledakan di SMAN 72 Jakarta yang terjadi saat pelaksanaan salat Jumat di masjid sekolah.
Sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com (10/11/2025), terduga pelaku merupakan siswa sekolah tersebut yang menurut kesaksian kerap menjadi korban perundungan.
Polisi menemukan adanya tekanan psikologis berat dan kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial. Insiden ini menyebabkan puluhan siswa terluka dan mengguncang kondisi psikologis satu sekolah.
Dua peristiwa tersebut memperlihatkan pola yang sama: remaja yang merasa disakiti, tidak dilindungi, dan tidak menemukan jalan keluar, akhirnya menjadikan tindakan ekstrem sebagai “bahasa terakhir” yang mereka pahami.
Bullying: Masalah Sistemik, Bukan Sekadar Kenakalan Individu
Selama ini, bullying kerap dipersepsikan sebagai kenakalan remaja atau candaan berlebihan. Padahal, realitas menunjukkan bahwa bullying telah menjadi masalah sistemik yang merambah sekolah, pesantren, hingga ruang digital.
Pertama, bullying terjadi di berbagai daerah dan lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta. Ini menandakan bahwa akar persoalan bukan pada institusi tertentu, melainkan pada pola pendidikan yang gagal menanamkan adab dan empati.
Kedua, budaya mengejek dan mempermalukan kerap dianggap wajar. Media sosial memperparah kondisi ini dengan menjadikan ejekan sebagai komoditas hiburan yang viral.
Ketiga, korban bullying semakin mudah terpapar konten berbahaya—mulai dari ide balas dendam hingga tindakan ekstrem—yang memperparah kondisi psikologis remaja yang rapuh.
Keempat, institusi pendidikan terlalu fokus pada capaian akademik dan administrasi, sementara pembinaan adab dan kesehatan mental kerap berada di urutan belakang.
Dengan demikian, bullying bukan persoalan anak “nakal”, melainkan cermin kegagalan sistem pendidikan dalam melindungi peserta didik.
Ledakan Emosi Remaja dan Luka Sosial yang Diabaikan
Masa remaja adalah fase paling rentan terhadap tekanan sosial. Identitas yang belum mapan membuat pengakuan dari lingkungan menjadi kebutuhan penting. Ketika remaja dipermalukan, dikucilkan, dan direndahkan, dampaknya langsung menggerus kesehatan mental mereka.
Tindakan ekstrem seperti pembakaran dan ledakan bukanlah peristiwa yang lahir tiba-tiba. Ia adalah puncak gunung es dari luka panjang yang dipendam tanpa ruang aman untuk bercerita. Sayangnya, masyarakat kerap hanya melihat hasil akhirnya sebagai kriminalitas, tanpa menelusuri kegagalan struktural yang dibiarkan berlarut.
Media sosial turut memperluas arena perundungan. Cyberbullying membuat korban seolah tak memiliki ruang aman, bahkan di luar sekolah. Lebih jauh, platform digital juga menyediakan “referensi” perilaku berbahaya—mulai dari prank ekstrem hingga konten kekerasan—yang kerap ditiru remaja sebagai simbol kekuatan semu.
Pendidikan Sekuler Kapitalistik dan Krisis Akhlak
Jika ditarik lebih dalam, kasus-kasus ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan modern yang terlalu menekankan nilai akademik, prestasi materi, dan kompetisi.
Dalam paradigma sekuler-kapitalistik, pendidikan dipersempit menjadi sarana mencetak tenaga kerja, sementara pembentukan jiwa, akhlak, dan ketahanan emosional terpinggirkan.
Akibatnya, anak-anak tumbuh cerdas secara intelektual, tetapi rapuh secara spiritual dan emosional.
Pendidikan Islam sebagai Solusi Substantif
Islam menawarkan konsep pendidikan yang holistik—bukan sekadar mencerdaskan, tetapi membentuk kepribadian Islam yang utuh. Pendidikan diarahkan untuk memadukan pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan akidah, melalui keteladanan, pembiasaan adab, pendampingan spiritual, serta penguatan iman dan kepedulian sosial.
Di sisi lain, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi generasi: menjamin pendidikan yang aman, membina akhlak publik, dan mencegah kezaliman sosial.
Pendidikan harus kembali pada hakikatnya sebagai sarana membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar pencetak nilai dan prestasi.
Dengan mengembalikan pendidikan pada nilai-nilai yang berlandaskan akidah Islam dan penerapan syariat secara menyeluruh, generasi akan tumbuh sebagai generasi emas, bukan generasi cemas yang kehilangan arah dan perlindungan.[]









Comment