Resolusi ICJ, Akankah Kembalikan Palestina Secara Utuh?

Opini231 Views

 

Penulis: Ressy Nisia | Pemerhati Pendidikan dan Keluarga

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah International Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terletak di Den Haag Belanda, pada Jumat (19/07/2024) mengatakan Israel telah menyalahgunakan statusnya sebagai kekuatan pendudukan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam menjalankan kebijakan mencaplok wilayah, memaksakan control permanen dan membangun pemukiman.

Dalam pernyataanya ICJ telah menegakan rules-based international order, menetapkan status ilegal Israel di Palestina, serta mendorong Israel segera menghentikan semua permukiman baru dan mengevakuasi semua pemukim dari tanah yang diduduki.

Sejalan dengan fatwa hukum yang dilontarkan ICJ, Indonesia mendesak Israel untuk segera mengakhiri keberadaannya yang ilegal di Palestina. Secara faktual Israel masih menjadi Occupying Power di Wilayah Pendudukan Palestina. Pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan ICJ masih berlangsung, terutama di Gaza, yang menjadi target serangan militer.

“Indonesia menyerukan agar Israel tetap memiliki kewajiban sebagai Occupying Power untuk memenuhi hak-hak dasar Palestina sejalan dengan penetapan fatwa Mahkamah.” Kata Menteri Luar Negeri Minggu (21/07/2024).

Meskipun fatwa hukum ICJ bersifat tidak mengikat, namun meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel. Fatwa hukum tentang status ilegal Israel mendapatkan banyak dukungan dari hampir seluruh negara kecuali AS (Amerika Serikat). Bagi AS, fatwa hukum tersebut dianggap menghambat upaya penyelesaian konflik.

“Namun, kami khawatir bahwa luasnya pendapat pengadilan akan memersulit upaya penyelesaian konflik dan mewujudkan perdamaian adil dan abadi yang sangat dibutuhkan, dengan dua negara hidup berdampingan dengan perdamaian dan keamanan.” Kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, dikutip dari Alarabiya, Minggu (21/07/2024).

Selama ini, status Palestina di PBB hanya sebagai pengamat non-anggota. Setelah berlangsungnya voting “Palestina Merdeka” pada 10/05/2024 di Markas Besar PBB, New York, Palestina memeroleh “keanggotaan penuh PBB” (admission of new numbers) dengan hasil 143 negara mendukung, 9 negara menolak dan 25 negara abstain.

Resolusi PBB tentang kemerdekaan Palestina dan status ilegal Israel di Palestina ternyata merupakan bagian dari Solusi Dua Negara, yaitu visi dua negara, Israel dan Palestina hidup berdampingan dalam batas-batas aman yang diakui.

Batas-batas aman yang diakui adalah batas pasca perang Israel-Arab tahun 1967. Secara garis besar Palestina (22%) terdiri dari Tepi Barat , Yerusalem Timur (Al-Quds dan sekitarnya) dan Jalur Gaza, selebihnya Israel (78%). Jadi yang dimaksud pengembalian Palestina Merdeka bukanlah mengembalikan Palestina 100% melainkan hanya 22% saja.

Dalam syariat Islam, solusi Dua Negara ini dinilai bathil dan wajib hukumnya ditolak oleh kaum muslimin di seluruh dunia, baik itu perorangan, kelompok/organisasi atau negara.

Menyetujui solusi Dua Negara berarti mengakui keabsahan eksistensi negara entitas Yahudi dan sekaligus mengakui perampasan tanah milik kaum muslimin.

Padahal tanah Palestina merupakan tanah milik kaum muslimin yang dalam fiqih disebut tanah kharajiyah. Tanah kharajiyah merupakan tanah milih seluruh umat muslim di dunia yang diperoleh melalui peperangan (seperti wilayah Syam, Iraq dan Mesir) atau dikuasai secara damai (seperti Bahrain dan Khurasan).

Syam, termasuk di dalamnya Palestina, pertama kali dibebaskan oleh pasukan jihad kaum muslimin pada era Khalifah Umar bin Khattab RA. Pada tahun 637 M, pasukan jihad yang dipimpin oleh panglima Islam Khalid bin Walid membebaskan Palestina dan menjadikannya wilayah Negara Islam, dengan pusat pemerintahan di Madinah.

Dalam khazanah ilmu Islam, perampasan tanah meski hanya sejengkal merupakan bentuk kezaliman, yang tidak pantas dilegitimasi atau diakui. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Siapa saja mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi pada hari Kiamat pada lehernya.” (HR Mutafaq’alayh). Wallahu a’lam bishshawaab.[]

Comment