Penulis: Neno Salsabillah | Aktivis Muslimah & Muslimpreneur
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sebagaimana diberitakan Tempo.co, kerugian negara akibat kasus korupsi dan tambang ilegal yang mencapai Rp300 triliun kembali mencoreng wajah perekonomian nasional. Angka mencengangkan ini diungkap langsung oleh Presiden Prabowo Subianto saat menyerahkan aset rampasan dari enam smelter ilegal kepada PT Timah.
Fakta ini menjadi pukulan keras terhadap kedaulatan ekonomi bangsa. Sebab, kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari ribuan tambang bermasalah yang selama ini dibiarkan beroperasi tanpa pengawasan serius.
Ironisnya, sebagaimana dilansir Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui situs resminya, esdm.go.id, di tengah kerusakan itu, pemerintah pun menerbitkan kebijakan baru yang mengizinkan Koperasi dan UMKM mengelola sumur minyak serta tambang kecil.
Tujuannya tampak mulia—meningkatkan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi daerah. Namun, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bila diterapkan tanpa sistem pengawasan yang kuat.
Luka Lama Kapitalisme Sekuler
Kasus korupsi tambang dan kerusakan lingkungan yang terus berulang tak bisa dilepaskan dari akar sistem kapitalisme sekuler yang dianut negeri ini. Sistem ini menempatkan ekonomi semata-mata untuk keuntungan, bukan kemaslahatan rakyat.
Ada beberapa persoalan mendasar yang menjadi catatan:
1. Potensi pelanggaran terhadap Hak Kepemilikan Umum
Pengelolaan tambang oleh “Koperasi dan UMKM”, berpotensi melanggar hak kepemilikan umum bila dalam pengelolaaan dan hasilnya hanya dikuasai dan dinikmati oleh sekelompok orang.
Dikhawatirkan bila kemudian sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama berubah dan menjadi ajang bancakan segelintir pihak berkepentingan.
2. Minim Kapasitas dan Rawan Manipulasi
Pengelolaan tambang harus memiliki modal baik kapasitas maupun man power. Tidak bisa dikesampingkan penting ya managerial administratif dan profesionalitas. Hal ini menjadi pintu masuk dan sering dimanfaatkan oleh kapitalis besar untuk menjadi “pengelola bayangan”.
Bila ini terjadi, tentu akan berisiko menimbulkan praktik curang, mengabaikan keselamatan kerja, dan memperparah kerusakan lingkungan, seperti diulas Tirto.id.
3. Negara Lepas Tangan
Dalam sistem kapitalisme, negara seringkali terpinggirkan oleh pemilik modal sehingga negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola utama. Prinsip liberalistik—mencari keuntungan sebesar-besarnya—mendominasi, sementara nasib rakyat dan kelestarian alam terpinggirkan.
Pandangan Islam terhadap Sumber Daya Alam
Islam menempatkan sumber daya alam yang besar dan tidak terbatas—dalam istilah fikih disebut ma‘din kathirah—sebagai milik umum (milkiyyah ‘āmah). Artinya, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta karena berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Berdasarkan hadits ini, para ulama menegaskan bahwa sumber daya vital seperti tambang, energi, dan air termasuk kategori kepemilikan umum. Negara wajib mengelolanya langsung untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya pada korporasi atau pihak swasta.
Sistem Islam: Negara Pengurus, Bukan Penonton
Islam menawarkan sistem ekonomi yang adil dan berkeadaban. Dalam sistem ini, negara berperan aktif sebagai pengurus (raa‘in), bukan sekadar pengawas.
1. Negara sebagai Pengelola Utama
Tambang besar wajib dikelola penuh oleh negara melalui lembaga resmi yang amanah dan transparan. Seluruh keuntungan masuk ke Baitul Mal untuk membiayai kepentingan publik—pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
2. Pengawasan Ketat dan Tanggung Jawab Lingkungan
Tambang kecil boleh dikelola oleh rakyat, namun pengawasannya tetap berada di bawah kendali negara. Pemerintah bertanggung jawab memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai standar keselamatan dan tidak merusak ekosistem.
3. Sanksi Tegas bagi Koruptor
Dalam Islam, penyelewengan dan korupsi dipandang sebagai kejahatan besar terhadap amanah publik. Hukuman yang tegas diberlakukan agar menimbulkan efek jera dan menutup ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Kerugian Rp300 triliun akibat korupsi dan tambang ilegal bukan sekadar persoalan hukum, melainkan bukti nyata gagalnya sistem kapitalisme sekuler menjaga amanah rakyat.
Sumber daya alam yang seharusnya menjadi rahmat bagi bangsa, kini justru berubah menjadi kutukan yang menyengsarakan.
Sudah saatnya bangsa ini berani mengambil langkah besar—kembali pada sistem ekonomi Islam yang menempatkan keadilan, keberlanjutan, dan amanah sebagai pilar utama pengelolaan sumber daya alam. Wallahu a‘lam bishawab.[]









Comment