Penulis: Fanissa Narita, M.Pd | Pendidik dan Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dunia pendidikan kembali diguncang oleh kasus yang terjadi di salah satu sekolah negeri di Banten. Seorang siswa yang kedapatan merokok mendapat teguran keras berupa tamparan dari gurunya.
Insiden tersebut memicu kontroversi luas setelah orang tua siswa melaporkan guru yang bersangkutan ke pihak kepolisian.
Tak lama berselang, ratusan siswa lain melakukan aksi mogok sekolah sebagai bentuk solidaritas terhadap guru yang dinilai bersikap tidak pantas.
Berita terakhir menyebutkan bahwa kepala sekolah sempat dinonaktifkan untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut.
Kasus semacam ini bukanlah fenomena baru. Beberapa tahun lalu, seorang guru di Jawa Timur bahkan mengalami kebutaan permanen setelah diserang oleh orang tua siswa yang tidak terima anaknya ditegur karena merokok di sekolah.
Peristiwa-peristiwa tersebut mencerminkan kompleksitas posisi pendidik di era modern. Upaya guru dalam menegakkan disiplin justru kerap berujung pada pelaporan hukum, tekanan sosial, bahkan ancaman terhadap keselamatan pribadi.
Akibatnya, tidak sedikit guru yang memilih diam ketika melihat perilaku menyimpang dilakukan oleh peserta didik. Mereka mempertimbangkan risiko sosial, hukum, dan profesional yang mungkin timbul.
Inilah potret menyedihkan pendidikan kita: guru terjebak dalam dilema moral antara tanggung jawab mendidik dan menjaga keamanan diri.
Wibawa Guru yang Tergerus
Dalam situasi ideal, pendidikan seharusnya berlangsung dalam suasana saling menghormati antara pendidik dan peserta didik. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Teguran keras dari guru sering kali disalahartikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pemahaman HAM yang bersumber dari paradigma sekuler-liberal kerap mengaburkan batas antara disiplin dan pelanggaran moral, karena menempatkan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi.
Arus liberalisasi pendidikan telah menggeser paradigma mendidik menjadi sekadar kegiatan transfer ilmu tanpa sentuhan nilai. Padahal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan pendidik profesional yang memiliki peran tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan mengarahkan peserta didik.
Dengan demikian, fungsi guru sejatinya mencakup penegakan nilai moral dan pembentukan karakter. Sayangnya, fungsi tersebut kian melemah akibat ketiadaan perlindungan hukum yang memadai bagi guru yang berupaya menegakkan kedisiplinan.
Di sisi lain, gaya hidup sekuler-liberal yang menonjolkan kebebasan individu telah melahirkan generasi muda yang merasa berhak bertindak sesuka hati tanpa mempertimbangkan norma agama dan sosial.
Media dan tontonan yang tidak terkontrol turut memperkuat arus tersebut dengan menampilkan gaya hidup hedonistik dan materialistik.
Dampaknya, remaja terbiasa mengekspresikan diri tanpa batas, bahkan dengan cara yang melanggar etika dan moral. Fenomena ini menjadi potret nyata dari krisis moral yang tengah melanda generasi muda Indonesia.
Pendidikan yang Kehilangan Ruhnya
Sistem pendidikan saat ini lebih menekankan pada pencapaian akademik dan kompetensi kerja ketimbang pembentukan karakter. Sekularisasi pendidikan telah menghapus dimensi spiritual dan moral dari proses belajar-mengajar.
Akibatnya, lahir generasi yang cerdas secara intelektual tetapi miskin akhlak dan empati sosial. Pendidikan yang seharusnya “memanusiakan manusia” kini bergeser menjadi instrumen ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Kurikulum disusun agar selaras dengan kebutuhan industri, sementara pelajaran agama dan pendidikan karakter hanya menjadi pelengkap.
Guru dan siswa pun terjebak dalam orientasi hasil—mengejar capaian kognitif tanpa memperhatikan makna ruhiyah di balik proses belajar. Tak heran jika krisis moral meluas, bahkan juga melanda sebagian pendidik.
Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya sinergi antara sekolah, keluarga, dan negara. Dalam tekanan ekonomi kapitalistik, banyak orang tua kehilangan fokus dalam mendidik anak karena tersita oleh tuntutan pekerjaan.
Nilai-nilai kebebasan yang diinternalisasi dari budaya liberal turut menyebabkan keluarga kehilangan arah pendidikan moral. Anak-anak pun tumbuh tanpa fondasi akidah dan adab yang kuat.
Negara, yang seharusnya berperan sebagai pelindung moral publik, tampak abai. Regulasi yang longgar terhadap peredaran rokok dan iklan yang menyasar remaja menjadi bukti lemahnya pengawasan.
Rokok mudah diakses oleh pelajar, sementara industri tembakau terus berkembang tanpa kontrol ketat.
Pada saat yang sama, negara gagal memberikan perlindungan hukum bagi guru yang menegakkan kedisiplinan, sehingga mereka rentan terhadap tekanan sosial dan birokratis.
Ironisnya, status “anak di bawah umur” sering kali dijadikan tameng bagi pelaku penyimpangan sosial maupun tindakan kriminal di kalangan remaja, yang akhirnya meniadakan efek jera.
Pandangan Islam dalam Mendidik
Dalam perspektif Islam, menegur kesalahan merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar—yakni upaya menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip ini tidak membenarkan kekerasan, tetapi menuntut ketegasan yang disertai tanggung jawab moral di hadapan Allah.
Sebelum menjatuhkan sanksi, Islam menekankan pentingnya tabayyun (klarifikasi) untuk memahami konteks dan latar belakang perbuatan seseorang.
Dalam Islam, guru bukan hanya penyampai ilmu, melainkan pembentuk kepribadian dan penjaga peradaban. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Dengan demikian, pendidikan sejati tidak berhenti pada transfer pengetahuan, melainkan meliputi proses pembentukan karakter yang selaras dengan nilai-nilai ilahiah.
Tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam—yakni pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan pada keimanan. Akhlak dan moral menjadi tujuan utama, bukan sekadar hasil sampingan dari proses belajar.
Bila nilai ini dijadikan orientasi bersama, maka guru, orang tua, dan negara akan menjalankan perannya secara proporsional:
Guru menjadi teladan dalam perilaku dan ucapan, serta memiliki otoritas moral untuk menegakkan disiplin dengan adab.
Orang tua berperan mendukung dan menanamkan rasa hormat anak terhadap guru.
Negara hadir melalui kebijakan publik yang melindungi pendidik, memperbaiki kurikulum, dan membatasi akses terhadap media yang merusak moral generasi.
Dengan demikian, sudah saatnya paradigma pendidikan digeser dari sistem sekuler-liberal menuju sistem pendidikan Islam yang komprehensif. Sistem ini tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga menumbuhkan kesadaran spiritual, nalar kritis, dan akhlak mulia.
Transformasi ini tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada para guru, sebab mereka telah berjuang di tengah tekanan sistem yang materialistik dan tuntutan masyarakat yang menilai keberhasilan pendidikan dari aspek lahiriah semata.
Negara harus hadir memberikan arah yang jelas melalui kebijakan yang berpijak pada asas yang sama: menjadikan pendidikan sebagai sarana pembentukan insan beriman dan beradab, bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Sebab, ketika guru kehilangan wibawa, sesungguhnya bangsa ini sedang kehilangan salah satu pilar utama peradabannya.[]









Comment