Oleh: Yuli Ummu Raihan, Pegiat Literasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Fitrahnya seorang perempuan adalah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Menjalani tugas mulia sebagai madrasatul ‘ula bagi anak-anaknya. Bisa mendampingi secara penuh tumbuh kembang mereka, dan segala kebutuhannya.
Sayangnya, kondisi hari ini memaksa kaum ibu untuk keluar dari fitrahnya, karena harus bekerja di sektor publik.
Wakil Badan Legislasi DPR, Willy Aditya mengatakan, sistem kapitalis telah menggiring anggota keluarga untuk keluar dari rumah. Mereka dijadikan bahan bakar berjalan dari sebuah sistem dengan masuk ke pabrik dan industrialisasi seperti dikutip medcom.id (21/6/2022).
Tentu kondisi ini tidak idelal bagi kaum perempuan. Beban mereka semakin banyak. Banyak ibu yang tidak maksimal membersamai buah hati terutama di 1000 hari pertama kehidupan anak. Ibu yang bekerja tidak bisa maksimal memberikan ASI ekslusif, mendampingi tumbuh kembang anaknya, serta rentan stres hingga depresi.
Sebelumnya ibu bekerja telah diberikan cuti melahirkan selama 3 bulan. Namun, hal ini dirasa kurang. Inilah salah satu alasan dirumuskannya RUU KIA ini.
Anggota Badan Legislasi (Baleg), Luluk Nur Hamidah seperti dilansir suara.com, (27/6/2022), mengatakan RUU KIA ini tidak hanya mengatur cuti ibu hamil beserta suami saja, tapi juga mengatur kewajiban tempat bekerja untuk menyediakan fasilitas tempat penitipan anak atau daycare, ruang bermain, dan ruang laktasi di semua sarana umum ataupun di tempat kerja. Aturan ini tertulis dalam Bab 3 pasal 22 dan 23 draf RUU KIA.
RUU KIA ini mendapat dukungan dari Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, karena dianggap bisa menjadi upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Siti juga berpandangan bahwa, RUU KIA ini sesuai pemenuhan dan perlindungan hak maternitas yang telah dijamin konstitusi yaitu UUD 1945, khususnya pasal 28 terkait hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.
Serta amanat UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konveksi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang ditujukan untuk melindungi kehamilan dan mengatur hak atas jaminan sosial diantaranya, hak dan masa cuti berbayar.
Komnas Perempuan mencatat akhir tahun 2021 ditemukan laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang buruk. Sementara catatan akhir tahun 2020 telah terjadi 108 kasus kekerasan di dunia kerja, mencakup pelanggaran hak-hak dasar seperti perlindungan kerja yang layak, hak bebas, diskriminasi, dan hak maternity (cuti haid, hamil, dan melahirkan).
Komnas Perempuan juga menemukan masih ada pembatasan kesempatan kerja oleh korporasi terkait fungsi reproduksi perempuan.
Benarkah RUU KIA Mampu Memberikan Kesejahteraan Kepada Ibu dan Anak?
Sekilas isi RUU KIA seperti angin segar bagi perempuan khususnya ibu pekerja. Siapa yang tidak senang bisa cuti lama dan tetap mendapatkan gaji. Namun, jika kita teliti lagi RUU KIA ini hanya menjanjikan harapan semu.
Waktu cuti 6 bulan tidaklah ideal bagi ibu dan anak, karena untuk mencegah stunting yang selama ini menjadi masalah besar, diperlukan penjagaan selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dua tahun.
Kelak di tempat kerja akan diberikan fasilitas untuk melakukan laktasi. Itu artinya bayi mungil itu akan dibawa ke tempat kerja yang tentu tidak ramah untuknya. Berbagai resiko kesehatan justru sedang mengancam si bayi.
Selain itu pemberian gaji selama masa cuti yang dibebankan kepada perusahaan, akan berakibat perusahaan mengubah kebijakannya. Sesuai prinsip ekonomi kapitalis tentu perusahaan tidak mau dirugikan. Mereka akan lebih selektif menerima pekerja perempuan. Atau membuat syarat tidak boleh menikah atau mempunyai anak dulu selama waktu tertentu. Hal ini tentu akan menimbulkan diskriminasi bagi pekerja perempuan.
Dunia kerja juga rentan berbagai tindakan kemaksiatan. Campur baur perempuan dan laki-laki rentan menimbulkan penyakit sosial. Ketahanan keluarga menjadi taruhannya.
RUU KIA ini menjadi bukti bahwa aturan dalam sistem kapitalis tidak akan pernah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat termasuk ibu dan anak. Solusi yang ditawarkan sifatnya tambal sulam.
Sementara jika merujuk kepada solusi Islam insya Allah kesejahteraan itu bukan sesuatu yang mustahil. Islam telah menetapkan aturan yang jelas dengan menjaga peran stategis perempuan sebagai ibu, dan pengatur rumah tangga.
Islam membolehkan perempuan bekerja selama tidak melalaikan kewajiban utamanya. Namun, bukan sebagai penanggung nafkah dan penyangga pilar ekonomi negara.
Islam dengan aturannya yang sempurna akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak serta membawa keberkahan untuk semuanya karena Islam adalah rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam bishowab.[]
Comment