RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dunia gempar. Satu virus misterius merenggut tawa bahkan nyawa. Berawal dari satu daerah di Cina, kini telah menyebar hingga ke 26 negara. Situs alodokter.com menyebutkan Virus 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari Coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan pada akhir Desember 201 dan mampu menyebar dengan cepat.
Bahkan virus ini tak segan mengakhiri kehidupan dokter muda dari Wuhan bernama Li Wenliang. Diketahui Li adalah orang yang pertama kali memperingatkan ancaman virus Corona. Sebelumnya, Li, yang berusia 34 tahun, mengatakan kepada sekelompok dokter di media sosial Cina dan grup WeChat bahwa tujuh kasus mirip Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) telah dikonfirmasi terkait dengan pasar makanan laut di Wuhan, yang diyakini sebagai sumber virus. Namun sayang Li malah dituduh menyebarkan hoaks.
Beberapa hari sebelum Li meninggal, New York Times sempat melakukan wawancara. Li mengaku dirinya tertular ketika pasien yang dia kontak dengan keluarganya terinfeksi. (Tempo.co, 9/2/2020)
Pada Minggu (9/2) di Cina terjadi lonjakkan jumlah korban akibat wabah Virus Corona menjadi 803 orang. Dikutip dari AFP, lonjakan tersebut terjadi setelah Provinsi Hubei melaporkan 81 kematian baru. Dalam laporan hariannya, Komisi Kesehatan Hubei juga mengonfirmasi 2.147 kasus baru di pusat provinsi, tempat wabah muncul. Kini, lebih dari 36.690 kasus Corona dikonfirmasi di seluruh Cina. (cnnindonesia.com, 9/2/2020)
Lebih dari sepekan yang lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis (30/1), telah menetapkan wabah virus corona sebagai kondisi gawat darurat global. Dilansir oleh cnnindonesia, Pemerintah Singapura, meningkatkan level menjadi oranye setelah ada warga yang dinyatakan positif virus Corona, padahal tidak memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok.
Sedangkan di Perancis totalnya ada 11 orang terpapar virus Corona. Virus diduga berasal dari seorang warga berkebangsaan Inggris, yang menginap Contamines-Montjoie, dekat Mont Blanc di Pegunungan Alpen usai mengunjung Singapura.
Lantas bagaimana dengan Indramayu, sebagai salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat, Indonesia? Tentu kabar tentang Corona sudah santer tersiar, bahkan sempat viral. Isu mengenai pasien Corona di Kabupaten Indramayu beredar di media sosial maupun pesan di grup WhatsApp.
Dari informasi yang dihimpun, tersebar lembaran surat rujukan dokter ke RSUD Indramayu lantaran pasien J terinfeksi Corona dan dirawat di ruang isolasi.
Namun, Kepala Dinas Kesehatan Indramayu, Deden Bonni Koswara memastikan informasi warganya yang terkena virus corona tersebut adalah tidak benar.
Menurutnya, berdasarkan hasil diagnosa dokter spesialis paru, pasien itu menderita TBC Sequelae atau TBC Paru dengan infeksi sekunder, yakni bronchopneumonia. (Liputan6.com, 31/1/2020)
Meski demikian, tribuncirebon.com mengabarkan, bahwa RSUD Indramayu menyatakan siap menampung jikalau terdapat pasien yang terinfeksi virus corona. RSUD Indramayu sendiri telah ditunjuk sebagai salah satu rumah sakit rujukan penanganan pasien penderita virus corona oleh Kementerian Kesehatan RI.
Disamping itu, Dinas Kesehatan Indramayu, dikabarkan telah menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi dan mencegah wabah Virus Corona. Juga menginstruksikan kepada seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Indramayu untuk memantau gejala-gejala virus corona.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu mengatakan bahwa langkah antisipasi yang terpenting adalah kesigapan masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat. (Min.co.id, 6/2/2020)
Namun seakan jauh panggang dari api. Himpitan ekonomi dan mahalnya bahan makanan apalagi yang berkualitas tinggi juga sulitnya mencari lapangan kerjaan, menghancurkan cita untuk menghadirkan hidangan penuh gizi di meja makan. Standar hidup sehat merosot, ketika perhatian masyarakat lebih tersedot pada paradigma berpikir, “besok bisa makan apa?”.
Budaya mencuci tangan tergilas, kuku jemari pun tak sempat dipotong. Waktu tersita untuk menyambung napas. Tidak aneh jika hal ini berimbas pada imunitas warga. Mudah terserang penyakit, menjadi lumrah.
Selanjutnya, bulu roma meremang saat membayangkan jumlah ruang isolasi yang tersedia. Benarkah dikatakan sudah siap, mengingat jumlah warga Indramayu yang tidak sedikit.
Satu ruang isolasi untuk “peluang” satu kabupaten? Ditambah lagi soal kelengkapan sarana dan prasarana termasuk bagi tenaga medis seperti dokter dan para perawat. Cukupkah ketersediaan alat pelindung diri (APD), masker, dsb.
Belum lagi berbicara pembiayaan jika ada pasien virus Corona. Mampukah ditanggung mandiri? Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat yang baru Berli Hamdani Gelung Sakti mengatakan pemerintah tak membiayai pasien yang dinyatakan positif mengidap Virus Corona. Namun pasien yang masih diduga atau suspect virus Corona, bisa dibiayai oleh BPJS Kesehatan. (tempo.co, 4/2/2020)
Untuk itulah Islam hadir menghempaskan kebuntuan. Alternatif gagasannya solutif, bukan hanya realistis tapi konfrehensif. Menyelesaikan masalah hingga ke akarnya, tak bersisa.
Sejarah mencatat, saat terjadi wabah Kusta, Rasullulah Saw menerapkan kebijakan karantina terhadap penderita. “Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta.” (HR al-Bukhari). Lalu Rasul Saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah.
Ada pula larangan pergi dari tempat wabah, juga larangan mendatanginya. “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari)
Kebijakan tegas tak ragu diambil. Tidak akan diperbolehkan bagi warga untuk keluar masuk daerah wabah. Rasulullah Saw., memerintahkan mengkarantina para penderitanya di tempat khusus. Jauh dari pemukiman penduduk.
Penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan tempat pengobatan ketika dinyatakan sudah sembuh total.
Masalah pembiayaan diserahkan seluruhnya kepada baitul mal (kas negara) berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Meski demikian penanganan pasien tidak setengah-setengah karena gratis.
Ini disebabkan kesadaran akan tugas pemimpin dalam Islam yakni sebagai ra’in (pengurus dan penanggung jawab keberlangsungan hidup rakyat) juga sebagi junnah (pelindung) baik dari para musuh ataupun serangan wabah.
Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku “al-Qishshah al-Thibbiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah” (2009: 77-82) menyebutkan Rumah Sakit Islam pertama kali dibangun sejak abad pertama Hijriah di masa Kekhilafaan Umawiyah. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Lembaga ini menangani pelayanan orang yang sakit kusta.
Selanjutnya Rumah Sakit menjamur, dan pada gilirannya bukan saja menjadi tempat untuk melayani orang sakit tapi juga menjadi semacam universitas kedokteran dalam istilah sekarang dan dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi berbagai referensi medis. Kontribusi ini terhitung fantastis karena rumah sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (tepatnya di Paris), baru sembilan abad kemudian.
Keseriusan seperti ini hanya nampak dalam sistem Islam. Berbagai wabah mampu ditangani dengan cepat dan tepat. Ditambah lagi budaya hidup bersih menjadi prinsip sehari-hari. Dan hal ini menjadi wajar, karena Islam mengajarkan kebersihan menjadi bagian dari iman seseorang.
Makanan yang beredar terpastikan, baik kehalalannya juga standar thoyyib (baik bagi tubuh). Binatang yang haram dimakan tidak akan diperjualbelikan secara bebas apalagi dijadikan ajang prestise.
Serangkaian alternatif Islami ini, mampu menghentikan teror Corona. Jangankan Indramayu, seluruh penjuru dunia pun mampu terbebas dari teror “pelahap maut”. Inilah arti sebaran rahmat atas pemberlakuan risalah Islam. Rindukah kita kepadanya? Wallâhu a’lam bish-shawab.[]
*Komunitas Revowriter Indramayu
Comment