Sherly Agustina M.Ag*: Pakaian Muslimah Di Dalam Islam

Opini1184 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Firman Allah, “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah: 2)

Beredar opini tentang tidak wajib memakai jilbab. Dilansir oleh Viva.com, pandangan Sinta Nuriyah, istri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menuai kontroversi terkait Muslimah tak harus memakai jilbab. Dia menyampaikan pernyataan itu saat acara bersama Deddy Cobuzier yang diunggah ke YouTube pada Rabu, 15 Januari 2020.

Selain dia, putri bungsunya juga ikut, yaitu Inayah Wulandari Wahid. Sinta Nuriyah menceritakan tentang mendiang suaminya. Menurutnya, jika Gus Dur belum meninggal dunia, pasti beliau akan bilang bahwa Muslimah tidak diharuskan memakai hijab. (17/01/20).

Pernyataan Istri Gus Dur Sinta Nuriyah Wahid yang menyebutkan wanita muslim tidak diwajibkan untuk berjilbab dan berhijb menuai kontroversi.

Pernyataan yang disampaikan Sinta Wahid dalam talk show bersama Deddy Corbuzier itu dinilai sebagian umat muslim melenceng dari ajaran agama Islam. Beragam pendapat kontra hingga tudingan pun disampaikan masyarakat lewat media sosial. Terkait hal tersebut, putri Sinta Wahid, Alissa Wahid angkat bicara.

Lewat akun twitternya, @AlissaWahid; pada Selasa (21/1/2020), Alissa menegaskan perdebatan tentang jilbab telah ada sejak lama. Hanya saja Alissa mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak menghakimi ataupun memaki ibunya apabila berbeda pendapat.

“Rame soal jilbab ya? Bagus dong ada perdebatan soal ini. Perdebatan pandangan itu baik. Yang penting tidak pakai maki-maki atau menghakimi.” Sebab menghakimi orang lain shalih/tidak karena beda pandangan itulah yang lebih bermasalah daripada pandangan yang berbed-beda itu sendiri. Alissa pun mengingatkan perbedaan pendapat senyatanya sangat baik dalam mendalami suatu permasalahan.

Terlebih perdebatan tentang jilbab yang ditegaskan tidak wajib dikenakan seorang muslimah dipicu oleh pernyataan ibu kandungnya. (Wartakota Tribunnews, 21/01/20)

Berbeda pendapat itu boleh tapi dalam hal yang dzanni (tidak qath’i) dan cabang (furu’iyyah). Dalil tentang perintah menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan Khimar adalah dalil yang qath’i, ayat muhkamat yang jelas maknanya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir.

Di antara para mufassir saja yang memiliki keahlian dan kapasitas sebagai mufassir tidak mempermasalahkannya. Pembahasan itu sejak dari dulu selesai tak ada perbedaan dan perdebatan.

Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Al-Quran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan konsisi).

Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Quran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Quran itu tampak jelas.

Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.

Karena Al-Quran adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam As-Sunnah (Al-Hadits).

Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Al-Quran diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya;

“…Dan Kami turunkan az-zikr (Al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan (isi kandungan Al-Quran).” [an-Nahl: 44]

Dengan kata lain orang yang ingin menafsirkan Al-Quran harus menguasai As-Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash (teks) As-Sunnah, memahami setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya, bukan hanya sekedar hafal susunan kalimatnya.

Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang wajib kita ikuti untuk dapat menafsirkan Al-Quran. Seperti mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam Al-Quran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah.

Kemudian kita juga harus mengetahui berbagai ilmu yang mendukung metode tafsir seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab (gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainya.

Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Al-Quran yang benar-benar baik dan bisa dipertanggungjawabkan.

Produk tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Sehingga Al-Quran tetap dapat diterapkan di setiap tempat dan zaman (fi kulli makan wa zaman) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qoth’i dalam Al-Quran.

Seiring dengan gencarnya arus gerakan orientalis dan musuh-musuh Islam dalam selimut untuk mengguncang tatanan ajaran Islam, maka metode tafsir Al-Quran ini mulai dikritisi dan dicitrakan buruk.

Misalkan pencitraan terhadap orang yang tekstual dalam memahami Al-Quran adalah kolot, tradisionalis, dan statis. Atau dengan mengatakan bahwa penafsiran Al-Quran yang ada ini masih relatif kebenaranya. Sehingga masih memungkin penafsiran-penafsiran yang lebih bebas dari itu.

Dengan adanya anggapan semacam itu, pada akhirnya mereka seakan mengajukan suatu metode lain untuk menafsirkan Al-Quran. Metode yang mereka ajukan tersebut adalah metode hermeneutika, suatu metode yang biasanya digunakan untuk menafsirkan Bibel.

Beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Bandung, UIN Yogyakarta, dan sebagainya, kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di Jurusan Tafsir Hasits.

Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi/tesis dengan menggunakan metode hermeneutika, dan bukan dengan ilmu tafsir klasik. Sungguh sangat ironis memang, ketika produk ilmu dari khazanah kita sendiri diabaikan dan produk orang lain diagung-agungkan.

Sejatinya, istilah hermeneutika ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang terkenal dengan nama Hermes. Ia bertugas sebagai dewa yang menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.

Dari tradisi Yunani ini, akhirnya hermeneutika berkembang menjadi metodologi penafsiran Bibel, yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum.

Bibel yang sifatnya sebagai “teks manusiawi” sangat memungkinkan menerima berbagai metode penafsiran hermeneutika, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah.

Ini tentunya sangat berbeda dengan sifat Al-Quran yang otentik dan final, sehingga Islam memang bukan bagian dari dinamika sejarah. Islam telah sempurna dari awal. Dan Islam tidak berubah sejalan dengan perkembangan sejarah.

Jika ketidakcocokan ini dipaksa untuk diterapkan, maka yang terjadi adalah penyelewengan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Jika hermeneutika diterapkan dalam tafsir Al-Quran, maka yang secara otomatis Al-Quran akan ditempatkan sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), tidak lagi sebagai wahyu suci yang mempunyai kesakralan.

Produk yang dihasilkan dari hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang felatif, kontekstual, temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada ada yang pasti.

Contohnya, hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi karena hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan zaman, maka harus diubah.

Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu yang halal.

Contoh lainnya adalah seperti yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Mengenakan hijab dan jilbab tidak wajib. Karena jilbab adalah budaya Arab bukan budaya Indonesia.

Padahal firman Allah Swt tentang pakaian muslimah di dalam Al Qur’an jelas, dalil tentang Khimar misalnya di dalam surat An-Nuur: 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (Q.S. An Nuur: 31)

Penjelasan di dalam tafsir Ibnu Katsir, ini adalah perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik.

Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, “Alangkah buruknya pakaian ini.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ka’b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa’id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai pakaian yang tipis (cekak) Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya bersabda:

“يَا أَسْمَاءُ، إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا” وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Hai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini. Nabi Saw. bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya.”

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya ” (An-Nur: 31)
Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani’.

Sa’id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut yang tampak.

Khimar dalam ayat ini yakni kain kerudung yang panjang agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita Jahiliah.

Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini, bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun.

Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt.

Adapun dalil tentang jilbab di dalam Al Qur’an surat Al Ahzab: 59

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman, khususnya istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya —mengingat kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah Saw.— hendaknyalah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan kaum wanita Jahiliah dan budak-budak wanita.

Jilbab artinya kain yang dipakai di atas kerudung, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Ata Al-Khurrasani serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dan kalau sekarang sama kedudukannya dengan kain sarung. Al-Jauhari mengatakan bahwa jilbab adalah kain penutup.

Menutupi seluruh tubuh menunjukkan bahwa jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh. Digunakan ketika hendak ke luar rumah. Pengertian jilbab karena diambil dari bahasa Arab maka dikembalikan makna dan artinya sesuai dengan penggunaan orang Arab. Dan mengenakan jilbab dan khimar bukan karena ada ‘illat.

Karena perkara ibadah, makanan dan pakaian tidak boleh dicari ‘illat ya g nantinya akan berbahaya dalam pelaksanaannya.

Adapun di akhir ayat ada kalimat: “supaya mereka mudah dikenal dan tidak diganggu” adalah sebuah hikmah dari pelaksanan terhadap syariat. Dan hikmah ini hanya Allah yang tahu, adakalanya Allah memberitahukan di dalam Al Qur’an seperti di dalam surat ini, ada kalanya tidak. Maka manusia berusaha mencari sendiri. Tugas umat Islam ketika mendengar ayat-ayatNya adalah sami’na wa atho’na.

Banyak dampak negatif dari penerapan hermeneutika pada tafsir Al-Quran. Jika metodologi ini dibiarkan begitu saja menjamur di kalangan cendikiawan umat Islam khususnya pada Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, maka yang terjadi adalah pendekonstruksian ajaran-ajaran Islam secara besar-besaran.

Akhirnya lulusan Perguruan Tinggi Islam bukannya menjadi ulama di masyarakat, melainkan malah menjadi orang yang nomor satu mengkritisi khazanah keislaman.

Tentunya kita tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Kita harus berusaha melestarikan dan mengembangkan khazanah keislaman yang sudah dibangun kokoh oleh para pendahulu kita. Namun perlu diingat, melestarikan bukan berarti statis, dan mengembangkan bukan berarti liberal. Semuanya ada batasan dan koridornya. Dan Islam, sangat indah mengaturnya. [www.hidayatullah.com]

Penggunaan Khimar dan jilbab ini wajib sebagai pakaian muslimah di dalam Islam. Penjelasan-penjelasannya sudah jelas. Tanpa harus menggunakan tafsir hermeuneutik.

Jika dengan menggunakan tafsir heurmeneutik malah akan bertentangan dengan para mufassir kredibel terdahulu dan menjauhkan umat Islam dari syariahNya, untuk apa? Allahu A’lam bi Ash Shawab.[]

*Penulis adalah anggota Revowriter Cilegon

Comment