Penulis : Cut Intan Sari | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Imam (Khalifah) adalah pemelihara, dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Cermin majunya sebuah negara dapat dilihat – salah satunya dari kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Negara bertanggung- jawab sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang ada dalam naungan dan tanggung jawabnya.
Sayangnya, negeri ini tidak pernah lepas dari garis kemiskinan. Ditambah lagi, tingginya angka pengangguran akibat minimnya lapangan kerja memperburuk keadaan. Masyarakat kelas menengah kini pun mulai tergerus, terancam jatuh ke jurang kemiskinan. Namun, pemerintah kerap berdalih bahwa kemiskinan merupakan persoalan global akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Bagi pemerintah persoalan kemiskinan hanya merupakan angka yang dapat diutak atik sesuai kebutuhan dan hal itu dapat dilihat dari perbedaan yang signifikan dari perhitungan standard angka kemiskinan antara nasional dan dunia.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widya Santi,D dilansir dari tirto.id, (06/05/25), Bank Dunia menggunakan hitungan garis kemiskinan sesuai dengan dolar Amerika Serikat (AS) PPP atau Purchasing Power Parity atau metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara.
Sedangkan BPS mengukur tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) yang termasuk di dalamnya komponen makanan yang dihitung sesuai dengan pengeluaran minimum setiap hari untuk kebutuhan dasar makanan yang dikonsumsi dan komponen non makanan mencakup kebutuhan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Perbedaan perhitungan secara nasional dan internasional menyebabkan seseorang dapat dikatakan tidak miskin secara nasional tetapi mengalami kemiskinan yang ekstrem secara global. Dengan kenyataan ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, bagaimana refleksi data yang terjadi di lapangan saat ini.
Karena banyak warga yang tergolong tidak miskin secara data, tetapi masih menerima bantuan sosial dari pemerintah. Mereka bekerja sendiri tanpa jaminan penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Dengan kondisi ini bisa disimpulkan rakyat dipaksa berdiri sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya tanpa upaya maksimal oleh pemerintah.
Ketimpangan ekonomi pun semakin lebar antara yang kaya dan miskin. Si kaya akan semakin kaya dan mereka bebas mengkomersialisasi sektor sektor vital seperti sekolah, rumah sakit, dan juga perumahan, disebabkan mereka memiliki modal yang besar untuk memuluskan tujuannya.
Pemerintah mengklaim telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan data angka dan menurunkan standart yang sangat rendah untuk kebutuhan kehidupan sehari hari pada setiap warganya.
Kemiskinan yang saat ini terjadi bisa dikatakan sebagai kemiskinan struktural yang tidak bisa dikalkulasi hanya dari pendapatan saja. Dalam hal ini pemerintah dituntut agar benar benar serius melakukan upaya untuk mengurangi kemiskinan.
Pemerintah tidak cukup hanya memberikan solusi tambal sulam seperti memberikan bansos. Cara ini tidak akan menyentuh akar persoalan yang sejatinya disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini memberikan karpet merah bagi para investor asing maupun lokal yang mempunyai modal besar.
Para investor ini akan mengambil alih pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sektor sektor vital lain untuk meraup keuntungan pribadi sedangkan negara hanya mendapat bagian kecil saja dari keuntungannya. Rakyat di bawah garis menengah ke bawah dipaksa untuk membayar semua fasilitas-fasilitas tersebut.
Negara tidak mengambil peran sebagai raa’in atau pengurus rakyat. Negara hanya menjadi regulator yang lebih melindungi kepentingan para pemilik modal. Sistem batil inilah yang banyak menyengsarakan rakyat.
Bukankah negeri ini dikenal dengan istilah ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’? Negeri yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah, subur, dan makmur? Seharusnya seluruh penduduk di dalamnya merasakan hasil kekayaan alamnya, tidak hanya bagi segelintir orang saja. Sistem kapitalisme jelas telah menyengsarakan rakyatnya. Masihkah kita percaya dan bertahan dengan sistem yang batil ini?
Mari kita merujuk dengan sistem yang diadopsi Islam. Dalam Islam ada sistem ekonomi yang mampu menyelesaikan persoalan secara menyeluruh dan sistemik. Setiap persoalan yang terjadi diberikan solusi tanpa memandang agama, ras, warna kulit, kaya atau miskin.
Islam mempunyai standard dalam menentukan kemiskinan dan kefakiran dalam hal untuk memenuhi kebutuhan dasar. Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sedangkan miskin, yaitu orang yang memiliki harta atau penghasilan, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, atau memiliki kebutuhan yang lebih besar daripada penghasilannya.
Islam bertanggung jawab terhadap kebutuhan setiap individu. Bagaimana cara Islam mengatasi problematika kemiskinan ini? Islam mengelola semua SDA yang ada dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Islam juga membangun infrastruktur yang bisa dinikmati oleh masyarakat secara gratis. Kalaupun harus membayar, rakyat hanya dikenakan biaya produksi saja.
Islam juga membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi lelaki dan memberikan pelatihan ketrampilan bagi yang tidak mempunyai skill dalam bekerja – karena merekalah yang bertanggung- jawab terhadap kebutuhan pokok keluarganya. Bagi yang cacat akan diberikan modal usaha tanpa bunga ribawi.
Sistem ekonomi Islam juga memberikan langsung pelayanan gratis untuk kesehatan, pendidikan, dan keamanan sehingga rakyat tidak lagi merasa was was untuk kebutuhan urgen ini.
Dari semua kemudahan dan kelayakan hidup yang diberikan oleh sistem ekonomi Islam, masihkah kita meragukannya? Apakah kita tidak mau hidup makmur, subur, dan mendapat ketenangan dalam menjalankan kehidupan dan ibadah kita terhadap Allah SWT?
Masihkah kita mempertahankan sistem kapitalisme yang jelas jelas menyengsarakan dan tidak memberikan kenyamanan dan keamanan bagi kelayakan hidup kita?
Hanya ekonomi Islam, satu satunya yang mengatur semua kepemilikan. Milik umum, milik negara, dan milik pribadi diatur sesuai syariat Islam. Kemiskinan yang melanda dunia termasuk negeri ini, akan teratasi tanpa melihat perbedaan agama, muslim maupun nonmuslim.
Tidakkah kita merindukan sebuah sistem yang dapat memberikan Dan menjamin kesejahteraan dan kedamaian bagi kehidupan kita? Wallahu a’lam bishawab.[]









Comment