Siti Komariah*: Menyoal Pernikahan Dini

Opini795 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Baubau menilai, pemicu utama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah perkawinan di usia dini, karena ketidak dewasaan membangun rumah tangga.

Untuk itu, DP3A Baubau melakukan pencegahan dengan mengadakan sosialisasi di sekolah-sekolah. Tujuannya guna meminimalisir tindak kekerasan anak dan perempuan, (baubaupost.com, 2/7/2020).

“Kita khususnya pencegahan perkawinan anak usai dini, karena di situ timbulnya KDRT, akibat mereka tidak siap membangun rumah tangga,” kata Kepala DP3A Baubau Wa Ode Soraya.

Sosialisasi dampak pernikahan dini sudah dilakukan DP3A sejak tahun lalu, bekerja sama dengan Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Baubau.

Melalui sosialisasi tersebut, lanjut Wa Ode Soraya, DP3A Baubau, para siswa diberikan edukasi akan dampak penikahan dini. Sehingga mereka dapat berfikir panjang sebelum memutuskan untuk menikah.

Pernikahan dini ini kadang terjadi akibat beberapa faktor, salah satunya kebebasan berperilaku sehingga para remaja terjebak pergaulan bebas. Pergaulan remaja yang kebablasan ini menyebabkan hamil di luar nikah, sementara mereka masih sekolah. Solusi praktis buat mereka adalah melakukan pernikahan dini.

Berdasarkan data, pernikahan dini menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya KDRT. Karena angka KDRT di lingkungan masyarakat terjadi pada anak-anak yang menikah muda.

Namun hal itu juga tidak bisa dijadikan sebagai dasar bahwa pernikahan dini pemicu utama KDRT. Dimana anak diusia muda yang melakukan pernikahan dianggap belum siap untuk membangun sebuah rumah tangga. Mereka belum mengetahui hak dan kewajiban sebagai suami istri.

Tetapi kita tak boleh menutup mata bahwa di sekitara kita, KDRT  terjadi bukan saja terhadap pasangan muda namun juga terjadi pada padangan yang telah matang usia sekalipun.

Jika ditelisik, hal ini terjadi dikarenakan kurang kuatnya landasan keimanan mereka kepada Allah. Sehingga antara hak dan kewajiban pasangan seringkali dilalaikan atau bahkan tidak dilaksanakan.

Pernikahan hanya dijadikan pelampiasan sebuah dorongan syahwat dan hawa nafsu atas nama cinta tanpa didasarkan kepada ridho Ilahi.

Tak hanya itu, masalah ekonomi pun menjadi faktor lain sebagai pemicu timbulnya tindakan KDRT dslam krluarha di negeri ini. Karena kehidupan dalam keluarga membutuhkan biaya, sedangkan biaya kebutuhan pokok mahal, lapangan pekerjaan tak kunjung datang. Timbullah persoalan dalam keluarga akibat ekonomi yang tidak teecukupi.

Alhasil, banyak lelaki yang tidak mampu memberikan nafkah yang layak untuk kehidupan dan penghidupan keluarga. Isteri tidak sanggup bertahan dalam kondisi ini dan terjadilah percekcokan yang dibarengi  KDRT kemudian berakhir dengan perceraian.

Bila ditarik ke pangkal persoalan KDRT dan perceraian dalam sebuah rumah tangga  ini sesungguhnya berawal dari kaburnya nilai nilai dan paham kapitalis sekuler yang diimplementasikan oleh bangsa indonesia.

Sistem kapitalis sekuler melahirkan sikap individu dalam masyarakat yang hanya berorientasi kepada kebahagiaan yang disandarkan atas materi semata.

Disisi lain, sistem ini pun  negara  tidak memiliki peran aktif untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Negara berlepas tangan atas kewajibannya mengurusi urusan rakyat termasuk dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan kebutuhan pokok murah guna menunjang keberlangsungan ekonomi keluarga.

Negara gagal menyediakan iklim ekonomi yang mendukung terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Alhasil, rakyat sulit cari kerja, ekonomi membelit, stunting mendera, KDRT ikut menyertainya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah KDRT, pernikahan dini bukan  penyebab utama dan  ddijadikan sebagai kambing hitam.

Negara sesungguhnya ikut andil pula terhadap  problematika yang muncul baik dalam lingkup keluarga  maupun rakyat secara umum.

Berbeda halnya dalam  Islam yang bukan sekedar agama ritual melainkan sebuah ideologi yang memandang bahwa rakyat menjadi tangung jawab yang harus dia lindungi dan layani.

Pernikahan dini menurut Islam adalah pernikahan yang dilakukan orang yang belum baligh atau belum mendapat menstruasi pertama bagi seorang wanita.

Tetapi, sebagian ulama memperbolehkan pernikahan dini dengan dalil mengikuti sunnah Rasul. Sejarah mencatat bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad pada usia dini dan masih muda belia sedangkan Nabi Muhammad telah berusia 50-an.

Pernikahan bertujuan menyatukan dua lawan jenis yang memiliki rasa kasih sayang dan cinta untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Untuk itu, pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan bukan sebuah permainan belaka, atau jalan halal pemuas nafsu.

Islam menempatkan pernikahan pun sebagai penyempurna agama, yaitu setengah bagian dari dien (agama).

“Ketika seorang hamba menikah berarti dia telah menyempurnakan setengah dari agamanya maka bertakwalah kepada Allah pada setengah sisanya.” (HR. Baihaqi).

Dalam masalah KDRT, baik pernikahan dini maupun dewasa, Islam memiliki solusi.

Pertama, Islam senantiasa mendorong individu masyarakat bertakwa kepada Allah Swt.

Melahirkan generasi yang menyandarkan perbuatan mereka hanya kepada aturan Ilahi, dengan begitu maka segala tindak tanduk perbuatan mereka dilakukan demi mendapat ridho Allah Swt, termasuk saat mereka membangun rumah tangga.

Kedua, Islam menciptakan iklim ekonomi yang mampu mendukung terpenuhinya lapangan pekerjaan demi menunjang dan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu masyarakat.

Tak hanya itu, Islam pun memastikan bahwa bahan-bahan pokok dan layanan publik diberikan secara murah bahkan gratis. Alhasil, para suami mampu memberikan nafkah halal kepada para istri.

Ketiga, negara mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan secara gamblang dan melarang remaja-remaja berpacaran yang dapat memicu lahirnya pernikahan yang tidak diinginkan.

Dengan regulasi komprehensif dan sistemik  kasus KDRT dapat diberantas hingga ke akarnya.

Dalam kondisi seperti ini, seluruh rakyat dapat membangun rumah tangga mereka menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah warohmah. Wallahu A’alam Bisshawab.[]

Comment