Solusi Menenangkan Kegoncangan Psikologis Manusia

Opini709 Views

 

 

Oleh : Ustadzah Widya Amata, Founder RAI, Life Coach, Coach Daily Mindfulness, dan Trainer Pengembangan Diri

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam perspektif antropologi sebagaimana dijelaskan Quran Surah 70: 19-41, manusia memiliki kejiwaan yang sangat labil, lemah, dan mudah sekali goyah.

Manusia sangat mudah bersikap congkak ketika memperoleh sedikit kenikmatan dan sangat mudah mengeluh bahkan berputus asa ketika tertimpa sedikit bencana.

Seringkali, kenikmatan yang seharusnya menjadi pembuka pintu kesadaran seseorang untuk bersyukur kepada Allah, justru Sebaliknya membuat banyak manusia congkak, merasa diri paling hebat, merendahkan orang lain, bahkan sering melupakan peran Allah dalam proses meraih kenikmatan tersebut.

Sering pula kita temui, bencana yang seharusnya membuka pintu kesadaran seseorang mengingat dan kembali kepada Allah, justru membuatnya berkeluh kesah bahkan berputus asa dari rahmat Allah.

Faktor utama yang menimbulkan ketidakstabilan psikologis manusia tersebut dijelaskan

Dalam Al-Quran, Allah telah menjelaskan bahwa faktor utama yang menimbulkan ketidakstabilan psikologis manusia aadalah karena goyahnya keyakinan bahwa totalitas hidup dan apa yang dimilikinya adalah berpangkal dari Allah dan akan berpulang kepada Allah juga.

Keyakinan yang goyah ini disebabkan oleh kekuatan daya pikat dunia yang merasuk ke dalam jiwa seseorang sementara level keimanannya dalam kondisi lemah, tidak dibangun dengan proses yang tepat hingga menancap kuat dan mendalam sehingga tidak tergoyahkan.

Banyak di antara manusia beriman dengan jalan perasaan, keturunan, doktrinisasi, dan ikut-ikutan, bukan dengan jalan berpikir. Padahal Islam dengan tegas melarang sikap seperti itu dalam membangun sebuah keyakinan atau keimanan.

Perasaan, itu sifatnya mudah berubah, tidak tetap, dan terpengaruh oleh lingkungan. Perasaan seseorang juga tidak sama tentang banyak hal. Tentu saja, keyakinan yang prosesnya dibangun dengan perasaan akan menghasilkan keimanan yang rapuh dan rentan berubah seiring dinamika kehidupan seseorang.

Adapun membangun keyakinan atas dasar keturunan, Allah bahkan menggugah jiwa manusia dengan pertanyaan, apakah jika seandainya nenek moyangmu berada dalam kesalahan karena ketidaktahuan mereka, lalu kamu akan tetap mengikutinya juga?

Sungguh ini akan dijawab oleh orang-orang yang berakal dengan jawaban tidak. Bagaimana mungkin kita mengikuti kesalahan yang dilakukan karena kebodohan.

Lalu bagaimana dengan keimanan yang diperoleh dengan proses doktrinisasi? Keimanan yang dibangun dengan cara doktrinisasi ini juga keimanan yang rapuh. Karena secara fitrah dan alamiah, manusia itu memiliki akal yang membuatnya mampu membandingkan satu argumen dengan argumen lainnya dan mencoba untuk memahami kesesuaiannya dengan fakta-fakta yang ditemui.

Sistem doktrinisasi seringkali tertutup dengan berbagai pandangan terbarukan dan sering dijumpai ketidaksesuaian dengan fakta. Iman yang dibangun atas dasar doktrinisasi sangat mudah runtuh bila dibenturkan dengan pemahaman yang jauh lebih kuat.

Apalagi keimanan yang dibangun karena ikut-ikutan. Tentu ini adalah keimanan yang mudah sekali berubah-rubah mengikuti manfaat yang diperoleh dan mengikuti tren yang sedang berkembang.

Oleh karena itu, jika kita ingin memiliki keimanan yang kuat, kokoh dan tak tergoyahkan, maka kita wajib membangunnya dengan jalan berpikir. Berpikir bukan tentang hal yang sepele namun berpikir tentang hal yang paling mendasar dan menyeluruh dalam kehidupan. Semua itu dipikirkan dengan pemikiran yang mendalam dan cemerlang, bukan pemikiran dangkal yang didapat dengan serampangan.

Tahukah kamu apa hal mendasar dan menyeluruh tentang kehidupan ini?

Seorang ulama merangkum hal mendasar dan menyeluruh dalam kehidupan ini menjadi tiga kelompok yaitu kehidupan, manusia dan alam semesta. Nah coba difikirkan apakah pengelompokan ini sudah mewakili semua yang ada di dalam kehidupan? Jika belum, silakan informasikan pandangan Anda kepada saya.

Dari tiga pengelompokan fakta menyeluruh dalam kehidupan tersebut, maka dibuat pertanyaan mendasar tentang ketiganya yaitu darimanakah manusia diciptakan, untuk apakah manusia diciptakan dan akan kemanakah manusia setelah kehidupan ini.

Jawaban yang tuntas yang lahir dari proses berfikir mendalam dan cemerlang tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuat seseorang memiliki pijakan ideologi yang kuat dalam dirinya untuk melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupannya. Akan lahir dengannya pribadi yang unik dan kokoh, tak tergoyahkan. Terlepas dari jawabannya benar atau salah. Ia akan bangkit dan penuh percaya diri untuk mencapai impiannya.

Bagi yang tidak tuntas menjawab pertanyaan mendasar dan menyeluruh ini, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang labil, ikut-ikutan, penuh keraguan dan kebingungan, bahkan pribadinya menjadi pribadi yang kacau. Orang-orang inilah yang sering mangalami kegoncangan psikologis.

Kegoncangan psikologis dalam diri manusia menyebabkan manusia itu terlalu bersuka cita hingga melampaui batas pada saat ia meraih keberhasilan dan sangat berduka cita hingga jatuh kepada keputusasaan pada saat tertimpa kegagalan dan bencana.

Kegoncangan psikologis ini dapat menjadi penyebab timbulnya perilaku destruktif yang merugikan diri dan orang lain. Peristiwa tragis dalam sejarah kehidupan umat manusia menurut Al Quran dari dahulu hingga sekarang adalah berpangkal dari faktor ini.

Untuk membantu manusia kembali menguatkan keyakinan dan menstabilkan kondisi psikologisnya yang terganggu oleh goncangan dan benturan siklus kehidupan, maka peringatan dan nasehat memegang peranan sangat penting dalam hal ini.

Urgensi kebutuhan manusia terhadap peringatan dan nasehat tampak sekali dari keseriusan Allah SWT yang selalu memberi peringatan kepada manusia agar senantiasa menyadari tentang hakikat kehidupan di dunia, kesementaraan dunia, dan kehidupan yang abadi di akhirat nanti.

Urgensitas peringatan juga dapat terlihat dengan bagaimana Allah menyebut kalamNya Al Quran sebagai mau’izhah dan dzikir. Jika kita perhatikan, memang keseluruhan isi Al-Quran itu memuat peringatan.

Demikian juga kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW. disebut sebagai “pemberi peringatan”.  Ini mengisyaratkan bahwa salah satu misi agama yang utama adalah memberikan peringatan kepada umat manusia dalam rangka menciptakan kondisi psikologis yang stabil dan seimbang.

Ini mengisyaratkan juga bahwa, tingkat keagamaan seseorang hampir identik dengan tingkat responsibilitasnya terhadap peringatan. Karena korelasi antara kesediaan seseorang untuk menerima peringatan dan nasehat erat sekali dengan intensitas dan kualitas amaliah serta stabilitas psikologisnya.

Bahkan dikatakan dalam sebuah hadits bahwa orang yang jiwanya sehat tidak akan bosan dengan dzikrullah. Orang yang berdzikir sebenarnya sedang berada dalam pengkondisian diri untuk terus mengingat berbagai peringatan dan nasehat dari Allah dan RasulNya dan efeknya adalah ketenangan jiwa. Setelah seseorang mengucapkan dzikir tertentu, maka seringkali hal itu dapat menjadi alat kontrol diri yang ampuh untuk mengaktifkan kesadaran diri.

Peringatan dan nasehat tidak hanya memainkan peran yang bersifat pengendalian namun juga memainkan peranan yang bersifat dinamis. Dalam arti bahwa peringatan dan nasehat berfungsi juga untuk membangun motivasi dan optimisme.

Dalam kehidupan atheis dan sekuleristik muncul banyak quotes yang seringkali menjadi pengingat yang ampuh untuk membangkitkan motivasi dan optimisme.

Selain melalui Al Quran, peringatan-peringatan Allah juga disampaikan melalui hadis Qudsi dan berbagai fenomena alam. Intinya sama saja, yang berbeda hanyalah kemasan bahasanya.

Ini dapat dipahami bahwa Allah hendak mentransformasikan peringatan-peringatan itu dengan menggunakan berbagai gaya, mengingat karakter dan ketidakmampuan manusia yang menjadi sasarannya sangat beragam.

Berbagai riset telah membuktikan bahwa setiap manusia itu mempunyai kepribadian yang unik. Tidak ada satupun manusia yang memiliki kepribadian yang persis sama, sebagaimana adanya fakta bahwa tidak ada satupun manusia yang punya sidik jari dan tulisan tangan yang persis sama. Allah Mahatahu akan keragaman makhluk ciptaanNya dan Mahatahu juga bagaimana cara menghadapinya.

Melalui hadits-hadits qudsi-Nya, Allah SWT menyampaikan peringatan-peringatanNya dengan wacana yang lebih lugas, mudah dicerna dan gaya bahasa yang sangat komunikatif.

Sehingga dengan semua itu, orang yang mungkin belum atau bahkan tidak dapat tersentuh hatinya secara langsung oleh Al Quran, akan dapat tersentuh melalui hadis qudsi-Nya.

Semua ulama mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah Kalam Allah yang memiliki gaya bahasa tingkat tinggi, terdapat ketinggian nilai sastra yang tidak dapat ditandingi oleh sastrawan manapun di muka bumi ini.

Walaupun seluruh sastrawan hebat berkumpul membuat satu ayat saja untuk menandingi level sastra Al Quran, hingga detik ini terbukti tidak ada yang mampu menandinginya, bahkan sampai hari kiamatpun Al Quran sudah menjamin tidak akan ada yang sanggup menandinginya. Oleh karena itu, ini adalah satu kemukjizatan Al-Quran hingga akhir zaman.

Sedangkan Hadits, ia disampaikan dengan gaya bahasa manusia yaitu Nabi Muhammad SAW. Gaya bahasanya lebih ringan, bahkan jika disandingkan dengan Al-Quran ibarat langit dan bumi, terlihat sekali perbedaan gaya bahasanya. Satu bahasa langit dan satu bahasa bumi.

Maka sering kita jumpai banyak sekali hadits palsu yang dibuat dan tersebarluas, karena begitu mudah gaya bahasanya ditiru, sedangkan Al Quran hingga akhir zaman tidak akan ada yang mampu memalsukannya.

Oleh karena itu, untuk mengatasi goncangan psikologis selain dengan melakukan penguatan dalam proses berkeyakinan maka saya sangat menyarankan untuk membaca buku-buku yang berisi hadis qudsi. Agar ruh kita mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga ia menjadi sehat dan fresh, mudah tersentuh dan kembali pada Tuhannya.

Selain itu, solusi lain yang saya tawarkan adalah carilah guru atau mentor yang dapat menguatkan keyakinan kita dan dapat memberi nutrisi pada jiwa kita sehingga visi misi kita di dunia ini terlaksana dan tercapai dengan baik.

Dengan begitu, kita bisa memiliki jiwa yang tenang karena berada di bawah naungan yang Mahakuasa, yang menciptakan kita dan semua yang ada di alam semesta, Maha Berkehendak lagi Maha Menepati Janji.

Ingatlah bahwa hanya jiwa-jiwa yang tenang saja yang akan memasuki surga-Nya. Kita diberi penglihatan dan pendengaran adalah agar kita di uji dengan itu, siapakah yang terbaik amalnya.

Semoga kita bisa mencapai ketenangan jiwa dan semoga kita berakhir dengan husnul khotimah. Semoga amal terbaik kita ada di penghujung usia kita. Maka teruslah berproses menjadi yang terbaik dari waktu ke waktu. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, bukan merugi apalagi celaka.[]

Comment