Stres yang Tidak Dikelola dengan Baik Menjadi Penyebab Bunuh Diri?

Opini242 Views

 

 

Penulis: Waryati | Pengamat Kebijakan Publik

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA—Kematian merupakan ketentuan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Namun terkadang kematian terjadi karena suatu faktor yang dibuat oleh manusia itu sendiri, seperti mati bunuh diri. Dengan berbagai alasan, bunuh diri dianggap menjadi pilihan terakhir atas persoalan yang tak mampu disolusi, sehingga bunuh diri menjadi kasus senyap dan tak pernah terpecahkan.

Kini kasus bunuh diri kembali terjadi di kalangan mahasiswa. Tercatat di Oktober ini ada empat kasus mahasiswa/i yang diduga bunuh diri. Kasus terakhir terjadi di daerah Tembalang, Semarang. Seorang mahasiswi dari Universitas DN ditemukan tewas di kamar indekostnya pada Rabu malam 11 Oktober 2023.

Sehari sebelumnya, laman tempo (14/10/2023) memberitakan kematian mahasiswi Universitas Negeri Semarang yang tergeletak di area pintu keluar parkir Mall Paragon Semarang. Dugaan sementara korban meninggal akibat bunuh diri dengan jatuh dari lantai 4 area parkir.

Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa tentu menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, perguruan tinggi yang seharusnya melahirkan intelektual muda penerus bangsa justru berjiwa lemah dan bermental rapuh.

Saat kesulitan hadir di kehidupannya mereka menyerah dan memilih mati sia-sia. Maka dari itu harus ditelusuri akar masalahnya. Apakah bunuh diri itu berhubungan dengan masalah internal korban semisal masalah pribadi, keluarga, kerabat, teman, atau justru berasal dari stres berlebih menghadapi perkuliahan yang semakin menguras otak.

Tak bisa dimungkiri bahwa kurikulum PT hari ini dirasa oleh mahasiswa begitu memberatkan. Sehingga timbul ketakutan-ketakutan pada diri mahasiswa mengenai apakah ia bisa menyelesaikan perkuliahan hingga tuntas ataukah tidak. Apakah ia akan memiliki nilai bagus atau justru sebaliknya.

Pun memikirkan pasca kuliah nanti bisa langsung bekerja atau malah menganggur. Selain ini, ada pula ketakutan-ketakutan terkait hasil nilai yang tidak memberikan kepuasan untuk orang tuanya, tersebab sebelumnya orang tua memberikan tuntutan tinggi. Hal-hal demikian berpotensi memicu stres yang mengakibatkan depresi.

Maka dalam hal ini pihak kampus harus menggali lebih dalam sebab persoalan bunuh diri serta teliti dan tepat menyolusi akar masalahnya. Sebagai langkah pertama, pihak kampus bisa melakukan edukasi mental terhadap mahasiswa melalui webinar.

Langkah ini sangat perlu dilakukan sebagai tindakan preventif terhadap kasus bunuh diri yang sering terjadi di kalangan mahasiswa. Tak kalah penting, pihak kampus juga harus membangun kerja sama dengan orang tua mahasiswa, masyarakat sekitar dan tentunya dengan pihak pemerintah guna menyolusi masalah ini.

Adapun menurut psikolog anak, Astrid W.E.N. mengungkapkan, gejala awal dari depresi yang berujung pada kecenderungan bunuh diri bermula dari pikiran individu. Ketika korban merasa dirinya buruk, apapun yang ada padanya menjadi buruk semua. Sehingga hal ini cenderung menjadi pemicu korban untuk mengakhiri hidup.

Lebih lanjut beliau memaparkan, stres memiliki dua jenis, yakni stres positif dan stres negatif. Pada pengidap stres positif, segala macam bentuk tekanan yang menimpa hidupnya ia jadikan tantangan. Sehingga di tingkat stres ini produktivitas individu tetap terjaga dengan baik.

Sebaliknya, individu yang mengalami stres negatif cenderung menganggap setiap tekanan adalah beban yang memberatkan sehingga ketika tidak mampu menghadapinya timbulah stres berlebih yang berujung depresi.

Untuk meminimalisir stres negatif yang mungkin tanpa disadari telah ada pada seseorang individu mahasiswa, hendaknya individu yang merasa dirinya bermasalah sesegera mungkin mencari pertolongan guna menyolusi setiap persoalan yang dihadapinya. Entah itu menyampaikan kepada sahabat, kepada seseorang yang dipercaya, atau bahkan menghubungi psikolog agar semua yang mengganjal pikiran dapat dengan cepat teratasi,  sehingga beban yang sebelumnya dirasa berat terangkat dengan cepat.

Selain upaya dari individu mencari sendiri solusi masalahnya, sangat penting juga membangun kepedulian antar sesama dengan membangun kepekaan terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar.

Jika melihat teman, tetangga atau siapa pun yang kita kenal memiliki perubahan sikap atau terkesan menjauh dari pergaulan sebelumnya, tanpa ragu kita dekati dan ajak mengobrol. Dengan demikian, siapa tahu ia akan terbuka dan menyampaikan perasaan yang menghimpitnya selama ini.

Sedikitnya langkah tersebut diharapkan dapat menolong orang-orang yang sedang dalam kesulitan atau mungkin sedang  mengalami stres tinggi supaya mengurai permasalahan yang dihadapinya.

Terlepas dari itu semua, Islam memiliki pandangan tersendiri mengenai kasus bunuh diri. Islam mengharamkan bunuh diri apapun alasannya. Yang berhak atas nyawa manusia hanyalah Allah Swt.

Begitu besarnya dosa bunuh diri sampai Allah mengatakan dalam Al-Quran Surah An Nisa ayat 29-30 yang atinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Sudah menjadi sunatullah, kehidupan manusia tentu tak mungkin lepas dari masalah. Seperti pernah mengalami kecewa, kegagalan atau kenyataan yang tak sesuai harapan. Kondisi ini akan menghantarkan kita pada situasi tidak nyaman, merasa sedih, cemas, ragu-ragu, bahkan bingung. Kondisi tersebut jika tidak disikapi dengan baik akan memicu stres berkelanjutan.

Oleh karena itu, mahasiswa, terlebih seorang muslim hendaknya memiliki pemikiran jernih dalam menyikapi semua permasalahan yang datang di hidupnya. Dengan menganggap stres adalah sebagai bentuk cobaan dari Allah untuk menguatkan iman hamba-Nya.

Dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 155 Allah Swt. berfirman, yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Dengan demikian, bagi orang beriman tidak boleh ketika beragam kesulitan datang dalam hidup mengartikannya sebagai sesuatu yang negatif. Pun penerimaan terhadap segala bentuk ujian tersebut hendaknya memunculkan sikap realistis pada individu beriman, sehingga tidak menjadikannya sebuah ketakutan dalam diri apalah lagi menganggapnya sebagai bentuk tekanan. Kesulitan harus dihadapi dan menjadikannya sebuah proses penempa diri untuk membentuk pribadi yang lebih kuat.

Berikut kiat-kiat menghindari stres perspektif Islam, di antaranya mengenal dan mendekat kepada Allah, salat, berdo’a, mendasari niat dengan ikhlas, bersyukur dan berserah diri, dan terakhir, bergaulah dengan orang-orang baik.

Ketika semua langkah ini ditempuh kemungkinan stres yang menimpa seseorang akan dapat diminimalisir sedari dini. Sebaliknya saat seseorag terlanjur stres pun, ia akan mampu mengelola stres dan mengubahnya menjadi hal positip.

Adapun negara sebagai penanggung jawab utama terhadap kesehatan mental rakyatnya, dalam kasus ini – mencari faktor penyebab stres sekaligus menyolusi persoalan yang menjadi pemicunya.

Kendati demikian, tanggung jawab negara tidak berhenti sampai di situ, dalam rangka mewujudkan situasi dan kondisi kondusif di tengah masyarakat, kepemimpinan Islam di segala level dengan powernya akan menciptakan suasana aman, nyaman dan sejahtera dengan memberikan berbagai kebutuhan dasar rakyat agar terpenuhi dengan baik. Serta menjadikan berbagai pelayanan dengan prinsip mudah dan cepat.

Hal penting lainnya, negara juga memastikan situasi keimanan rakyat agar selalu perpegang teguh terhadap tali agama Allah. Alhasil ketika segala macam kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, termasuk kebutuhan akan agama difasilitasi oleh negara, niscaya tingkat stres pada masyarakat akan berkurang, atau bisa jadi tidak terjadi sama sekali. Wallahu a’lam bishawab.[SP]

Comment