Tafsir Ulang Mandatory Spending Anggaran Pendidikan, Perlukah?

Opini100 Views

 

Penulis: Uci Riswahyu, S.Akun | Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dilansir dari rri.cp.id Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menyinggung kebiasaan memotong anggaran pendidikan. Menurutnya, jika kebiasaan seperti itu berlanjut maka pendidikan tidak akan semakin membaik dan anggaran tidak akan pernah cukup.

Hal itu disampaikan JK merespons usulan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkait anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang. Menurut menkeu, sebagaimana ditulis rri.co.id (9/9/2024), belanja wajib 20 persen seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara.

Komisi X DPR RI sepakat menolak usulan untuk mengkaji ulang dana wajib atau anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Huda sebagaimana ditulis merdeka.com (6/9/2024) mengatakan, DPR mengambil sikap tegas itu karena masih berjibaku untuk memperjuangkan pengelolaan dana wajib itu agar sepenuhnya dilakukan oleh Kemendikbudristek, sehingga sangat bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan oleh Komisi X.

Statement menteri keuangan yang mengatakan perlu tafsir ulang atas mandatory spending 20% anggaran pendidikan dalam APBN dengan dalih mengurangi beban APBN di tengah banyaknya problem soal layanan pendidikan adalah bukti lemahnya peran negara dalam upaya memenuhi hak rakyat mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Padahal negara memiliki kewajiban penuh memberi fasilitas pendidikan secara gratis kepada seluruh rakyat.

Hanya saja dalam sistem pendidikan kapitalis sekuler saat ini justru malah menjadikan pendidikan sebagai alat komersial bukan kewajiban yang harus ditunaikan.

Wajarlah, jika skema anggaran pendidikan sekarang masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan gratis/murah, adil dan merata. Pasalnya, sistem kapitalis saat ini hanya mengedepankan manfaat dari pada kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Kapitalisme lebih berorientasi profit daripada peningkatan SDM dan generasi bangsa.

Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme jauh dari paradigma riayah dan junnah, melainkan seperti penjual dan pembeli. Pendidikan diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi bukan menjadi tanggung jawab.

Berbeda dengan Islam, pendidikan adalah hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi penguasa dengan layanan terbaik. Bisa diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan didukung sistem-sistem lain agar tujuan pendidikan terwujud.

Hal tersebut telah terbukti pada saat Islam diterapkan secara kaffah di masa kejayaan islam dalam institusi negara. Dengan pendidikan Islam yang diterapkan saat itu mampu melahirkan generasi berilmu dan bertakwa. Wallahu ’alam.[]

Comment