Terjerat Pinjol, Mahasiswa Bunuh Junior

Berita, Opini318 Views

Penulis: Depi Fitriyani | Aktivis Kampus Jambi

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tren pinjaman online alias pinjol semakin meresahkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja pembiayaan pinjol terus meningkat dan kian tumbuh setiap tahunnya.

Baru-baru ini jagat media kembali diramaikan dengan pemberitaan yang memilukan hati, aktornya tidak lain adalah seorang intelektual dari kampus ternama di Indonesia. Mahasiswa Jurusan Sastra Rusia ini bernama Muhammad Naufal Zidan (19) tewas setelah ditikam berkali-kali oleh seniornya sendiri, yakni AAB (23). Mayat korban ditemukan terbungkus sampah di kolong tempat tidur kosannya.

A kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal pembunuhan berencana, bahkan ia terancam hukuman mati.

Dari pengakuan tersangka ini, ia mengaku tega membunuh juniornya sendiri karena terjerat pinjaman online alias pinjol. Ia berniat menguasai harta benda korban sehingga hutang pinjolnya tersebut bisa lunas.

A adalah satu di antara sekian banyak mahasiswa yang hidup dalam kebingungan, sehingga terjebak pada jeratan pinjol yang kian mengganas. Lantas mengapa fenomena pinjol terutama di kalangan mahasiswa kian meresahkan? Bukankah seharusnya mahasiswa sebagai seorang intelektual tidak mudah gegabah bertindak, apalagi tega menghabisi nyawa temannya sendiri yang tidak bersalah?

Kaum Intelektual Kian Sakit

Kasus pembunuhan oleh mahasiswa kampus nomor satu di Indonesia ini kian menambah panjang daftar kejahatan yang diperankan oleh mahasiswa di negeri ini. Kasus ini bukan yang pertama kali terjadi, sebelumnya kita juga dikagetkan dengan berita sejumlah mahasiswa salah satu universitas di Bogor terjerat pinjaman online (pinjol) untuk usaha penjualan online. Belum lama ini heboh ribuan mahasiswa baru alias para Maba sebuah Universitas Islam di Surakarta diminta mendaftar akun di aplikasi pinjaman online. Diduga Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) yang meminta mahasiswa baru untuk mendaftar akun karena telah menjalin kerjsama sponsorship dengan aplikasi pinjol.

Tentunya menjadi mahasiswa adalah dambaan bagi setiap orang yang sudah selesai menempuh pendidikan di lembaga sekolah. Kebanggaan memakai almamater kampus idamannya kini justru dihantui bayang-bayang kebingungan dan keresahan.

Bagaimana tidak, kampus sebagai tempat pencetak para pemikir yang bakal melahirkan bibit-bibit pemimpin penerus bangsa ini malah dihadapkan dengan berbagai probelematika yang semakin kompleks.

Perannya sebagai agen of changes kini bergeser sebagai agen of problem, dilumpuhkan oleh sistem kehidupan rusak yang setiap harinya hanya melahirkan generasi yang rusak pula.

Kehidupan dunia kampus semakin ironis di tengah antusiasnya pemerintah menerapkan kurikulum baru yakni Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang ekspetasinya akan memberikan pengalaman kehidupan kampus yang lebih baik, terutama untuk mahasiswa.

Benarkah demikian? Nyatanya mahasiswa sebagai kaum intelektual makin terpuruk dan terhimpit oleh sistem kehidupan saat ini. Mahasiswa kian dibebankan oleh beratnya pembiayaan kuliah dan beban hidup yang semakin besar.

Perubahan cover kurikulum yang selalu terjadi di negeri ini tidak mampu membentuk mahasiswa yang mempunyai cara berfikir yang benar.

Ketidaktahuan dan ketidakjelasan mahasiswa tentang jati dirinya menjadikan mereka hidup tanpa arah, hidup sesuka hati bahkan tujuan kuliah hanya berorientasi materi (tamat kuliah kerja, berakhir menjadi budak dunia industri).

Jika kita cermati bersama, penerapan Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan program “kampus merdeka” ini di mana kampus akan diarahkan untuk memiliki tujuan utama yakni mencetak pekerja sesuai dengan keinginan industri.

Maka dengan demikian, kampus yang sejatinya sebagai pencetak intelektual berubah fungsi sebagai pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Tidak ada lagi istilahnya “pengabdian pada masyarakat”, yang ada hanyalah pengabdian diri terhadap para kapitalis pemilik modal. Jika outputnya demikian, maka wajar kita menyaksikan mahasiswa saat ini jauh dari karakter yang baik. Bermain kripto apalagi dengan pinjol, gali lobang tutup lobang demi melunasinya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan diri meski dengan membunuh teman sendiri yang kemudian merampas harta bendanya.

Belum lagi dalam segi pergaulan, betapa banyak mahasiswa yang terjerat dalam pekerjaan prostitusi, mengambil jalan tengah untuk mendapatkan cuan karna beratnya beban ekonomi apalagi mereka yang berkuliah dikota-kota besar.

Maka mengapa fenomena pinjol kian menjerat mahasiswa?

Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pinjol menjadi solusi praktis yang ditempuh oleh mahasiswa. Pertama adalah faktor tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Bukan hanya menjerat mereka yang berstatus mahasiswa, namun jutaan rakyat Indonesia terjerat pinjaman online alias pinjol dalam jumlah besar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan layanan pinjol untuk kebutuhan mendesak, seperti biaya berobat saat sakit, biaya pendidikan anak, dan keperluan lainnya.

Sedangkan bagi mahasiswa pinjol jelas mampu menjadi solusi cepat tanggap untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti pembiayaan UKT yang kian melangit dan belum lagi biaya makan dan tempat tinggal bagi mereka yang merantau.

Miris, harusnya negara hadir untuk menyelesaikan urusan rakyatnya ini. Juga dalam hal pendidikan yang merupakan kebutuhan mendasar bagi tiap manusia. Namun kini seolah diabaikan oleh Negara yang menerapkan demokrasi kapitalis.

Kedua adalah gaya hidup. Mahasiswa yang terjerat pinjol bukan hanya mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan yang urgent baginya, melainkan tuntutan gaya hidup yang tinggi. Mindset hedonism sudah tidak menjadi hal yang tabu di kalangan mahasiswa. Memaksa hidup bermewah-mewahan bak sultan, rela mengeluarkan banyak uang hanya demi kepuasan diri seperti membeli tiket coldplay Black pink dengan pinjol.

Mahasiswa terlena dengan masa muda, terbuai dengan gelapnya dunia hingga menghabiskan waktu untuk hiburan fun, food dan fashion terus melekat pada mahasiswa saat ini.

Banyak yang sudah hancur di masa mudanya, dikarenakan arus liberalisasi yang semakin menjauhkan mahasiswa dari identitasnya sebagai seorang muslim. Wal hasil, kuliah hanya sebagai ajang pencarian gelar yang membuat mereka lupa bahwa tujuan hidup di dunia untuk menghamba kepada Allah.

Ketiga, mahasiswa saat ini tidak sadar bahwa mereka hidup dalam sistem kapitalis di mana mereka dibentuk dengan mindset “utang adalah solusi” dalam menyelesaikan problem kehidupan. Mahasiswa berfikiran bahwa hal pertama yang tebersit dipikirannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara berutang. Tidak peduli apakah itu utang yang halal atau haram, termasuk pula dengan mengambil pinjol sebagai solusinya.

Akhirnya bertambah komplekslah kesempitan hidup mahasiswa karna mengambil riba (pinjol) sebagai solusi.

Mari kita ingat firman Allah ta’ala yang mengatakan keharaman riba, termasuklah dalam hal ini aktivitas pinjol.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.“ (QS. Al Baqarah: 275).

Rasulullah melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau berkata, “Semuanya sama dalam dosa”. Naudzubillah Min Dzalik.

Negara Tidak Boleh Abai

Mahasiswa yang lekat pada dirinya adalah kecerdasan dan kecakapan berfikir, maka seharusnya kasus yang seperti ini tidak layak menimpanya, Namun dalam hal ini tidak bisa hanya menyalahkan individu mahasiswanya saja. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa beratnya beban ekonomi juga berdampak pada mahasiswa.

Sederet kasus yang menimpa pelajar hingga mahasiswa ini menjadi bukti adanya kesalahan dalam sistem pendidikan di negeri kita saat ini.
Kehidupan yang kian rapuh di segala lini kehidupan, terutama sendi-sendi ekonomi yang telah menunjukkan bahaya kapitalisme makin dirasakan oleh masyarakat.

Mahasiswa yang terjerat dalam pinjol nyatanya karna lemahnya mental yang dihasilkan dari bentukan sistem pendidikan sekuler kapitalis, sehingga wajar berbagai tindakan keji bisa saja terjadi.

Untuk itu, di sinilah Negara wajib bertanggung jawab atas semua kerusakan yang menimpa masyarakatnya, terkhusus dalam hal ini adalah mahasiswa yang menjadi korban dan pelaku kerusakan.

Negara wajib bertanggung jawab atas setiap proses pendidikan yang selama ini berlangsung, bukan hanya sibuk mengganti kurikulum namun output generasi yang dilahirkan adalah generasi-rusak dan merusak orang lain. Kurikulum yang dibuat harus berlandaskan sumber yang shohih di mana tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan generasi bersyakhsiyah Islam (berkepribadian Islam). Sehingga mahasiswa sebagai bagian dari generasi mampu menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan Sang Khalik. Standar baik dan buruknya jelas, begitu pula standar halal dan haramnya jelas.

Selain itu, negara seharusnya memudahkan setiap mahasiswa memperoleh hak pendidikan. Semua warga negaranya punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, tanpa memandang rakyat kelas atas, menengah atau bawah. Mulai dari meringankan biaya kuliah, termasuk kemudahan dalam memenuhi biaya hidupnya.

Hanya saja, Negara dengan kepemimpinan yang mampu menjamin semua kebutuhan rakyatnya ini tidak kita rasakan dalam sistem demokrasi sekuler kapitalis, karna jelas tujuan dari penerapan ideologi tersebut bukan untuk kebaikan umat, melainkan kepuasan dan kekuasaan segelintir orang.

Tugas Negara yang demikian hanya bisa terlaksana dengan penerapan sistem Islam secara Kaffah yang sudah terbukti kebaikan dan kemaslahatannya selama 14 abad lamanya.

Semoga selalu ada rindu di hati kita akan sistem Islam tersebut, dan kita pun juga senantiasa bersegera untuk mewujudkan tegaknya islam di seluruh dunia sehibgga dapat memberlakukan syari’at Islam secara kaffah. Aamiin allahumma aamiin. Wallahu a’lam bishowab.[]

Comment