Tiktok Shop Ditutup, Benarkah Membela Pedagang dan UMKM?

Opini405 Views

 

Penulis:  Adzkia Tharra | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi semakin hari semakin canggih, mulai dari transportasi hingga media sosial juga mengikuti arus perkembangan tersebut. Hal ini juga terjadi pada aplikasi viral yaitu Tiktok. Aplikasi ini berisi video-video yang bisa diberikan reaksi like, comment dan share.

Bukan hanya itu, aplikasi yang sebelumnya hanya membagikan video  kemudian berkembang dan memiliki fitur e-commerce serupa shoppe yang diberi nama Tiktok Shop.

Namun baru- baru ini Tiktok shop menjadi trending topik dari berbagai kalangan karena adanya rencana pemerintah menutup penjualan berbagai produk melalui TikTok Shop.

Hal ini mendapat berbagai respon dari seluruh lapisan masyarakat mengingat pengguna aplikasi tiktok bukan hanya dari kalangan anak muda saja.

TikTok Shop belakangan memang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya terdapat sekitar 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta creator affiliate yang menggunakan TikTok Shop.

Dikutip dari cnnindonesia.com (05/10/23) TikTok Shop resmi ditutup dan tak bisa lagi diakses per Rabu (4/10/2023) pukul 17.00 WIB. Alhasil pertanggal tersebut konsumen sudah tidak bisa lagi berbelanja di TikTok Shop.

Penutupan TikTok Shop merupakan imbas aturan pemerintah yang melarang sosial commerce atau media sosial yang merangkap sebagai e-commerce.

Penutupan TikTok Shop ini dilakukan setelah diterbitkannya Peratutan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023, yang merupakan penyempurna Permendag 50/2020 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, pengawasan, dan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.

Hal ini justru mendapat banyak keluhan dari pelaku usaha terlebih beleid ini menjadi dasar hukum untuk melarang media sosial merangkap platform perdagangan seperti TikTok Shop.

Salah satu pasal menyebutkan bahwa social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang/jasa dan dilarang menyediakan transaksi pembayaran. Beleid tersebut secara otomatis melarang TikTok Shop bergabung dengan TikTok sebagai platform medsos.

Karena pengumpulan data dari percakapan di medsos akan mendorong transaksi pembelian di marketplace sehingga berpotensi menciptakan monopoli bisnis yang menguasai hulu hingga hilir.

Mendag Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa tujuan beleid tersebut adalah untuk meningkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen, dan pelaku usaha di dalam negeri, juga untuk mencegah persaingan usaha yang kurang adil. Misalnya, Pasar Tanah Abang yang kini sepi pengunjung, diharapkan setelah adanya beleid tersebut akan kembali ramai. Begitu pun UMKM dan pelaku usaha dalam negeri, akan kembali hidup.

Setelah TikTok Shop ditutup, justru yang banyak protes adalah dari kalangan UMKM sendiri. Tidak dimungkiri, pelaku UMKM pun banyak yang terjun ke pasar digital, khususnya TikTok Shop yang dianggap relatif lebih mudah dipahami. Setidaknya akan ada enam juta UMKM dalam negeri yang berjualan di TikTok Shop dan tujuh juta kreator konten yang menggunakan jasa TikTok Shop yang terkena dampak.

Pemerintah diminta mencari akar persoalan di lapangan, sebab jika dilihat dari inovasi dan kemudahan orang berbelanja, platform medsos yang bergabung dengan e-commees justru memudahkan pembeli dan penjual. Sedangkan yang menjadi persoalan adalah banjirnya barang impor sehingga pelaku UMKM kalah bersaing.

Pemerintah dianggap kurang mampu melindungi produk lokal. Misalnya, proteksi barang UMKM yang begitu minim, sedangkan banyak perjanjian dagang internasional baik bilateral maupun multilateral menetapkan tarif impor 0%. Kondisi ini mengakibatkan harga barang lokal kalah bersaing dengan impor.

Harga lokal yang kerap lebih tinggi dari harga impor, salah satunya adalah akibat dari buruknya ekosistem bisnis di tanah air. Misalnya, terkait transportasi, kebijakan pemerintah yang mencabut sedikit demi sedikit subsidi BBM berdampak terhadap distribusi biaya tinggi.

Biaya pengiriman barang dari Sumatra ke Jawa jauh lebih mahal daripada pengiriman barang Cina ke Indonesia. Jika tarif impor 0% diberlakukan pada barang impor, tentu produk lokal kalah bersaing.

Belum lagi berbicara tentang akses modal yang sangat sulit. UMKM kesulitan berkembang sebab akses modal dikuasai oleh pebisnis kakap. Adapun alokasi dana dari pemerintah untuk UMKM sangat kecil, ditambah lagi dengan praktik KKN. Semua itu menyebabkan penyaluran modal usaha tersendat, tidak merata, dan sangat minim.

Apalagi berbicara APBN yang terus defisit dan sulit diandalkan untuk memajukan bisnis UMKM. Bahkan, defisit APBN menggiring pemerintah terus mencari pendapatan dari pajak. Walhasil, banyak pelaku bisnis yang sulit berkembang karena ketentuan pajak tersebut.

Selain ekosistem yang buruk, praktik predatory pricing dengan “bakar uang” kerap dilakukan platform digital asing yang memiliki banyak modal. Sedangkan pemerintah sendiri tidak memiliki regulasi untuk menghentikan praktik “bakar uang” tersebut, padahal praktik tersebut tentu merugikan para pebisnis kecil.

Strategi TikTok menggabungkan media sosial dan e-commerce, sebenarnya hanya inovasi teknologi. Justru yang harus dilakukan oleh pebisnis adalah beradaptasi dengan inovasi tersebut agar bisnis lancar. Misalnya, para penjual baju di Tanah Abang yang sepi dari pengunjung, kini terbantu dengan berjualan online.

Begitu pun yang seharusnya dilakukan pemerintah, tidak boleh menafikan banyaknya pedagang yang merasa terbantu dengan adanya jual beli di TikTok. Namun, pemerintah harus mampu melihat akar persoalannya sehingga regulasi yang ditetapkan bisa tepat.

Banyaknya barang impor yang masuk dan mengalahkan produk lokal. Inilah yang harus menjadi fokus. Alih-alih menetapkan kebijakan larangan TikTok berjualan, seharusnya pemerintah memperbaiki ekosistem bisnis demi melindungi produk lokal. Misalnya dengan kebijakan transportasi yang memudahkan distribusi barang.

Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, pencabutan subsidi BBM dan penguasaan transortasi oleh swasta terus dilakukan. Bukankah kebijakan ini kontraproduktif dengan perlindungan barang lokal?

Begitupun akses modal, tarif impor 0% dan tingginya pajak mengakibatkan UMKM berada di zona kesulitan. Andai pemerintah fokus memperbaiki ekosistem usaha dalam negeri, niscaya apa pun inovasi teknologinya, maka kesejahteraan UMKM akan terjamin.

Islam memberi ruang terhadap perkembangan teknologi – sebab inovasi akan memudahkan urusan hidup manusia, tentu selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariat.

Adapun solusi Islam terkait masalah ini adalah:

Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral terhadap seluruh persoalan rakyat sehingga pemerintah fokus dan serius mengupayakan jaminan kesejahteraan rakyat baik melalui mekanisme ekonomi dengan memberi kemudahan seseorang bekerja maupun dengan menciptakan ekosistem bisnis yang baik. Bisa juga dengan mekanisme nonekonomi, seperti pemberian santunan, sebab tidak semua kepala rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.

Kedua, Islam mempersilakan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna yaitu semata karena penjual dan pembeli saling rida atas transaksi mereka.

Ketiga, negara sangat adaptif terhadap inovasi dan menstimulus anak bangsa untuk terus menjadi yang terdepan dalam inovasi. Dengan demikian, platform digital, baik media sosial ataupun e-commerce, ciptaan anak bangsa tidak akan kalah bersaing dengan milik asing.

Keempat, negara memiliki regulasi yang sesuai dengan syariat dan memihak rakyat. Misalnya larangan ghabn fahisy, yaitu penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang secara keji (jauh dari harga pasar). Predatory pricing adalah praktik yang mirip dengan ghabn fahisy sehingga pelakunya harus ditindak dan diberi sanksi. Wallahualam bi’sawab.[]

Comment