Ummu Labeeba K.A*: Dilema Pedagang Pasar Antara Lapar Dan Tertular 

Opini471 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) dalam laman okezone.com, Sabtu (12/6/2020) mencatat 529 orang pedagang positif virus corona.

Dari jumlah itu, 29 di antaranya meninggal dunia. Tak ayal, pasar dianggap menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.

Ketua Bidang Keanggotaan DPP IKAPPI, Dimas Hermadiyansyah mengatakan, saat ini terdapat 13.450 pasar tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Sebanyak 12,3 juta orang tercatat menjadi pedagang di pasar tersebut.

Angka itu belum termasuk para pemasok barang, PKL, kuli panggul, serta jejaring rantai di pasar tradisional.

DPP IKAPPI dalam laman yang sama (12/6/2020) mencatat data kasus Covid-19 di pasar seluruh Indonesia adalah 529 ditambah laporan terbaru yang kami terima dari Sumatera Selatan ada 19 temuan baru kasus Covid di Pasar Kebun Semai Sekip Palembang. Jadi total kami mencatat perhari ini Positif Covid-19 di pasar sebanyak 529 orang dan yang meninggal sebanyak 29 orang.

Pihaknya khawatir banyak pedagang yang terpapar corona berdampak pada kehilangan mata pencarian 12 juta para pedagang lantaran masyarakat yang takut berbelanja di pasar tradisional.

Ia pun mendorong agar pemerintah lebih gencar dalam melakukan program penanganan Covid-19 di pasar seperti program sosialisasi bahaya Covid-19, pelaksanaan protokol kesehatan, bantuan penyediaan masker maupun hand sanitizer untuk pedagang, serta penyemprotan disinfektan secara rutin saat pasar berhenti beroperasi.

“Kami DPP IKAPPI akan terus memantau perkembangan data kasus di pasar tradisional sambil terus melakukan penyadaran kepada rekan-rekan pedagang agar memperhatikan protokol kesehatan di pasar, dan tentunya kami tidak bisa melakukan ini sendiri.

Sehingga perlu bantuan pemerintah dan stake holder lain agar tidak ada lagi kasus penyebaran Covid-19 di pasar,” pungkasnya.

Sungguh ini pilihan sulit untuk para pedagang di pasar. Betapa tidak ? Tak menggelar lapak terancam kelaparan namun berjualan juga terancam terpapar virus covid 19. Sungguh pilihan yang tak menyenangkan. Ibarat buah simalakama.

Sementara itu pemerintah sendiri telah berupaya melakukan pencegahan penyebaran virus corona dengan melakukan tes massal di berbagai pasar tradisional. Namun para pedagang melakukan penolakan terhadap hal ini. Salah satunya di pasar Cileungsih Bogor.

Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal tersebut lantaran kedatangan ambulans bersama para medis dengan perlengkapan alat medis membuat kepanikan tersendiri. Masyarakat tentu merasa khawatir dan enggan berbelanja di pasar.

Masa transisi new normal memang diawali dengan dibukanya kembali sektor – sektor perekonomian masyarakat termasuk pasar.

Pandemi yang berlangsung berbulan – bulan tak ayal membuat ekonomi melemah. Membuat masyarakat bukan hanya terancam covid 19 tapi juga kelaparan. Di sisi lain penguasa pun berkepentingan untuk menghidupkan roda perekonomian yang sempat terhenti selama masa PSBB.

Hal yang harus dipahami oleh semua kalangan bahwasannya interaksi di pasar bukan hanya melibatkan manusia tapi juga termasuk barang dagangan dan uang. Padahal virus juga bisa berpindah dari uang. Inilah yang membuat resiko peningkatan virus secara masal di pasar.

Sementara itu, upaya pemerintah baru sebatas melakukan tes massal dan menerapkan protokol kesehatan.

Padahal tes semacam ini hanya efektif untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat. Sementara itu bila pasar tetap beroperasi seperti biasa, upaya pencegahan penyebaran virus super kecil ini, bak api jauh dari panggang. Alih-alih mencegah, virus justru semakin leluasa menemukan celah menginfeksi manusia.

Era new normal yang hendak disongsong sebenarnya bukanlah kehidupan normal yang menenangkan. Berdampingan dengan virus corona dalam kehidupan sehari-hari, tentu bukanlah pilihan yang tepat.

Bagaimana mungkin manusia hidup damai bersama virus superkecil dan kasat mata yang sewaktu-waktu menyusup dalam tubuh dan mengancam jiwa?

Di sisi lain, perut lapar tentu tak bisa diganjal dengan masker dan hand sanitizer. Dengan demikian, Àbekerja di luar rumah menjadi pilihan yang harus diambil meski harus menerobos badai pandemi.

Sungguh, semua persoalan yang membelit manusia saat ini bermuara pada pengurusan yang rusak oleh penguasa terhadap berbagai hajat hidup masyarakat. Sistem kapitalisme dengan ciri materialismenya telah meniscayakan urusan rakyat bukan menjadi prioritas bagi penguasa.

Rakyat tak lebih sebagai objek marginal untuk memutar kembali roda ekonomi yang macet akibat wabah. Sementara keselamatan mereka terabaikan demi keuntungan materi, yang nyatanya lebih banyak dinikmati oleh sekelompok pengusaha yang bersembunyi di balik regulasi penguasa. Kebijakan new normal yang digadang-gadang sebagai upaya menyelamatkan perekonimian yang terpuruk, pada kenyataannya adalah desakan para  kapitalis  yang mengambil keuntungan di tengah pandemi.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang penguasa sebagai pengurus urusan umat. Aturan Islam menghadirkan jaminan bahwa kemaslahatan umat, kesejahteraan rakyat secara umum menjadi hal penting yang harus menjadi prioritas negara. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi,

Islam menyelesaikannya dengan memperhatikan seluruh aspek secara menyeluruh. Negara hadir untuk menuntaskan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah rakyat, bukan hanya sebagai regulator. Wallahu’alam bisowab.[]

Comment