Amilatul Fauziyah*: BPJS dalam Gempuran Wabah Covid-19

Opini704 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pada awal Maret lalu, kita dikejutkan dengan berita ketok palu Mahkamah Agung terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Akan tetapi, gugatannya adalah pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 2019 di mana hanya mengatur besar iuran dan pemberlakuannya bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) saja. Sedangkan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) pemerintah maupun swasta tetap dikenai tarif iuran sesuai Perpres 2019.

Keputusan MA mengakibatkan BPJS akan kehilangan potensi penerimaan Rp 6 triliun. Menteri kuangan, Sri Mulyani, memperlihatkan nada negatif.

“Keputusan tersebut akan berdampak pada penurunan mutu layanan dan fasilitas.”

Irma Suryani, anggota Komisi IX DPR 2014-2019, menyarankan masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp 25 juta agar mengambil kelas 1.

Wabah virus covid-19 tidak kalah mengguncang jagad Indonesia. Berita terakhir pada 20 Maret menyatakan 32 pasien covid-19 meninggal. Indonesia berada pada posisi pertama dunia dengan tingkat kematian akibat covid-19 terbesar.

Saat ini sekolah dan perkuliahan diliburkan, namun bukannya tetap di rumah untuk menghindari penularan, masyarakat malah pergi berlibur. Kebijakan lockdown sudah disuarakan berbagai pihak, namun Presiden Jokowi belum mengambil keputusan tegas tindakan apa yang harus diambil untuk menghadapi wabah. Apalagi sudah muncul pernyataan bahwa Indonesia tidak punya pikiran untuk melakukan lockdown. Pemerintah terlihat lamban menangani masalah ini.

Tindakan apapun yang akan diambil nanti pasti sudah sangat terlambat. Penyebaran virus ini sangat cepat. Tenaga medis dan rumah sakit akan lebih tertekan lagi. Situasi akan semakin memburuk mengingat tanggungan BPJS juga berkontribusi memperbesar masalah.

Penanganan pasien positif covid-19 membutuhkan fasilitas dan layanan yang tepat.

Demikian pula dibutuhkannya fasilitas yang tepat demi menghentikan penyebaran virus di tengah masyarakat. Akan tetapi, dengan kondisi BPJS dalam kubangan hutang, ditambah kurangnya edukasi social distancing, kesehatan banyak orang menjadi taruhan. Semua ini akibat liberalisasi fungsi negara dalam sistem kapitalisme, sehingga negara hanya menjadi regulator.
Sampai detik ini kita belum melihat ditemukannya vaksin untuk virus covid-19.

Bahkan wabah virus corona jenis MERS pada 2014 juga belum ada vaksinnya. Hal tersebut bukan karena persoalan waktu atau teknis bioteknologinya, tetapi karena sistem yang berlaku adalah kapitalisme. Dalam sistem ini, produsen vaksin adalah swasta di mana para pemegang sahamnya menuntut keuntungan.

Sebelum industri vaksin melakukan proses produksi, mereka akan melakukan studi kelayakan pasar. Banyak penduduk dunia tidak mendapatkan vaksin dasar untuk penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah karena kompleksitas persoalan harga pasar.

Contoh pada tahun 2018, 60% anak-anak di 10 negara belum mendapatkan vaksin dasar untuk perlindungan dari penyakit diphteri dan pertussis.

Virus SARS, MERS, dan Covid-19 dari Wuhan belum ditemukan vaksinnya diakibatkan dari sistem pendanaan layanan kesehatan dan penelitian bekerja sebagaimana dalam kapitalisme. Sistem ini hanya mengenal pajak sebagai sumber pembiayaan utama.

Kapitalisme tidak mengenal adanya pembedaan kepemilikan harta, semua dianggap kepemilikan pribadi. Tidak dibedakan mana harta milik umum, pribadi, ataupun negara.

Begitu juga konsep kepemilikan tidak ditujukan pada Sang Pencipta, sehingga rasa kepemilikan terhadap harta sangatlah tinggi. Sistem ini tidak mengenal adanya harta akhirat seperti amal jariyah.

Kondisi tersebut berkebalikan dengan era kejayaan Islam dahulu, di mana dana wakaf berkontribusi sekitar 30% dari pemasukan pusat. Sehingga masyarakat tidak memiliki beban untuk mempertimbangkan keuntungan seperti dalam kapitalisme.

Layanan dan penelitian kesehatan menjadi maju karena besarnya dana yang dimiliki. Islam menjadikan ilmu pengetahuan tentang virus, termasuk pengembangan vaksin, sebagai ladang pahala.

Tentu pengkajian dan penelitian tentang vaksin ini didukung penuh oleh negara dengan sistem pendidikan dan ekonomi yang baik. Pelajar dan peneliti dapat fokus melaksanakan tugasnya.

Dalam sistem Islam, negara bukan regulator tetapi garda terdepan dalam mengurus rakyatnya. Jaminan kesehatan dan pendidikan sepenuhnya adalah tanggung jawab negara.

Ketika tanggung jawab ini dipindahalihkan kepada pihak swasta maka hal tersebut melanggar konstitusi yang berlaku, yaitu syariah Islam.

*Mahasiswi Pendidikan Matematika UM

Comment