Oleh: Sarah Ainun, M.Si Pegiat Literasi
________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Seperti ayam mati di lumbung padi. Pribahasa ini menggambarkan kondisi rakyat negeri ini yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ruah namun, rakyatnya tidak pernah berhenti dari gejolak sosial memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Kelangkaan dan mahalnya harga kebutuhan pokok menjadi dilema bagi ibu-ibu agar tetap bisa mengelola dana dapurnya demi mengisi perut anggota keluarganya.
Menjadi sebuah anomali (keanehan). Bayangkan saja, ketika Indonesia dinobatkan sebagai penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia namun, ketersediaan dan mahalnya harga Migor (minyak goreng) di pasar dalam negeri menjadi masalah yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan belum kunjung terselesaikan.
jika kita kaitkan dengan ilmu ekonomi tentang mekanisme pasar, maka pasar memiliki hukum baku (tetap), seperti hukum supply (penawaran) dan demand (permintaan). Semestinya ketika barang yang ditawarkan jumlahnya berlimpah ruah sementara permintaan lebih sedikit dari penawaran, maka harga akan turun. Demikian juga berlaku sebaliknya, ketika penawaran sedikit dan permintaan banyak, maka harga akan naik.
Fakta yang terjadi di negeri ini pun sangatlah mencengankan, ketika supply CPO kita diperkirakan tahun 2023 mencapai 49 juta ton, sementara permintaan atau konsumsi Migor untuk rumah tangga diperkirakan hanya sebesar 3,14 juta ton per tahun atau relatif sedikit (Kompas, 06/01/2023).
Namun ketersediaan dan harga Migor dipasar terus saja bergejolak dan mengalami fluktuatif harga setiap tahunnya, hingga menimbulkan kegaduhan.
Merujuk pada rumus mekanisme pasar diatas, terlihat jelas adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Untuk meredam gejolak dan kekisruhan ditengah-tengah masyarakat akibat kelangkaan dan mahalnya harga Migor di pasar.
Pemerintah melalui Menteri perdagangan Zulkifli Hasan meluncurkan Program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR) dengan merek dagang “Minyakita” dan menetapkan kebijakan HET (Harga Enceran Tertinggi) sebesar Rp 14.000 per liter pada 6 Juli 2022 yang lalu.
Sejak Minyakita secara resmi diluncurkan ke pasar. Menteri Perdagangan Zulkifli mengklaim program dan kebijakan inipun sebagai solusi untuk memperbaiki mata rantai pasok Migor yang dikeluarkan pengusaha, petani sawit hingga masyarakat. Sehingga nantinya petani bahagia, pengusaha bahagia, pemerintah bahagia dan masyarakat bahagia. Tuturnya (liputan6, 06/07/2022).
Namun pada faktanya, di lapangan harga Minyakita dari HET yang telah ditetapkan pemerintah Rp 14.000 naik menjadi Rp 16.000 kembali terjadi. Bukan hanya itu saja, jika saat peluncuranya pemerintah membatasi pembelian dan memberlakukan persyaratan dalam pembelian Minyakita dengan menunjukan Peduli Lindungi dan No NIK.
Saat ini para distributor/agen pun memberlakukan persyaratan (bundling) kepada pedagang yang ingin mendapatkan Minyakita dari distributor/agen harus membeli produk minyak lainnya juga. Alhasil, pedagang lebih memilih membeli dari pihak ketiga sehingga harus membeli diatas HET, dan pihak konsumenpun kesulitan mendapatkan Minyakita di pasar-pasar (katadata,com,10/06/2023).
Sehingga, program MGCR dan Kebijakan penetapan HET inipun dirasa cenderung hanya untuk meredam gejolak sosial sesaat. Karena kebijakan yang diambil berputar pada otak atik pengaturan pola distribusi saja tanpa menyentuh aspek mendasar yaitu pengaturan kepemilikan lahan sawit, proses produksi pengolahan biji sawit sampai menghasilkan CPO hingga Migor, juga distribusi Migor kepasar dan berakhir di tangan konsumen.
Sementara pengelolaan Migor dari hulu sampai hilir diserahkan kepada pihak swasta baik asing maupun lokal. Negara dalam hal ini pemerintah hanya mengambil peran sebagai pembuat kebijakan atau regulator. Mulai dari regulasi adanya ijin Hak Guna Usaha (HGU) di sektor perkebunan sawit yang berdampak tidak hanya pada adanya monopoli lahan sawit oleh para kapitalis asing.
Sampai pada pengolahan biji sawit menjadi CPO hingga pendistribusiannya kedalam maupun luar negeri dikelola oleh perusaan-perusahan swasta baik lokal maupun asing. Seperti dikutip dari databoks 14/03/2022. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) merupakan perusahan asing yang berada di posisi puncak dari 10 urutan perusahan sawit di Indonesia dengan pendapatan terbesar pada tahun 2020 berdasarkan data The Science Agriculture mencapai Rp. 40,3 triliun.
Perusahaan asing ini tidak hanya mengelola lahan sawit Indonesia seluas 137.372 hektar, namun juga sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri serta melakukan ekspor ke berbagai negara Kawasan Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat hingga Afrika. Sekali lagi pengelolaan Migor dari hulu sampai hilir dikuasai oleh para kapitalis asing.
Lebih jauh, Indonesia yang mengadopsi sistem sekuler kapitalis sebagai landasan negara, secara tidak langsung didorong untuk ikut dan bergabung dalam pasar bebas internasional sejak 24 Februari 1950, sehingga mengharuskan Indonesia meliberalisasikan sistem perdagangan negara dan terikat oleh hukum atau perjanjian pasar bebas internasional. Alhasil, banyaknya pemodal asing yang menguasai pengelolaan berbagai sektor seperti, pertanian, perindustrian, perternakan, air dan sebagainya.
Hukum pasar yang berlakupun dalam sistem ini, Pasar dalam negeri akan mengikuti harga pasar bebas internasional, sehingga ketika harga CPO naik di pasar bebas internasional, maka harga minyak di pasar dalam negeri juga ikut naik begitu pula sebaliknya.
Jika negara membatasi ekspor CPO untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri atau ketika harga CPO murah di pasar bebas internasional maka pengusaha/distributor/agen yang berorentasi pada profit (keuntungan) lebih memilih untuk menimbun/menyimpan pasokannya. Sehingga terjadi kelangkaan Migor di dalam negeri yang mengakibatkan mahalnya harga Migor. Adanya permainan dan kecurangan para mafia Migor pun tidak bisa dihentikan.
Jika sudah jelas akar persoalan dari kelangkaan dan harga Migor yang tidak terjangkau oleh sebahagian masyarakat negeri ini. Lantas, mampukah kebijakan HET ini menjadi solusi permasalahan Migor di negeri ini? jika dikaji tampaknya program MGCR ini beda tipis dengan adanya wacana dari sebuah partai politik tentang program dan demo masak tampa minyak sebagai sarana edukasi kepada para emak-emak yang terbilang konyol. Karena sama-sama tidak menyelesaikan persoalan Migor.
Sementara itu, jika kita mengembalikan sistem ekonomi kapitalis yang diemban negara saat ini kepada sistem ekonomi Islam. Maka kita akan mendapati bagaimana Islam menuntaskan persoalan pengelolaan Migor dari hulu hingga hilir sesuai tuntunan syara’. Berawal dari bagaimana cara pandang atau paradigma tentang negara dan penguasa (khalifah) dalam atau dari sudut pandang syara’.
Dalam sistem Islam negara sebagai alat untuk menjalankan berbagai sistem kehidupan hanya dengan aturan syariat, sementara khalifah sebagai raa’in (pengurus) yang mengurusi urusan rakyatnya. Sebagaimana hadist Rasulullah Saw;
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari).
Maka Islam menetapkan tangung jawab penuh kepada negara yang dijalankan oleh seorang khalifah sebagai pelayan dan pelindung yang mengurusi urusan rakyatnya. Seorang khalifah terikat dengan syariat dalam menjalankan tugasnya dan memandang bahwa pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara kepada rakyatnya.
Begitupun sistem Islam mengatur bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang disandarkan pada hukum syara’. Sebagaimana hadist Rasulullah Saw;
“Manusia berserikat (sama-sama membutuhkan) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api,” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Menurut Imam ash-Shun’ani. Nabi Saw, menyebutkan dengan menggunakan kata “Syuraka” (berserikat), artinya: ketiga benda itu merupakan benda yang dibutuhkan Bersama-sama, karena itu ia tidak boleh dimonopoli oleh individu.
Berangkat dari hadits di atas, padang rumput/hutan sebagai lahan yang ditanami merupakan harta kepemilikan umum yang tidak boleh di privatisasi oleh individu atau sekelompok orang. Untuk itu Islam melarang penguasa memberikan izin Hak Guna Usaha kepada pihak-pihak tertentu apalagi pihak asing. Karena harta yang merupakan kepemilikan umum sifatnya penting bagi kehidupan orang banyak karena menguasai hajat hidup orang banyak.
Sehingga dalam hal ini, harta yang sifatnya merupakan kepemilikan umum dan harta kepemilikan negara harus langsung dikelola oleh negara tidak boleh diwakilkan atau diserahkan kepada pihak lain pengelolaannya, dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan atau keperluan rakyat seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Sementara itu mekanisme dalam pengelolaan sumber daya alam. Pada prakteknya negara sendirilah dalam hal ini khalifah yang bertanggung jawab mengurusinya. Untuk menjaga ketersediaan stok pangan, sistem Islam menerapkan kebijakan dengan memastikan lahan-lahan pertanian berproduksi secara optimal dengan menegakkan hukum tanah yang syar’i, guna menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan maksimal.
Mendorong dan mendukung para ahli dan intelektual terus melakukan riset dan inovasi baik dalam hal teknologi dan industri pertanian, bibit, pupuk dan lain-lain yang mendukung petani untuk mengejar produktifitas pertanian setinggi mungkin.
Dalam kondisi stok pangan yang mencukupi negara menjalankan kebijakan distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah yang mengalami kelangkaan. Impor pangan hanya dilakukan ketika ketersediaan pangan tidak mencukupi dan hanya bersifat sementara, artinya ketika stok pangan kembali mencukupi pasar dalam negeri, maka impor segera dihentikan untuk menstabilkan harga.
Negara juga akan mencegah dan menghilangkan praktek-praktek penimbunan riba, praktik tengkulak, kartel dsb. “Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah melarang penimbunan makanan,” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi).
Untuk itu, dalam pasar dan tempat umum. Khalifah menugaskan Qadhi Hisbah yang akan bertugas menghukum siapapun yang melanggar ketetapan syariah dalam bermuammalah tanpa pandang bulu dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan halal dan thayyib. Dalam sistem Islam negara tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga karena Islam memerintahkan agar harga barang diserahkan kepada mekanisme pasar.
“Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimim untuk menaikan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak,” (HR Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
Demikianlah sistem Islam dalam mengurusi persoalan kebutuhan pangan rakyatnya, hanya dengan kembali menerapkan sistem Islam negara ini mampu mengembalikan apa yang menjadi kewajiban negara dan apa yang menjadi hak rakyat. Sehingga menjamin kehidupan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dan menutup celah bagi segelintir orang khusunya pihak asing untuk menguasai dan mengambil sumber daya alam yang berlimpah dari negeri ini. Waullahu a’lam bishawab.[]
Comment