Penulis Drs. Markus Wauran | Wakil Ketua Dewan Pendiri HIMNI
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA UNI Emirat Arab (UEA) merupakan negara federasi yang berasal dari tujuh emirat dengan minyak bumi sebagai andalannya. Ketujuh emirat tersebut adalah Abu Dhabi, Dubai, Ajman, Fujairah, Ras al Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain.
Bagi negara yang kaya minyak seperti UEA, mudah saja bagi mereka menyediakan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) atau pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) bagi rakyatnya. Apalagi, cadangan minyak bumi dan gas di bawah tanah negara tersebut melimpah ruah. Namun, berada di zona nyaman tidak serta merta membuat UEA tenggelam dalam kepuasan absolut, berfoya-foya, arogan dan lupa diri. Justru negara tersebut mulai melirik sumber energi lain yang bisa diandalkan jika sewaktu-waktu minyak mereka habis.
Tenaga nuklir adalah salah satu sumber energi yang dilirik negara tersebut. Diwartakan Deutsche Welle, analis dari Arab Gulf States Institute, Sara Bazoobandi, mengatakan selama bertahun-tahun UEA memikirkan bagaimana jika suatu cadangan minyak mereka habis. Maka dari itu, sejak 2002, UEA mulai mendirikan Perusahaan Pengembangan Mubadala untuk berinvestasi dalam teknologi masa depan, termasuk energi terbarukan.
“Pemimpin politik UEA sangat menyadari bahwa transisi dari ekonomi berbasis minyak ke ekonomi berbasis pengetahuan adalah kuncinya,” kata Bazoobandi.
Produk domestik bruto (PDB) UEA sendiri masih sangat bergantung pada minyak dan gas. Sebagai gambaran, lebih dari 85% dari ekonomi UEA didasarkan pada ekspor minyak pada tahun 2009.
Pada 2011, ekspor minyak merupakan 77% dari seluruh anggaran negara UEA.
Pada 2019 UEA mengekspor minyak mentah senilai 50 miliar dollar AS (Rp 746 triliun) ke berbagai negara di dunia.
Pemerintah UEA berpendapat, energi terbarukan seperti nuklir dan matahari bisa jauh lebih murah di masa depan. Selain itu, sumber energi terbarukan juga relatif aman dari gejolak politik dan terorisme, dibandingkan dengan minyak yang harganya cenderung sangat fluktuatif saat situasi global bergejolak. Sudah sejak lama UEA memikirkan untuk mengembangan energi nuklir di negaranya.
Pada 2008, UEA meluncurkan roadmap berjudul ‘Evaluasi dan Pengembangan Potensi Energi Nuklir yang Damai’. Roadmap tersebut menguraikan kebutuhan untuk mengembangkan sumber energi listrik tambahan untuk memenuhi proyeksi permintaan di masa depan dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada bulan Desember 2009, Emirates Nuclear Energy Corporation (ENEC) mengadakan koalisi yang dipimpin oleh Korea Electric Power Corporation (KEPCO).
Disepakati pembangunan 4 unit PLTN adalah buatan Korea Selatan jenis APR dengan kapasitas 1400MW per unit dengan harga USD20 juta.
Setelah kesepakatan ini, Pembangunan PLTN akhirnya dimulai pada 2012. Dengan lokasi Barakah, terletak di Abu Dhabi, dipilih sebagai tempat untuk membangun empat reaktor nuklir APR-1400 berturut-turut, dengan unit pertama dijadwalkan mulai memasok listrik pada 2017.
CEO Emirates Nuclear Energy Corporation (ENEC) Mohamed Al Hammadi menjelaskan bahwa reaktor jenis APR dengan kapasitas 1400MW buatan Korea Selatan telah dikembangkan dan ditingkatkan oleh KEPCO selama 30 tahun terakhir. Maka Barakah yang terletak di Al Dhafrah, Abu Dhabi dipilih sebagai lokasi untuk membangun empat reaktor nuklir APR-1400 berturut-turut, dengan yang pertama dijadwalkan untuk mulai memasok listrik pada 2017.
Upacara peletakan batu pertama PLTN unit 1 diadakan pada 14 Maret 2011, dimana Presiden Korea Lee Myung-bak ikut hadir. Pembangunan unit pertama dimulai pada tanggal 18 Juli 2012, lebih cepat dari tanggal yang dijadwalkan pada akhir tahun 2012. Hal ini terjadi meskipun banyak yang diperdebatkan setelah bencana nuklir Fukushima Daiichi.
Pada Mei 2013, konstruksi dimulai pada unit kedua, yang kemudian diharapkan memakan waktu lima tahun. Beton terkait keselamatan pertama dituang untuk Unit 3 pada September 2014. Unit 4 mulai dibangun pada September 2015. Hasilnya, PLTN unit 1 memiliki ijin operasi pada tgl 1 Agustus 2020.
PLTN pertama UEA ini dianggap sebagai stasiun tenaga nuklir pertama Uni Emirat Arab, stasiun tenaga nuklir pertama di Semenanjung Arab, dan stasiun tenaga nuklir komersial pertama di dunia Arab dan bagian dari upaya UEA sebagai negara penghasil minyak untuk mendiversifikasi bauran energinya.
PLTN unit 1 ini beroperasi secara komersial pada tgl 6 April 2021. PLTN unit 1 ini sempat mandek karena UEA memutuskan membangun pondasi industri nuklir dari nol.
PLTN unit 2 mendapat ijin operasi pada tgl 10 Maret 2021 dan ijin operasi secara komersial (terhubung ke jaringan listrik) pada 14 September 2021. Sedangkan unit 3 dan 4 masih dalam proses penyelesaian, untuk kemudian bisa beroperasi. Keempat unit reaktor tersebut rencananya akan memiliki kapasitas terpasang 5.600 megawatt.
Ketika beroperasi penuh, 4 unit PLTN ini akan memasok 25 persen kebutuhan listrik UEA. Jika keempat reaktor dioperasikan secara penuh, maka akan mencegah pelepasan 21 juta ton emisi karbon setiap tahun. Jumlah emisi tersebut setara dengan menghilangkan 3,2 juta mobil dari jalan raya setiap tahun.
Sejak awal program PLTN Barakah dicanangkan, UEA telah melatih, dan mensertifikasi warga rakyatnya untuk memastikan mereka bisa megoperasikan PLTN Barakah selama 60 tahun ke depan. Berkat upaya UEA tersebut, sekitar 60 persen karyawan PLTN Barakah adalah rakyat UEA.
Pembangunan PLTN ini merupakan salah satu upaya UEA melepaskan ketergantungan akan minyak dan gas sebagai sumber energi nasional, demikian pernyataan Mohamed Al Hammadi CEO ENEC (Emirates Nuclear Energy Corporation).
Dampak Terhadap Lingkungan,
Mariam bint Mohammed Almheiri, Menteri Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup, mengomentari bahwa pembangunan PLTN di UEA adalah sebagai upaya UEA dalam mengatasi perubahan iklim dan mempromosikan pembangunan ekonomi berkelanjutan saat negara tersebut merayakan tonggak baru dalam mendukung target Net Zero 2050.
Terkait dengan 4 unit PLTN UEA buatan Korsel ini, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol pada acara pembukaan Abu Dhabi Sustainability Week, 16 Januari 2023 di Abu Dhabi, mengatakan, “Jika kedua negara kita bergabung dalam upaya pengembangan energi bersih, itu tidak hanya akan meningkatkan keamanan energi kedua negara kita, tetapi juga akan berkontribusi pada stabilitas pasar energi global.”
Sebagai catatan, Korea Selatan sangat tekun dalam upaya pengembangan dan penguasaannya terhadap industri PLTN sehingga mampu menjadi salah satu vendor/produsen reaktor nuklir jenis PWR (Pressurized Water Reactor). Mampu bersaing dengan Jepang dan Cina.
Sekedar catatan sejarah, memasuki abad ke-21, Korea Selatan telah menjadi salah satu macan Asia. Setelah berhasil melewati krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 90’an, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan sangat spektakuler.
Salah satu faktor pendukung kemajuan ekonomi Korea Selatan yang begitu fantastis adalah karena kebijakan energinya. Korsel adalah Negara yang miskin sumberdaya energi fosil.
Bertolak dari kenyataan ini, maka Pemerintah Korsel menetapkan kebijakan energi yang bertumpu pada 4 pokok utama yaitu:
1. Korsel sangat bergantung pada impor energi, khususnya minyak. Karena itu tujuan utama dari kebijakan energi ialah bagaimana memperbaiki pengamanan energi dalam negeri;
2. Pengelolaan energi harus menjamin penyediaan energi dengan biaya murah yang akan mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi;
3. Konservasi energi harus menjadi perhatian utama dalam rangka penyediaan energi;
4. Pembangunan energi secara berkelanjutan; harmonisasi pembangunan dan pemeliharaan lingkungan sangat penting dilakukan. Opsi pembangunan dan pengembangan energi nuklir dalam bentuk PLTN di Korsel dilatar- belakangi oleh kebijakan energi diatas.
Sekedar gambaran singkat, Pembangunan PLTN pertama di Korsel dimulai pada tahun 1971 dan beroperasi thn 1978. Reaktornya bernama Kori dengan kapasitas 650MWe, tipe PWR dengan pemasok reaktornya Westinghouse Coy dari Amerika Serikat.
Lokasi reaktor Kori ini di Gijang, Busan. Dalam proses selanjutnya, maka suatu tingkat kepercayaan diri yang tinggi atas kemampuan menguasai teknologi nuklir dicapai pada saat pembangunan Yonggwang Nuclear unit 3 dan
4, yang pembangunannya melibatkan langsung berbagai perusahaan domestik Korsel.
Puncaknya tercapai pada tahun 1998, dengan beroperasinya reaktor domestik Ulchin unit 3 dan 4 yang kemudian disebut sebagai PLTN Standar Korea (Korea Standard Nuclear Power Plant-KSNP). PLTN KSNP jadi referensi dan pijakan Korsel untuk terus mengembangkan dan menguasai teknologi energi nuklir secara mandiri tanpa bergantung kepada siapapun.
Dengan hasil pengembangan itu Korsel mampu dan berhasil memasarkan teknologi reaktor nuklirnya dipasaran internasional seperti di UEA. Pembangunan PLTN di UEA ini adalah pasaran pertama yang dicapai oleh Korea Selatan dalam bisnis teknologi nukirnya.
Indonesia Harus Belajar
Terkait dengan keputusan UEA membangun PLTN dan Korea Selatan berhasil mendapat kepercayaan untuk membangun PLTN tersebut, maka Indonesia harus belajar dan meniru sikap dari UEA yaitu tidak puas diri, arogan dan lupa diri karena kekayaan alam yang dimilikinya.
Sebaliknya dari Korea Selatan kita harus belajar kesabaran dan ketekunannya yang luar biasa dalam bidang riset dan inovasinya dibidang teknologi nuklir, dengan prinsip mereka (Negara barat) bisa, sayapun bisa bahkan lebih bisa.
Bisakah Indonesia bersikap dan melakukannya seperti UEA dan Korea Selatan seperti di atas, apalagi dengan adanya BRIN (Badan Riset Dan Inovasi Nasional). Ya, walahualam.[]
Comment